Membaca Puisi
Membaca puisi adalah salah satu kebiasaan saya selain membaca buku-buku fiksi lainnya seperti novel dan cerpen. Saya tidak ingat persis, kapan pertama kali memiliki kebiasaan ini. Yang jelas, saya sangat menikmati kegiatan membaca puisi sebagai sebuah sarana penyegaran hati. Terkadang, saya menemukan beberapa kosa kata baru dan menarik dari puisi yang saya baca, hingga diri ini terdorong untuk mencatat kemudian mencari maknanya. Atau sekedar untuk menuruti kecenderungan jiwa yang sedang ingin tenggelam dalam suasana melankolis, romantis, sampai kritis.
Di antara puisi yang saya baca, ada beberapa penulis yang sangat saya sukai karya-karya puisinya. Di antaranya adalah Ibnu Hazm, Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, Anis Matta, Yon's Revolta, Rudolph Damanik, Abdurahman Faiz, Astrid Widjaja dan masih banyak lagi. Demikianlah nama beberapa sastrawan yang kerap saya nikmati karya-karyanya, terutama puisi. Bahkan tak jarang saya juga menghapal beberapa bait yang menjadi favorit saya.
Sayangnya, saya bukan tergolong orang yang cukup cerkas dalam hal berinteraksi dengan puisi. Sehingga terkadang, saya hanya menikmati aspek keindahan bahasanya saja, tanpa menghiraukan pesan implisit yang terkandung di dalamnya tanpa bisa menentukan apakah ini puisi bagus atau tidak. Tapi tak jarang, saya juga ingin menerka-nerka, apa gerangan pesan yang coba disampaikan sang pengarang lewat untaian bait-bait puisi ini. Orang biasa menyebut penggalian pesan ini sebagai sebuah penafsiran tematik.
Berangkat dari sini, saya jadi teringat dengan pesan dari salah seorang sastrawan besar negeri ini yang bernama Sapardi Djoko Damono. Katanya, "Puisi yang bagus (baca: indah), ibarat ‘sebiji kacang di balik kaca kristal’. Dari luar terlihat bahwa itu sebiji kacang, tapi tampak lebih indah, mungkin fantastik dan memesona. Seperti ada misteri, dari satu sisi seperti kembar, dari sudut pandang lain bisa tampak puluhan kacang. Kadang-kadang samar atau gemebyar ketika ada pantulan cahaya dari luar. Sebiji kacang yang memesona. Kacang itu adalah isi puisi, dan kaca kristal itu estetika puisi".
Rumit juga ya? Tapi benarkah sebuah puisi selalu serumit itu? Saya sendiri berpendapat: tidak. Karena sebuah puisi pada hakikatnya memang akan mengandung banyak tafsir, demikian ujar Ahmadun Yosi Herfanda. Masuk akal juga. Lha wong Al Qur'an saja yang nyata-nyata firman Allah juga mengalami banyak penafsiran, apatah lagi puisi yang jelas-jelas berasal dari manusia biasa. Sebagaimana puisi mengandung multitafsir maka, kata A. Teeuw, terbuka kemungkinan terjadinya salah tafsir.
Lalu bagaimana caranya agar dialektika penafsiran itu tidak muncul saat kita menikmati sebuah puisi? Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa, "Kemungkinan tafsir puisi tergantung pada kekayaan intelektual pembaca. Semakin kaya pengetahuan pembaca akan makin dapat memberikan tafsir yang kaya pula pada puisi".
Jadi, semakin luas pengetahuan kita, khususnya dalam bidang sastra maupun dalam hal cakupan bacaan kita, akan memudahkan kita dalam menerjemahkan pesan dari sebuah puisi dengan cermat dan tepat. Selain itu, sense of art yang cukup tajam dari seorang penikmat puisi juga dapat mengendus pesan-pesan yang coba disampaikan oleh pengarang melalui puisi itu.
Tapi pada intinya, setiap kita berhak untuk menilai arti sebuah puisi, termasuk menentukan mutu dan kualitas isinya, mulai dari tukang gali sumur sampai ke tingkatan direktur. Puisi yang bagus bukanlah puisi dengan gaya bahasa yang njelimet dan menbuat mumet pembacanya, tapi puisi yang bagus adalah puisi yang dapat mengajak penikmatnya untuk berdialog dengan lebih lugas tanpa bantuan pengantar apapun dari seorang kritisi sastra. Sebagaimana ujar Ahmadun Yosi Herfanda, "Andalah, pembaca, yang paling berhak untuk menikmati, berdialog langsung, sekaligus memberi tafsir yang lebih kaya pada sebuah karya sastra".
Terakhir, izinkan saya mengutip sebuah puisi yang menjadi kesukaan saya yang kerap saya senandungkan saat dalam kesendirian.
Suatu saat dalam sejarah cinta kita Kita mengenang masa depan kebersamaan Kemana cinta kan berakhir Di saat tak ada akhir
(Akhir Sejarah Cinta Kita oleh Muhammad Anis Matta)
Datu Adam, Desember 2007
0 celoteh:
Posting Komentar