Mbak Azka, putri pertama saya, mengamuk. Ia mengoceh tak jelas, kakinya menendang ke segala arah, wajahnya berkerut, bibirnya yang sudah manyun semakin manyun ke depan. Entah apa maunya, saya tidak mengerti. Saya tanya kepadanya, “Mbak Azka mau apa?”, yang ditanya hanya mengekspresikan apa yang sudah saya sebut di awal paragraf ini. Saya jadi makin bingung.
Di sela-sela kekacauan itu, saya melihat buku bergambar yang belum lama ini saya belikan untuknya. Buku berjenis board book, buku berbahan karton yang kertasnya keras dan tak mudah sobek, itu segera saya ambil. Putri pertama saya yang sedang mengamuk langsung saya panggil dan saya dudukkan di atas paha saya. “Mbak Azka, kita baca buku, yuk”, ajak saya. Amuknya yang barusan menggelora perlahan mereda, dan dengan celotehnya yang khas, Mbak Azka tampak mulai termakan “bujuk rayu” saya.
Sekarang, Mbak Azka sudah tampak tenang. Sambil menciumi pipi montoknya, saya mulai mengajaknya untuk membaca buku yang sudah ada di tangan saya. Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah asyik-masyuk membaca buku yang, ternyata, berjudul Aku Anak Sabar itu. Sepertinya, buku telah berhasil mengalihkan amukannya yang barusan.
Cara ini, membujuk putri saya yang marah untuk membaca, ternyata sangat ampuh bagi putri pertama saya, tapi “belum” untuk putri kedua saya, Fidel. Kalau si adik sedang marah, membujuknya untuk membaca buku ternyata tidak meredakan amarahnya. Marah sang adik pun beda-beda-tipis dengan si kakak. Kalau si kakak marah, sangat mudah untuk dialihkan amarahnya. Berbeda dengan si adik. Kalau ada kemauannya yang tidak dituruti maka ia akan terus mengejarnya sampai dapat, meski harus menghamburkan literan air mata dan mengomel tak jelas dengan bahasa balitanya.
Pernah suatu pagi istri saya sakit perut dan ingin ke kamar mandi, sedangkan Fidel sedang asyik menyusu kepadanya. Entah karena nggak tahan atau bagaimana, istri saya langsung meninggalkan tugasnya dan langsung berjalan setengah berlari ke kamar mandi. Terkaget karena puting susu umminya tiba-tiba menghilang, Fidel langsung menjerit dan berlari ke luar kamar untuk mencari umminya. Bujukan dan rayuan saya tak mampu menghalangi langkahnya ketika itu. Beberapa detik kemudian, saya mendapatinya sedang menggedor-gedor pintu kamar mandi sambil berteriak, “Ami, tutu...”. Begitulah.
Setiap anak memang spesial, dan karena itulah perlakuannya pun spesial. Saya memang bukan orang terbaik untuk membincangkan tema meredakan amarah anak, karena terkadang, kondisi fisik dan mental yang letih cukup memengaruhi kadar emosi saya saat menangani anak yang marah. Tapi saya sadari, meredakan amarah anak memang punya seni tersendiri. Dalam hal ini, rasanya saya perlu belajar banyak dari para orangtua yang telah lebih dulu menjadi orangtua daripada saya.
Siapa tau Anda bisa membantu saya untuk mengajari bagaimana cara yang tepat untuk memperlakukan amuk anak-anak kita.
Monggo. [wahidnugroho.blogspot.com]
H2, Juli 2011
obrolan kita temanya sama, gan :D
BalasHapushehe iya gan, ane juga baru ngeh pas tadi jalan2 ke lapak ente :D
BalasHapus