Malam ini saya termenung-menung di hadapan sebuah buku tebal
berjudul Warisan Sang Murabbi. Bukan isi buku itu yang membuat saya termenung-menung,
melainkan secarik kata pengantar singkat yang membuka rangkaian tulisan
Allahyarham Rahmat Abdullah itulah penyebabnya.
Namun sebelum saya menuliskan alasan kenapa saya termenung,
saya ingin sedikit bercerita tentang buku tersebut.
Warisan Sang Murabbi adalah sebuah buku yang disusun dari
kumpulan tulisan Ustadz Rahmat Abdullah di kolom Assasiyat yang dimuat di
majalah Tarbawi mulai tahun 1999 sampai tahun 2005. Beliau, allahyarham, adalah
seorang Syaikhut Tarbiyah, salah satu pendiri Partai Keadilan, dan seorang
ulama-di-balik-layar yang tutup usia pada tahun 2005 yang lalu dikarenakan
sakit.
Tulisan-tulisan pendek Ustadz Rahmat itu memiliki ciri
khasnya sendiri. Bahasanya nyastra, pola pemikirannya cenderung sirkular, dan
selalu menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Terkadang beliau menulis dengan ceplas-ceplos, satir dan sesekali bernada nyinyir. Butuh tenaga ekstra untuk memeras saripati pesan
yang coba disampaikan beliau dalam setiap tulisan-tulisannya. Tak jarang, saya
harus mengulangi membaca tulisannya hingga beberapa kali agar bisa sekedar
memahami kulitnya saja.
Majalah Tarbawi adalah salah satu majalah Islam yang paling
saya sukai. Ada tiga kolom yang menjadi favorit saya dari majalah tersebut: kolom
Assasiyat yang diasuh oleh Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah, kolom Ruhaniyat
yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Nursani, dan Serial Kepahlawanan – belakangan disusul
oleh serial-serial lainnya – yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Anis Matta.
Awal mula interaksi saya dengan majalah Tarbawi adalah
ketika saya sekolah di SMAN 90 Jakarta. Dulu, di Mushola Assadariyah, sebagai
markasnya anak-anak Rohis, ada banyak majalah Islam yang bertebaran di sana,
termasuk majalah Tarbawi. Sebagai siswa kere yang uang jajannya terbatas bahkan
terkadang tidak ada sama sekali, saya kerap menghabiskan waktu istirahat
pertama untuk menunaikan shalat Dhuha, tilawah, atau sekedar tidur-tiduran dan
ngobrol dengan teman-teman Rohis di mushala yang kini sudah difungsikan sebagai
tempat shalat khusus wanita itu. Dari aktivitas membaca majalah Tarbawi itulah
saya bertemu dengan tulisan-tulisan Ustadz Rahmat.
Tulisan pertama yang saya baca ketika itu adalah dari sebuah
majalah Tarbawi lama, yang saya tak ingat persis edisi dan tahunnya, berjudul Bandung-Washington-Ghaza:
Dialog Imajiner Antar Aktor Sejarah. Sebuah tulisan pendek yang berkisah
tentang dialog fiktif antara tokoh mujahidin pembebas Palestina Syaikh Izzuddin
Al Qassam; Muhammad Toha, pelaku bom bunuh diri (saya lebih suka
meredaksikannya sebagai Bom Syahid) yang juga komandan Barisan Rakyat Indonesia
dalam epik sejarah Bandung Lautan Api; serta Thomas Jefferson, presiden Amerika
Serikat yang ke dua. Anda yang pernah membaca artikel ini pasti tahu betul
dengan kepiawaian Ustadz Rahmat merangkai tokoh sejarah lintas benua dan zaman
itu dalam satu situasi dialog yang cerdas dan penuh pelajaran. Sejak saat itu,
saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisan beliau setelah sebelumnya saya
terpesona dengan tulisan-tulisan lainnya di kolom Ruhaniyat dan Serial
Kepahlawanan.
Setelah beberapa kali membaca tulisan-tulisan beliau, saya
merasa bahwa sekedar membaca saja tidak cukup. Saya bertekad untuk mengumpulkan
tulisan-tulisan yang saya anggap menarik itu dalam satu bundel khusus sehingga
saya bisa menikmatinya setiap saat tanpa harus membuka-buka majalahnya.
Pada suatu hari saya pernah mendapatkan banyak sekali
majalah Tarbawi usai perhelatan hari besar Islam di sekolah kami, dimana
Tarbawi menjadi salah satu sponsornya dan memberikan banyak sekali
majalah-majalah lawas mereka. Ketika sebagian teman saya yang lain tidak
mengacuhkan ‘peninggalan’ itu, mata saya justru berbinar. Dengan rakus saya
mulai mengumpulkan edisi-edisi yang berbeda tersebut dan memfotokopi tiga kolom
favorit saya itu untuk saya jadikan sebagai tiga jilid – anggap saja – buku: kumpulan
fotokopi Assasiyat, kumpulan fotokopi Ruhaniyat, dan kumpulan fotokopi
tulisan-tulisan Anis Matta yang ketika itu masih berupa Serial Kepahlawanan. Mulai
hari itu, tiga jilid fotokopian tersebut adalah barang yang berharga bagi saya
yang tentu saja volumenya selalu bertambah seiring makin bertambahnya edisi
majalah Tarbawi. Entah dengan cara saya membeli sendiri majalah tersebut atau
dengan cara meminjam majalah teman.
