Gadis muda berseragam SMA dengan balutan jilbab abu-abu itu terlihat begitu cantik dan manis. Lengkap dengan tas ransel kecil yang menempel di punggungnya dan netbook case berwarna hitam yang disandang di tangan kirinya, ia berpamitan kepada sang ibu di ujung pintu rumahnya. Setelah mencium tangan sang ibu dan menguluk salam, gadis muda itu segera beranjak ke sekolah.
Di seberang rumah sang gadis, tampak seorang pemuda yang – sepertinya – sedang menanti kedatangan si gadis manis itu. Duduk di atas motor matic berwarna hitam, pemuda bersweater kuning cerah dan bertopi bisbol itu tampak melambaikan tangannya kepada sang gadis tadi. Sementara senyum sang pemuda mengarah kepada sang gadis, tampak kepulan asap rokok berhamburan dari wajah lusuh pemuda itu. Beberapa detik kemudian, si gadis manis sudah duduk di belakang sang pemuda lusuh itu, meninggalkan ibundanya yang masih berdiri di pintu rumahnya dengan pandangan masygul.
Entah apa yang sedang menggeliat di dalam pikiran sang ibu ketika melihat putri belianya berangkat sekolah dengan dibonceng oleh lelaki – yang mungkin – belum dikenalnya itu. Saya bisa bilang “belum dikenal” karena tak ada tanda-tanda si lelaki menguluk salam tanda berpamitan kepada ibunda sang gadis ketika ia menarik tuas gas maticnya barusan.
Apakah ibu itu khawatir ketika melihat sang putri dibonceng oleh lelaki yang tidak dikenalnya, tanpa sopan santun pula? Apakah ibu itu cemas dengan pergaulan putrinya jika dilihat dari dandanan si pemuda? Raut wajah sang ibu yang tampak gundah ketika melihat pemandangan barusan itu seolah mengajari saya banyak hal karena bagaimanapun saya adalah orangtua dari dua orang putri yang cantik lagi gesit. Ah, seperti inikah perasaan sebagai orangtua?
Saya kadang ingin bertanya kepada para pemuda – bukan lelaki – yang, katakanlah, berpacaran dengan putri-putri belia itu. Apakah pemuda itu tidak berpikir ketika mereka mempunyai kakak perempuan, adik perempuan, atau bahkan putri-putri mereka, yang diajak pergi oleh orang asing yang tiada dikenalnya? Tidakkah mereka akan khawatir, cemas, gelisah, dan tak tenang ketika mengetahui bahwa kakak perempuan mereka, adik perempuan mereka, atau putri-putri mereka dinodai kehormatannya oleh pria yang tidak bertanggungjawab dan tidak dikenal pula?
Perempuan adalah lambang kehormatan sebuah keluarga. Ketika perempuan tak lagi bisa dijaga, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai perisai kehormatannya? Ketika harga diri seorang perempuan – kakak, adik, dan anak-anak perempuan kita – dengan mudahnya dilanggar oleh orang lain, tidakkah itu akan menorehkan luka dalam hati kita? Itulah mengapa Islam menganggap wanita sebagai tiang negara. Ketika wanita terpelihara dan terjaga kehormatannya, maka berbanding luruslah dengan kehormatan sebuah negara. Dan Islam juga pulalah yang mengatur bahwa setiap laki-laki akan dimintai pertanggungjwaban atas empat orang wanita yang hidup bersamanya: istrinya, anak-anaknya, saudara perempuannya, serta ibunya.
Moga Allah mudahkan urusan kami dalam menjaga perempuan-perempuan yang telah diamanahiNya kepada kami. Amin. [wahidnugroho.com]
H2, Januari ‘12
0 celoteh:
Posting Komentar