Suasana di masjid mungil itu terasa begitu syahdu dan
menenangkan usai Shubuh di awal fajar yang berkah. Para jama’ah yang jumlahnya
hanya segelintir itu telah kembali ke rumahnya masing-masing. Udara pagi terasa
begitu menyegarkan. Matari belum juga menyembul penuh di ufuk timur. Tak ada
suara yang berarti kecuali debur ombak di kejauhan dan sayup-sayup suara lantunan
tilawah seorang perempuan yang entah darimana datangnya.
Kini tinggal sekitar tujuh orang saja yang berada di masjid
tersebut. Wajah-wajah mereka tampak segar dan bercahaya. Dipandu oleh seorang
lelaki muda yang tampak berwibawa, keenam lelaki muda lainnya mulai membentuk
sebuah majelis kecil dan membuka mushaf mereka masing-masing. Beberapa menit
kemudian, yang terdengar hanyalah lantunan hafalan Al Qu’ran dari lisan-lisan yang
mulia itu.
Sesekali ada hafalan yang terbata, sesekali salah satu di
antara mereka mengoreksi kesalahan bacaan temannya yang lain. Ada pula wajah-wajah
yang tertunduk malu karena tak bisa
memenuhi hafalan mereka dengan baik. Sebagian yang lain tampak puas karena
telah menyelesaikan hafalannya dengan baik seraya mendapatkan pandangan takjub
dari saudaranya yang lain.
Di majelis kecil itulah pelbagai permasalahan mereka bahas
dan cari solusinya. Tentang si fulan yang belum jua menikah padahal umurnya
sudah lebih dari cukup, tentang kondisi si fulan yang istrinya baru saja
melahirkan, tentang fulan lainnya yang anaknya sedang sakit keras, tentang
fulan di kecamatan nun jauh di sana yang membutuhkan bantuan pembicara dalam
acara kajian, tentang permasalahan-permasalahan sosial, politik, hingga ekonomi
umat, baik lokal kedaerahan, nasional dan internasional. Waktu pun terasa
berlalu dengan cepat ketika sinar matari mulai menembus lubang udara dan
menghasilkan seberkas keceriaan.
Majelis penuh berkah itu diperkaya dengan diskusi yang
meriah dan terjaga adab-adabnya. Wajah lelaki muda yang memandu mereka itu tampak
sangat serius saat memberi nasihat yang menggetarkan jiwa atau menerbitkan senyum
terbaiknya ketika menyampaikan kabar bahagia.
Tidak ada ikatan apapun yang mengikat mereka kecuali cinta. Cinta
kepadaNya, cinta kepada umat, dan cinta kepada kebaikan. Semangat mereka
menyala ketika mendapati permasalahan yang menimpa saudaranya. Semangat untuk
mencari solusi atau semangat untuk sekedar bersimpati.
Bertahun sudah saya membersamai majelis tersebut. Dari satu
lingkaran ke lingkaran yang lain. Dari satu semangat ke semangat yang lain. Dari
cinta yang satu kepada cinta yang lain. Tak ada yang berubah kecuali kecintaan
kami kepada umat ini yang begitu menggebu-gebu. Tak ada yang berganti kecuali
amanah-amanah yang semakin berat untuk didaki. Tak ada yang hilang kecuali
kemaksiatan yang berkarat di dalam jiwa-jiwa lemah kami.
Tidak ada kebersamaan yang sempurna, sebagaimana tak ada
perpisahan yang sempurna. Orang-orang datang silih berganti mengisi majelis
kecil tersebut. Ada yang datang, ada yang pergi. Namun cinta di antara mereka
tetap sama, kebersamaan di antara mereka tetap terjaga, semangat yang ada di
dalam dada mereka masih menyala.
Sesekali mereka berpindah tempat dari satu rumah ke rumah
yang lain dengan jamuan sederhana dari tuan rumah yang telah berusaha sekuat
tenaga untuk menjamu tamu-tamunya. Sesekali mereka mengunjungi saudara lain
yang berjarak ratusan kilometer jauhnya. Demi menuntaskan hajat ukhuwah, demi
memandang wajah-wajah yang beberapa waktu lalu hilang dari sapa mereka.
Saya bukan manusia yang sempurna. Saya kerap lupa, khilaf,
dan berbuat kesalahan. Namun memupuk kebersamaan dengan wajah-wajah itu selalu
menyuntikkan energi tersendiri bagi saya untuk sentiasa memupuk kebaikan dan
kemanfaatan bagi diri saya, keluarga, dan masyarakat tempat saya tinggal serta
bagi agama yang saya yakini kebenarannya.
Betapa indahnya nikmat kebersamaan.
Allahumma innaka ta’lamu anna haadzihil quluub. [wahidnugroho.com]
H2, Juli 2012
Di tengah tumpukan hutang hafalan yang makin tertatih
untuk dipenuhi
0 celoteh:
Posting Komentar