“Kalau urusan menjaga fisiknya saja bisa kami lalaikan, maka bagaimana lagi dengan menjaga jiwanya”
***
Lengan kiri anakku terluka. Entah siapa yang telah ceroboh sehingga ada garis sepanjang kurang lebih tiga sentimeter mengoyak kulit lengannya yang halus itu. Ketika kutanyakan kepada istri, ia hanya bisa menggeleng.
“Mungkin kalau bukan Mamak (mertua saya) ya Peni (ipar saya), mas”, ujarnya menginvestigasi.
“Bisa jadi”, jawabku singkat.
Sebenarnya, perhatianku tidak tertuju pada siapa yang salah dan sebagainya. Bisa saja dua orang yang disebut istriku tadi pelakunya, dan bisa juga orang lain. Itu pun belum tentu pelakunya mengetahui bahwa akibat kecerobohan kecilnya itu, lengan mungil putriku yang cantik telah terluka dibuatnya.
“Pantesan tadi siang Azka nangis terus, mas”, kata istriku untuk merinci suasana.
“Oh, begitu..”, sahutku enggan memberi detail pada penderitaan yang dirasakan anakku.
Tapi bukan itu yang ingin ku tumpahkan dalam tulisan ini. Bukan.
Tadi sore, ketika luka itu diketahui olehku, sontak jiwaku langsung berguncang hebat. Ada sesak yang menyeruak di dalam dada. Ada kesedihan yang begitu mendalam karenanya. Kesedihan yang tak mampu kulukiskan, bahkan dengan sejuta kata.
“Ummu Azka”, ucapku memecah keheningan. Ia pun menoleh.
“Kalau luka kecil ini saja bisa membuat dadaku sesak, jiwaku terguncang, dan perasaan bersalah begitu menghantui diri ini, bagaimanakah perasaan para orangtua yang kehormatan anak gadisnya telah direnggut dengan cara-cara yang keji ya? Apa hati mereka nggak sakit? Apa mereka nggak marah sama pelakunya itu?”, tanyaku retoris sambil mengingatkannya tentang beberapa kejadian buruk yang menimpa sebagian kawan wanitanya.
“Iya ya mas”, jawabnya singkat.
Okelah, Anda bisa berkomentar bahwa saya terlalu berlebihan ketika menyikapi “hal kecil” ini. Tapi tidak! Ini bukan perkara kecil. Ini adalah miniatur dari perkara besar yang hendak Allah tunjukkan kepada kami, sehubungan dengan tanggungjawab kami sebagai orangtuanya. Ini berkaitan dengan tanggungjawab kami dalam mengemban amanah bernama ‘Anak’ yang kami begitu cintai dan sayangi. Yang dengan cinta itu kami rela untuk mengorbankan apa yang kami punya, dan apa yang kami rasa demi kebahagiaannya.
Karena, kalau urusan menjaga fisiknya saja bisa kami lalaikan, maka bagaimana lagi dengan menjaga jiwanya? Bagaimana dengan iman dan kehormatannya? Bagaimana dengan kesucian dirinya? Perkara-perkara yang begitu kuat ingin kami jaga dan bina itu apakah bisa kami melakukannya?
“Robbana…” hanya kalimat itu yang bisa kulafadzkan ditengah gemuruh yang membadai di dalam dada ini. Berikan kami kekuatan untuk melindungi anak-anak kami ya Allah… [wahidnugroho.blogspot.com]
Ruang PDI
Oktober 2009