Malam itu saya sedang asyik-masyuk dengan buku yang sedang saya baca. Istri dan kedua putri saya sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Buku berjudul Room To Read yang ditulis oleh John Wood itu sebenarnya sudah lama sekali saya tamatkan. Malam itu, entah kenapa, saya meninggalkan buku The Historian-nya Elizabeth Kostova yang sedang saya baca dan beralih ke buku berkover biru langit itu, untuk sekedar membolak-balikan satu dua halamannya.
Room To Read adalah sebuah memoar inspiratif yang ditulis oleh John Wood, seorang mantan eksekutif di Microsoft. Perjalanannya ke Nepal dan mendapati bahwa negeri itu diliputi oleh keterbatasan sarana pendidikan berupa buku telah mengubah jalan hidup John secara drastis. Pekerjaan yang mapan dan penghasilan yang besar ditinggalkannya untuk kemudian memulai kehidupannya sebagai seorang filantropis yang bergerak dalam bidang pendidikan melalui Room To Read, sebuah organisasi nirlaba yang didirikannya bersama teman-teman seidenya.
Tapi kali ini saya tidak sedang membuat tulisan tentang buku itu. Saya hanya tertarik dengan tulisan John ketika dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat lekat dengan buku. Begini katanya:
“Semangat saya untuk membangun sebuah perpustakaan bisa ditelusuri secara langsung ke masa kecil saya. Ingatan saya yang paling awal dan paling jelas adalah membaca. Hari Minggu, ibu saya biasanya merangkai cerita dari bagian komik surat kabar untuk kegembiraan saya. Mata saya mengikuti gambar-gambar berwarna itu dan saya menanamkan cerita-cerita itu ke dalam ingatan. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog. Go!; Green Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket!. Selama perjalanan yang panjang dengan keluarga di dalam mobil, hidung saya biasanya terikat di buku, sementara saudara laki-laki dan perempuan saya saling memukul. Saya membaca dengan begitu rakus sehingga anggaran terbatas orangtua saya tak bisa mengimbangi. “ [Room To Read, halaman 20]
Kisah John berlanjut saat sang ayah membelikannya hadiah berupa sepeda di Hari Natal-nya yang kesepuluh. Dengan sepeda tersebut, John kecil menghabiskan akhir pekannya ke perpustakaan umum di Athens, Pennsylvania, yang berjarak tiga mil dari tempat tinggalnya. John juga bercerita tentang “pelanggaran kecil” yang dilakukannya bersama petugas perpustakaan.
Sebagaimana perpustakaan lainnya, perpustakaan tempat John membaca hanya mengizinkan delapan buku saja yang bisa dibawa pulang, sedangkan John menginginkan lebih dari itu. Ceritanya bisa ditebak. John membuat kesepakatan rahasia dengan petugas perpustakaan, yakni hanya dirinyalah yang boleh meminjam buku melebihi batas minimal menjadi dua belas buku.
John juga menuliskan tentang kebiasaannya membaca selain buku pelajaran ketika kelas sedang berlangsung. Tentang bagian ini, saya akui kalau saya juga salah satu pelakunya. Biasa saat guru menjelaskan, saya akan meletakkan buku komik atau buku lain di balik buku pelajaran yang sedang dibahas atau di kolong meja.
Membaca kisah John kecil di atas, saya teringat dengan buku-buku yang saya belikan untuk kedua putri saya. Buku-buku bergambar dengan tema-tema sederhana untuk balita itu memang sengaja saya beli agar masa kecil kedua putri saya selalu lekat dengan buku. Sebelumnya, saya juga pernah membeli beberapa buku anak obralan yang nasibnya sudah berakhir menjadi serpihan kertas yang tak tentu lagi rimbanya. Perpustakaan mini saya pun sempat terkena imbas semangat “kreativitas” kedua putri saya itu. Buku yang sedang saya bahas ini pun, seingat saya, entah sudah berapa kali terkena ompol putri-putri saya hehehe...
Impian saya ini sebenarnya sederhana saja. Kalau John dan beberapa anak lain di belahan dunia ini memiliki kenangan dengan buku-buku di masa kecil mereka, saya pun ingin anak-anak saya demikian. Hanya saja, bukan kisah Putri Salju atau Cinderella yang kelak akan mereka kenang, namun buku-buku bergizi yang akan membentuk mind-set mereka menjadi muslimah yang berarti dalam penilaianNya.
Semoga saja, apa yang saya impikan ini juga menjadi impian bagi anak-anak Anda pula. Mungkin suatu hari entah kapan, anak-anak kita tak lagi berdiskusi tentang siapa yang lebih cepat antara si Kancil atau Kura-Kura, atau tentang ukuran sepatu kaca Cinderella yang tak muat di kaki Drunella, atau kisah hidung panjang si Pinokio dari daratan Italia yang tak jelas kebenarannya, tapi kisah-kisah kepahlawanan Khalid di medan Mu’tah, atau kisah para satria muslim di bukit Badar, atau kisah heroik penggali parit yang dikomandoi seorang pemuda Persia bernama Salman, atau kisah orang pemuda Al Fatih yang berhasil mendobrak tembok kukuh Konstantinopel.
Semoga. [wahidnugroho.blogspot.com]
H2, Juli 2011
0 celoteh:
Posting Komentar