Hari ini, secara tak sengaja, saya kembali melakukan ritual
kecil yang sudah lama saya tinggalkan: nongkrong di pinggir jalan. Yak, nongkrong
di pinggir jalan menjadi semacam ritual meditatif yang berbiaya murah namun
cukup mampu memulihkan jiwa-jiwa yang penat menjadi segar kembali, at least
it works for me.
Jadi ceritanya begini. Tadi sore, seusai mentransfer
sejumlah uang kepada sejumlah teman di ATM Mandiri SPBU Simpong, saya memesan
bakso gerobakan yang mangkal di dekat situ. Selain saya, ada satu keluarga
kecil yang juga menikmati jajanan murmer seharga tak lebih dari tujuh ribu
rupiah tersebut.
Ketika menikmati bakso yang terasa agak terlalu asin itu,
mata saya tertumbu kepada banyak peristiwa kecil yang terjadi di sekitaran SPBU
Simpong tersebut. Sebagaimana yang saya bilang sebelumnya, di situ sebuah
keluarga kecil yang sedang menikmati bakso, sekumpulan supir taksi Nambo yang
sedang menunggu penumpang, sebuah truk kontainer yang dikemudikan oleh seorang
kakek disusul truk lainnya yang di bagian kemudinya diisi oleh sebuah keluarga
kecil, dan pemandangan remeh temeh lainnya.
Di seberang SPBU tampak supir Innova sedang mengobrol dengan
seorang lelaki di pinggir jalan sehingga membuat kemacetan kecil serta seorang
pemuda yang mengendarai Yamaha King berwarna kuning sedang berteriak-teriak tak
jelas kepada salah satu supir taksi Nambo yang sedang bercerita dengan
sesamanya.
Pernah suatu hari, saya tak ingat kapan persisnya, saya ngobrol
dengan seorang lelaki muda penjual bakwan Malang gerobakan. Saya tak ingat
persis namanya. Yang saya ingat lelaki itu masih sangat muda, jauh lebih muda
dari saya. Belum ada sebulan dia tinggal di Luwuk, akunya, dan kini tinggal di
rumah kontrakan dekat masjid Pancasila. “Saya aslinya orang Surabaya, Mas, ke
Luwuk ini ceritanya mau nyoba-nyoba”, ujarnya ketika itu. Tebakan saya yang
mengatakan bahwa lelaki ini adalah orang Toili ternyata salah.
Lelaki itu ternyata sudah berkeluarga, baru saja menikah
tepatnya. Istrinya belum dibawa ke Luwuk karena ia masih ingin melihat sikon
yang ada di sini dulu. Saya bertanya apakah gerobak bakwan ini menyewa atau
miliknya sendiri. Dengan sedikit tersipu lelaki itu mengaku bahwa gerobak
tersebut adalah miliknya sendiri.
Saya takjub sekaligus penasaran. Dengan sedikit lancang saya
pun menanyakan penghasilan kotor hariannya. Lelaki itu menyebutkan sejumlah
angka, angka yang kurang begitu menggembirakan tampaknya. Saya mencoba
membesarkan hatinya dan lelaki itu tampak begitu berterima kasih dengan
dukungan basa-basi saya.
Ketika akan membayar, saya menyerahkan uang sebesar sepuluh
ribu rupiah kepadanya. Lelaki itu kemudian berkata bahwa ia baru saja keluar
dan belum memiliki kembalian. Saya pun menyerahkan lebihannya. Sekali lagi,
lelaki itu tampak sangat berterima kasih dengan pemberian setengah hati saya.
Sepertinya saya bercerita terlalu banyak tentang si penjual
bakwan Malang itu.
Di kesempatan yang lain saya ngobrol dengan penjual es
kelapa, penjual es teler, penjual martabak, penjual roti bakar, penjual bensin,
penjual pisang, penjual sayur, penjual lemari kayu, tukang tambal ban, tukang
sol sepatu, penjual madu, penjual kue, pelayan rumah makan, tukang parkir, tukang
ojek, supir taksi, dan lain-lain.
Selain di pinggir jalan, saya terkadang suka duduk-duduk di
pinggir laut. Menikmati hembusan angin, mendengar senandung debur ombak,
merasai asinnya udara, sambil mengamati langit yang berwarna biru terang atau
hitam pekat. Kadang sambil minum es kelapa muda, kadang sambil makan bakso,
kadang hanya ditemani air putih, kadang tanpa apapun.
Ritual ini tidak memakan waktu yang lama. Terkadang saya
hanya butuh lima belas menit, terkadang dua kali lipatnya, dan tak sampai empat
kali lipatnya. Saya memang membatasi agar ritual ini tidak terlalu memakan
waktu yang panjang. Kadang saya melakukannya sepekan sekali dan kadang setelah beberapa
bulan saya melakukannya lagi. Tentu saja, ritual ini saya jalani tanpa rencana
dan sendirian. Lelaki terkadang butuh momen untuk sendiri, dan inilah salah
satu momen saya untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk duniawi.
Ah, saya baru ingat kalau aktivitas ini sudah saya lakukan
sejak saya kuliah dulu. Teknis dan lokasinya kurang lebih berbeda tapi
substansinya tetap sama.
Nongkrong di pinggir jalan selalu menyajikan banyak
peristiwa sederhana namun penuh makna bagi saya. Tentang guratan hidup orang-orang
pinggiran, tentang kondisi kaum-kaum picisan, tentang kesederhanaan, tentang
keruwetan mengenai banyak hal. Selalu ada pelajaran yang bisa saya reguk dari
ritual sederhana ini. Mungkin suatu hari nanti, saya akan melakukannya lagi. Entah
kapan dan di mana. [wahidnugroho.com]
H2, Juli 2012
0 celoteh:
Posting Komentar