Tempo hari saya membaca sebuah
tulisan dari salah seorang artis muda Indonesia bernama Panji Pra.. err, saya
gak hafal nama panjangnya. Sebut saja namanya Panji. Kalau ada salah ejaan
mohon dimaafkan.
Saya tidak kenal Panji,
sebagaimana dia pasti tak kenal saya. Yang saya tahu, dia adalah artis muda
yang cerdas, kritis, gaul – sebagaimana kebanyakan artis, dan cukup tampak
sebagai pemikir. Setidaknya ini kesan yang saya tangkap.
Sebagai seorang artis, wajahnya
cukup familiar, tentu. Saya pernah melihat beberapa acaranya di televisi.
Beliau juga mantan host sebuah acara dialog interaktif khas anak muda di salah satu saluran televisi swasta yang membahas tema politik dan tema-tema sosial kemasyarakatan yang terjadi di
Indonesia. Acara yang sangat bagus di tengah-tengah gelombang hedonisme dan
budaya pop yang melanda sebagian acara untuk kaum belia.
Oke, kembali ke soal tulisan.
Panji pernah membuat tulisan
tentang dukungannya secara terbuka kepada salah satu calon kandidat Gubernur
DKI. Sebuah tulisan yang sangat bagus, argumentasinya juga logis. Saya senang
dengan tulisannya. Very open minded, sangat muda, dan aroma ‘beda’nya
sangat kuat di sana. Menurut saya tulisan itu sangat layak diapresiasi,
terlepas dari unsur subjektifitasnya yang saya kira itu sah-sah saja.
Saya juga ingin membuat tulisan
berupa dukungan kepada salah satu kandidat Gubernur DKI. Sayang, saya bukan
artis. Nama saya tidak terkenal sebagaimana Panji. Tapi itu tak masalah. Saya
hanya ingin berusaha untuk jujur dengan hati saya sendiri sebagaimana Panji
yang telah berupaya jujur dengan tulisannya.
Tulisan ini akan berbicara tentang sebuah
nama: Hidayat Nurwahid, atau lazim diakronimkan sebagai HNW. Saya lebih nyaman
menyebutnya Ustadz.
Saya tidak kenal beliau secara
personal. Beliau juga pasti tidak kenal dengan saya. Lagi pula siapa saya
sampai beliau harus repot-repot mengenal saya?
Soal kepribadiannya, soal apa dan
siapa beliau serta lebih dan kurangnya, ada banyak tulisan yang telah beredar,
baik secara digital maupun cetak, yang telah berbicara dengan sangat baik
mengenai sosoknya. Tentang komitmen keislamannya, profesionalitasnya, serta
integritas dan kebersahajaan hidupnya. Ini sudah menjadi rahasia umum yang
nyaris semuanya bisa kita baca.
Sekian banyak tulisan dan
informasi yang beredar tentang figurnya tentu akan melahirkan banyak tafsiran. Cari
muka lah, pencitraan, kampanye atau apapun. Itu adalah hak mereka untuk
berpendapat, dan saya tidak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Akan tetapi
bagi Anda yang tak gampang lupa, informasi-informasi tersebut tentu sudah Anda
dapatkan sejak bertahun-tahun yang lalu, lama sebelum beliau bertarung dalam
pilkada DKI.
Kembali soal Ustadz.
Saya merasa bahwa saya tidak terlalu
mengenal beliau secara pribadi karena saya belum pernah sekali pun bertemu
dengannya. Saya belum pernah berbicara dengannya secara langsung, apalagi
berdialog dan berdiskusi dengan beliau. Hanya kisah-kisah tentang beliau yang
pernah saya baca dan dengar, sebagaimana Anda yang mungkin juga pernah
mendengar kisah-kisah yang sama.
Lalu tulisan ini sebenarnya
tentang apa?
Saya memang tidak mengenal beliau
secara personal, tapi saya mengenali orang-orang yang berada di balik
kerja-kerja beliau. Tidak secara personal, tentu saja, karena saya tidak pernah
bertemu orang-orang itu secara langsung, sebagiannya. Tapi jiwa saya dan mereka
serasa beresonansi, karena kedekatan fikrah dan ukhuwah tak kasat mata yang
terjalin di antara saya dan mereka. Atas resonansi jiwa inilah mengapa saya mencintai
dan mendukung beliau.
Terlalu absurd? Anda yang tidak
mengalaminya mungkin tidak akan memahaminya karena saya sendiri merasa
kesulitan untuk meredaksikan apa yang saya rasa ini dalam bentuk kata-kata. Kadang
ungkapan cinta itu tidak membutuhkan penjelasan yang gamblang, karena
abstraknya rasa. Anda yang pernah mencinta sesuatu pasti mengerti dengan
perasaan cinta yang tak mudah dideskripsikan.
Karena tak mudah mendeskripsikan
rasa ini, maka tulisan ini mungkin akan sedikit membingungkan bagi Anda yang
sempat membacanya. Tapi tak apalah. Saya hanya ingin menumpahkan apa yang saya
rasa dengan apa adanya.
Saya tak dibayar atau diperintah siapapun
untuk menulis ini, lagipula siapa saya? Saya hanya satu dari sekian banyak anak
bangsa yang dengan tulus hati mencintai dan mendukung beliau. Anda boleh
menyebut saya fanatik, atau meredaksikan saya dengan istilah apapun. Silahkan. Saya
tidak akan keberatan. Itu adalah hak Anda yang tidak akan saya gugat.
Saya ingin berdoa untuk kebaikan
beliau dan keluarga, serta kebaikan bagi kita semua. Dan kepada para warga DKI
Jakarta yang akan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 11 Juli 2012, semoga
kelak terpilih pemimpin yang beriman, adil, serta dapat menjalankan amanahnya
dengan baik dan mampu membawa kemakmuran dan ketentraman rakyatnya. Semoga keberkahan melimpah bagi kita semua. Amin. [wahidnugroho.com]
H2, Juli 2012
Menjelang Subuh di kota Luwuk
0 celoteh:
Posting Komentar