Ada semacam tuduhan – kalo boleh saya meredaksikannya demikian – bahwa kehamilan istri saya kali ke tiga yang lalu itu saya niatkan untuk mencari seorang putra. “Mau nyari anak lanang ya?”, begitu tanya beberapa kenalan saya. Biasa saya akan tersenyum saja menanggapi ‘tuduhan’ itu. “Saya lebih suka kalau yang lahir kelak anak perempuan”, jawab saya mantap.
Apa yang saya niatkan itu memang tidak populer di kalangan keluarga. Ibu dan mertua saya menghendaki cucu lelaki, sementara istri saya tampaknya ikut bersekongkol dengan beliau berdua dengan berkata bahwa ia pingin punya anak lelaki. Tapi saya tetap bergeming. Saya lebih suka diberi anak perempuan lagi, meski tak menolak kalau ternyata yang lahir kemudian lelaki.
“Yang penting bayinya sehat dan kamunya juga sehat, Mi”, ujar saya kepada istri. Perkataan yang cukup sering saya lontarkan ketika obrolan pra kelahiran sudah mengarah ke masalah gender si jabang bayi.
Tema gender ini, jujur saja, agak sensitif bagi saya. Saya cukup terganggu dengan tema itu. Saya tak pernah menganggap bayi laki-laki lebih baik dari perempuan, dan sebaliknya. Sejujurnya saya memang tidak perduli sama sekali soal itu. Saya hanya berharap bahwa janin yang dikandung oleh istri saya ini terlahir ke dunia dengan selamat dan sehat, begitu juga umminya, serta tumbuh menjadi insan yang beriman, bertaqwa, serta mampu menebar manfaat bagi sesamanya. Sesederhana itu. Tak perduli anak itu laki-laki atau perempuan.
***
Di pagi menjelang siang dengan mataharinya yang bersinar cukup terik itu, saya dan istri tengah bersiap untuk pergi ke klinik bersalin Irene di Karaton. Sambil membawa beberapa barang yang kami perlukan, saya memboncengnya di belakang motor mungil kami. Tak lupa, kedua bayi gesit di rumah sudah saya percayakan kepada ibu.
Pada pukul 12.41 WITA, tanggal 21 Maret 2012 atau bertepatan dengan 28 Jumadil Awal 1433 H, lahirlah buah hati ke tiga kami itu dengan selamat. Berbobot 3.300 gram dan panjang 50 cm. Seorang bayi perempuan yang gesit dan sehat dengan tangis kerasnya yang membelah siang kala itu. Ada rasa haru yang membuncah ketika saya menatap wajah sucinya, mengazankan dan mengiqomahkannya dengan segenap hati. Ah, betapa bahagianya hati ini dengan kelahiranmu, nak.
Ketika melihat wajah mungilnya, saya teringat dengan kedua putri gesit saya di rumah. Betapa momen membahagiakan seperti ini selalu membawa energi baru bagi saya untuk menjadi kepala keluarga yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya merasa telah menjadi lelaki seutuhnya, meski saya akui ada sedikit ketakutan yang membenih di dalam hati bila suatu hari nanti saya harus berpisah dengan ketiga putri saya itu. Moga Allah lapangkan hati ini untuk menjalani hari itu.
Oh iya, putri ke tiga ini kami berikan nama: Gendis Matryoshka Nugroho. Gendis, nama panggilannya. Semoga kelak ia menjadi ibunda yang berlaku manis bagi sesamanya dan melahirkan keturunan yang memberi rasa manis pada hidup yang terkadang pahit ini. Amin.
Terakhir, doa saya kepada ketiga putri tercinta kami:
Rabbi habli muqimasshalati wa min dzuriyyati
Rabbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrata a’yun, waj’alna lilmuttaqiina imaama
Aamiin ya mujiibassaailiin.. [wahidnugroho.com]