“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat.” [QS Ibrahim 24-25]
Surat Ibrahim ayat 24 ini adalah surat yang cukup memorable
bagi saya. Kisahnya berawal ketika saya masih kuliah tingkat satu di Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara. Waktu itu, salah seorang kakak kelas pernah meminta
saya untuk menghafalkan empat ayat dari Surat Ibrahim ini, yakni ayat 24-27,
sebagai tugas untuk mengikuti sebuah acara daurah. Saya menyanggupinya
dan, alhamdulillah, berhasil menghafal empat ayat lebih banyak dari yang
seharusnya saya selesaikan. Sampai hari ini saya masih hafal dengan baik
ke-delapan ayat itu dan kerap merapalnya dalam berbagai kesempatan atau ketika
sholat sendiri.
Oleh karenanya, ketika ustadz kami menyinggung tentang ayat
ini dalam sebuah majelis pembinaan, memori saya langsung berputar ke masa
delapan tahun yang lalu dan menikmati kenangan yang terjadi ketika surat ini
kembali hadir dalam aktivitas saya.
Saya suka dengan kedua ayat di atas – actually, saya
suka semua ayat di dalam Al Qur’an tanpa terkecuali. Saya bukan penafsir Al Qur’an,
saya tidak paham tentang kosakata bahasa Arab. Tapi saya mampu merasa bahwa
maksud dari surat ini akan sangat indah bila kita mau menjalankannya.
Surat ini berkisah tentang perumpamaan kalimat yang baik. Bahwasanya
sebuah kalimat yang baik Allah ibaratkan sebagai sebuah pohon yang akarnya
kuat, batangnya menjulang, dan bahkan memberikan kemanfaatan lainnya berupa
buah yang bisa kita nikmati rasanya. Saya jadi berpikir seperti ini: Andai satu
kalimat yang baik, sekali lagi satu kalimat, saja sudah sebegitu besar manfaatnya,
apatah lagi bila kalimat itu berbuah tindakan yang baik? Apalagi bila tindakan
yang baik itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tapi juga memasyarakat,
melembaga, dan menegara? Maka sudah barang tentu manfaatnya akan jauh lebih
banyak dan jauh lebih luas daya jangkaunya.
Negara ini sesungguhnya diisi oleh orang-orang yang baik,
atau orang-orang yang sedang berusaha untuk menjadi baik. Saya yakin itu.
Mungkin ada yang kadar kebaikan di dalam dirinya lebih dominan, mungkin ada
yang tidak. Mungkin ada yang porsi kebaikan di dalam dirinya lebih menonjol,
mungkin ada yang kurang. Mungkin ada yang lebih pede dalam melakukan
kebaikan, mungkin ada yang masih malu-malu. Mungkin ada yang sudah mencukupi
kebaikan untuk dirinya sendiri, mungkin ada yang ingin mendistribusikannya
kepada orang lain. Semuanya ini baik. Semuanya ini tidak salah. Yang tidak baik
dan yang salah itu adalah ketika harapan kita akan eksistensi kebaikan ini
meluntur, memudar, dan menguap sama sekali.
Orang-orang yang telah meluntur, memudar, dan menguap
optimismenya terhadap orang baik dan kebaikan sebenarnya lebih parah daripada
orang yang tidak berbuat baik sama sekali. Karena optimisme adalah nafas
kehidupan, harapan adalah nyawa sebuah peradaban. Bila tidak ada optimisme maka
tidak akan ada lagi orang yang rajin bekerja untuk memenuhi hajat hidupnya,
tidak akan ada lagi seorang ayah yang banting tulang setiap hari untuk
menafkahi anak dan istrinya, tidak akan ada lagi seorang ibu yang menyusui dan
memelihara anaknya dengan sepenuh hati dan jiwa karena apa yang mereka lakukan
adalah sia-sia belaka.
Manusia bisa mati, badan dan tulang-belulang bisa hancur
dimakan tanah, namun optimisme akan eksistensi kebaikan dan orang-orang yang
memperjuangkannya akan selalu hidup melebihi usia kehidupan itu sendiri. Maka mengejawantahkan
kebaikan dalam setiap kata dan kerja kita adalah sebuah keniscayaan. Memasyarakatkan
kebaikan dan mengokohkannya adalah tugas kita yang berikutnya. Kebaikan bisa
berwujud apa saja. Kebaikan bisa memiliki banyak bentuk. Namun simpul dari
semua kebaikan hanya satu: kebermanfaatan.
Itulah sebabnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Manfaat
adalah simpulnya, dan kebaikan adalah tali-tali temali yang terjulur darinya.
Karena dari setiap kebaikan yang kita lakukan maka akan lahir manfaat demi
manfaat yang bisa dirasakan oleh sesama kita.
Maka marilah kita membiasakan diri untuk berkata yang baik,
bertindak yang baik, berpikir yang baik, dan berprasangka yang baik. Marilah
kita menebar benih-benih kebaikan dan kebermanfaatan, bukan benih-benih
keburukan dan kesisa-siaan. Mari kita menanam pohon-pohon optimisme, bukan
menebar hama-hama pesimisme dan keputus-asaan.
Pembiasaan ini memang akan membuat kita sedikit tidak nyaman,
pembiasaan ini bisa jadi akan memakan waktu yang panjang dan tidak sebentar,
tapi saya yakin kita pasti bisa melakukannya. Karena kita punya optimisme bahwa
hanya kebaikanlah yang akan kita wariskan bagi keturunan kita kelak, bukan
harta dunia yang sifatnya fana dan sementara. Dan bagi kita sebagai seorang
mukmin, kebaikan adalah investasi akhirat yang akan selalu mengalir pahalanya
walau nyawa tak lagi dikandung raga.
Semoga urusan ini dimudahkanNya. Amin ya mujiib as saailiin.
[wahidnugroho.com]
Garuda, November 2012
0 celoteh:
Posting Komentar