Awalnya saya membaca buku itu sekedar untuk berwisata
intelektual dan saya menikmatinya dengan penuh penghayatan. Namun ketika buku UntukmuKader Dakwah yang diterbitkan oleh Pustaka Dakwatuna dan buku Pilar-Pilar Asasi
(belakangan diperkaya menjadi Warisan Sang Murabbi) yang diterbitkan oleh
Tarbawi Press lahir, saya mulai memahami tentang arti dan posisi seorang Ustadz
Rahmat di mata para murid dan pengagum-pengagumnya, termasuk saya yang secara
ikhlas dan ridha ingin mengaku sebagai salah satu pengagum beliau.
“Misi utamanya adalah pewarisan”.
Kalimat singkat inilah yang membuat saya, sebagaimana yang
saya sebutkan di awal tulisan, termenung. Sebuah kalimat yang tertulis dalam
Pengantar Penerbit di buku Pilar-Pilar Asasi itu sungguh telah menggugah relung
terdalam hati saya akan makna sebuah tulisan.
“Sebab ini bukan soal suka membaca atau tidak. Tapi
bagaimana kami menjembatani proses pewarisan itu.”
Sampai di sini saya mulai memahami mengapa Allah menurunkan
surat Al Qalam yang bermakna pena, mengapa ayat terpanjang dalam Al Qur’an
berbicara tentang menulis perihal hutang-piutang, mengapa Al Qur’an yang
tadinya dihapal kemudian harus dituangkan dalam bentuk tulisan, mengapa kisah orang-orang
shalih bernama Wadd, Suwa, Yaghut, Ya'uq, dan Nasr menjadi diberhalakan karena
tiadanya objek tulisan, mengapa Hasan Al Banna, disela-sela kesibukan beliau mengasuh
umat yang terjajah, yang sungguh di luar akal sehat, bisa mengasuh pula
majalah, koran dwi mingguan, koran harian, sampai menulis catatan-catatan
harian serta sebuah memoar, mengapa seorang Sayyid Quthb dan Buya Hamka yang
dipenjara oleh rezim tiran masih sempat menulis sebuah tafsir fenomenal, dan mengapa seorang Syaikh Jum’ah Amin Abdul
Aziz menelusuri dokumen-dokumen lama serta mencari kembali artikel-artikel lawas
yang berserakan itu menjadi berjilid buku yang berjudul Tarikh Al Ikhwan Al
Muslimun, mengapa seorang Ahmad Isa Asyur harus 'repot-repot' menyalin semua transkrip ceramah-ceramah Hasan Al Banna menjadi sebuah catatan sejarah yang sangat penting yang kini kita kenal sebagai Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna, semua itu tak lain dan tak bukan adalah karena menulis adalah sebuah
kerja pewarisan. Mereka yakin bahwa apa yang mereka tuliskan adalah warisan paling berharga yang bisa mereka tinggalkan kepada generasi mendatang setelah mereka tiada.
Ketika kita menulis, maka seharusnya kita tak perlu risau
apakah tulisan kita dibaca orang atau tidak, apakah tulisan kita bisa
dimengerti atau tidak, apakah pikiran yang ada di kepala kita itu perlu untuk
dituliskan atau tidak, karena ini adalah soal pewarisan. Pewarisan yang akan
menjembatani kita dengan anak cucu kelak, pewarisan yang akan memaknai seberapa
berarti diri kita di masa depan kelak, dan pewarisan yang akan menentukan
posisi kita di hadapanNya kelak.
Karena menulis adalah sebuah kerja pewarisan, maka hanya
warisan yang terbaik sajalah yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang
kelak. Hanya warisan yang bermakna dan berdaya guna sajalah yang akan kita
berikan kepada penerus kita kelak. Hanya warisan yang menggugah kesadaran dan
mengunggah keimananlah yang akan kita sampaikan kepada generasi mendatang.
Maka, ketika generasi saat ini tengah asyik-masyuk dengan
kegalauan dan kebanci-bancian, ketika generasi saat ini tengah sibuk dengan
perkara-perkara material semata, atau ketika generasi saat ini menjadi generasi
pembangkang yang tak mengerti arti sebuah tata krama dan etika, atau ketika
generasi muda islam saat ini tak mengerti hakikat hidupnya di dunia dan
tenggelam dalam nafsu dunia saja, maka pertanyaan paling mendasar yang wajib kita
lontarkan saat ini adalah: gerangan warisan apa yang telah ditinggalkan oleh generasi
sebelum kita?
Dan ketika generasi saat ini masih berada dalam lembah
kebingungan sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka warisan seperti apakah
yang kelak akan mereka tinggalkan bagi generasi sepeninggalnya? Warisan apakah
yang akan kita tinggalkan untuk generasi penerus kita? Warisan apakah yang akan
saya tinggalkan untuk anak cucu saya?
Maha Benar Allah yang telah berfirman dalam surat An Nisa
ayat 8 yang berarti,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang orang yang
sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang
benar.”
Dan hanya kepada Allah-lah kita menyembah dan memohon
pertolongan. [wahidnugroho.com]
H2, Juni 2012