Hari itu saya merasa suntuk. Ada begitu
banyak hal yang sedang berkecamuk dalam kepala saya. Ditambah dengan buruknya
kondisi ruhiyah, dunia terasa begitu sesak di mata saya. Senyum menawan istri yang
biasanya selalu menyejukkan jiwa kali ini tak mampu mengusir gejolak yang
membara di dalam dada. Celotehan anak-anak yang biasanya terasa menentramkan
kini begitu memekakkan telinga. Saya sedang mencari ketenangan ketika itu.
Ketika rasa suntuk itu sudah
sampai pada puncaknya, kedua putri saya mengajak bermain. Dengan enggan saya
mencoba untuk menghalau polah gesit mereka ditambah teriakan-teriakan khasnya. Saya
sedang tidak ingin diganggu (tapi apa mereka tahu itu?).
Salah satu putri saya meminta
saya untuk menggendongnya, tapi saya menolak – saya kira dengan cara yang kurang
baik –. Ketika putri saya mulai menangis, saya hanya bisa terdiam. Wajah saya
ketika itu mungkin tampak masam.
Begitu juga ketika putri saya
yang lain mulai berteriak – entah apa yang saat itu diteriakkannya –, saya
membuat isyarat telunjuk di mulut untuk menyuruhnya diam. Tentu saja sambil
dibumbui pelototan mata agar putri saya langsung terdiam. Tapi teriakannya
urung berhenti, bahkan bertambah keras yang membuat wajah saya semakin kecut. Bahkan
tak jarang tangan ini harus mencubit kulit lembut mereka yang membuat mereka menangis
sejadinya.
Entah apa yang sedang terjadi
dengan saya ketika itu?
Dini hari tadi saya terbangun dan
melihat kedua putri saya yang tengah tertidur nyenyak di sisi saya – dengan berbagai
pose lucunya. Istri saya sudah jauh terlelap di kamar bersama Gendis, putri ke tiga
saya. Sambil memandangi bekas iler
yang mewarnai pipi gembil mereka berdua, saya berpikir betapa tak berdosanya
anak-anak ini? Wajah mereka begitu bersih dan suci dari dosa. Hiruk pikuk dunia
belum mereka hiraukan. Hari-hari mereka hanya diisi dengan bermain, menangis,
tertawa, kadang merengek untuk meminta sesuatu, dan berteriak-teriak kedinginan
kala saya mandikan dan malu-malu saat mereka hendak meminta diantar buang air
besar.
Malam itu, sambil menciumi pipi
mereka berdua yang berbau kecut – bau yang paling saya sukai – dan membelai
rambut lembutnya, memori saya mulai memutar kembali hari-hari yang telah lewat
bersama mereka. Kelucuan-kelucuan yang tercipta dari polah tingkah mereka. Kekesalan-kekesalan
yang muncul karena ketidaktahuan dan kepolosan mereka. Ketika hati ini terasa
keruh, polah tingkah yang lucu dan polos itu kadang berbuah cubitan kecil atau
pelototan mata.
Ketika mengenang masa-masa yang
telah lewat itu, tak terasa, air mata saya meleleh perlahan. Saya akui bahwa
saya telah melakukan banyak kesalahan saat membersamai tumbuh kembang mereka. Ada
begitu banyak kekhilafan saya yang tertimbun di relung jiwa mereka dan
kelemahan-kelemahan saya yang membuat secuil kebahagiaan mereka menjadi ternoda.
Malam itu saya segera membisikkan kata-kata maaf dan penyesalan saya kepada
mereka berdua yang tengah terlelap. Saya tahu itu tak cukup, tapi saya merasa bahwa saya harus melakukannya demi meluaskan sesak yang membuncah di dalam dada.
Saya merasa tak sanggup untuk
melanjutkan kegelisahan ini. Semakin banyak saya menulis, saya merasa bahwa
semakin banyak penyesalan yang akan saya buat. Semoga kesalahan dan kekhilafan
di masa silam itu bisa saya perbaiki hari ini, esok, hingga akhir hayat kelak. Moga
Allah kuatkan dan pantaskan diri ini untuk menjalankan amanah terbaikNya itu
dengan sebaik-baiknya. Dan hanya kepadaNya kami meminta pertolongan. Amin.
[wahidnugroho.com]
H2, Mei 2012
0 celoteh:
Posting Komentar