Allah menciptakan kita semua dalam kondisi yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Saya seperti ini, Anda seperti itu. Isi kepala
saya begitu, isi kepala Anda begini. Kecenderungan hati saya kesana,
kecenderungan hati Anda kesini. Selera saya disini, selera Anda disana. Saya
ganteng, Anda kurang ganteng. Saya keren, Anda kurang keren. Saya cakep, Anda
kurang cakep. Kita memang berbeda. Karena itulah masing-masing kita unik.
Kita unik karena kita punya ciri khas tersendiri yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Bisa jadi ada satu, dua, sepuluh, bahkan seribu
kesamaan antara saya dan Anda. Tapi dalam detail tertentu kita pastilah
berbeda.
Contohnya dalam hal makan sambel. Anda bisa jadi suka sambel
yang pedasnya membahana (ups, maaf saya pinjam kata-kata ini), saya suka
sambel yang pedasnya merambat dengan sopan, yakni sambel yang awalannya berasa
agak manis tapi lama-lama bikin mata menangis. Di seberang sana mungkin ada
yang suka sambel dengan terasi yang banyak, di seberang sini mungkin
sebaliknya. Di sebelah sana mungkin suka sambel yang dicampur gula aren, di
seberang sini mungkin tidak. Di sudut sini mungkin suka sambel yang isinya cabe
rawit saja, di sudut sana mungkin suka sambel yang dicampur dengan cabe
keriting. Nah, karena dalam urusan makan sambel saja kita sudah punya perbedaan
yang cukup mencolok dan membahana (halah, kepake lagi kata-kata ini) seperti
itu, maka keragaman fikir kita pun pasti akan ada.
Saya jadi ingat ketika di awal-awal pernikahan dulu istri
saya membuatkan masakan favoritnya untuk saya, yang celakanya itu bukan masakan
favorit saya, bernama kuah asam. Anda yang dari Sulawesi pasti tau donk
apa itu kuah asam? Kuah asam adalah ikan yang dimasak kuah. Semacam sup ikan
dan segala rempah-rempahnya. Istri saya mungkin tidak tahu kalau saya bukan
pecinta ikan. Lha ikan goreng yang kemeripik aja kadang tidak
saya makan, apalagi ikan yang basah kuyup begitu. Maka tanpa mengurangi rasa
cinta saya kepadanya, masakan itu pun tidak saya sentuh sama sekali dan saya
katakan kepadanya, “Kalau mau masak kuah asam silakan, tapi saya tidak ikut
makan”.
Ketika ada situasi seperti ini, setiap kita mungkin punya
sikap yang berbeda. Saya cenderung terus terang ketika tidak suka akan sesuatu
dan tidak suka menyimpan ketidaksukaan saya itu, Anda mungkin sebaliknya lebih
memilih menyimpan dan menyelesaikannya dalam diam. Lalu mana sikap yang benar
dan mana yang salah? Tidak ada yang salah, semuanya benar. Intinya adalah soal
komunikasi. Mengkomunikasikan ketidaknyamanan, ketidaksukaan, ketidaksetujuan
itu secara elegan dan beradab kepada pasangan kita masing-masing.
Kembali ke soal kuah asam. Lalu, apakah saya jadi tidak
cinta kepadanya hanya karena urusan kuah asam? Apakah cinta harus diukur dari
semangkok kuah asam? Apakah perkara kuah asam ini tidak bisa dikompromikan
sehingga saya dan istri harus berantem tujuh hari tujuh malam dan pisah
ranjang sampai akhir bulan? Tentu saja tidak, bagi saya.
Kuah asam itu soal kecil begitu juga soal tidur yang mendengkur,
sambel yang terlalu pedas, bau badan yang kurang membuat nyaman, warna baju
yang tidak sepadan, atau perkara tertentu yang terjadi di atas ranjang (dan mungkin juga tidak terjadi di atas
ranjang #IYKWIM). Ini perkara kecil. Bisa dibicarakan, bisa dikompromikan, bisa
diselesaikan secara baik-baik. Bentuk penyelesaiannya bisa beragam, intensitas
penyelesaiannya juga beragam. Intinya adalah komunikasi, kesabaran, dan
kejujuran hati.
Karena ini soal kecil, soal sepele dan remeh temeh, maka
jangan sampai menjadi penghalang kita untuk berbahagia dalam pernikahan, meski
ada perbedaan yang cukup menganga antara diri kita dengan pasangan kita. Jangan
sampai perkara sepele itu menjadi faktor yang menentukan bahagia dan tidaknya
pernikahan kita. Misi besar yang kita usung kala mengucap ijab qabul itu
terlalu berharga, jauh terlalu berharga, bila harus digadaikan dengan urusan
sepele ini.
Menyatukan dua pribadi itu, kata Eko Novianto dalam buku
Engkaulah Matahariku, seperti memadukan dua batang kayu.
Agar sambungan itu kokoh kedua batang kayu tersebut harus
disambung dengan teknik tertentu. Dalam proses penyambungan dengan teknik
tertentu itu, masing-masing kayu harus merelakan sebagaian dirinya dipotong,
dibentuk, dan disesuaikan dengan potongan kayu yang lain. Proses pemotongan,
pembentukan, dan penyesuaian ini harus dilakukan pada kedua batang kayu secara
harmonis. Bukan hanya pada salah satunya. Jika dilakukan hanya pada salah
satunya, hasilnya tidak optimal. Padahal kedua batang kayu itu telah tumbuh
kuat. Telah lulus quality control. Bahkan keduanya terbentuk secara sistemik
untuk menjadi banyak tujuan.
Maka tendensi dan selera pribadi yang telah membentuk diri
kita seperti ini bukan untuk dihilangkan sama sekali, tapi hanya perlu untuk
dikompromikan dan dikomunikasikan. Kita hanya perlu meletakkan semua rasa “pribadi”
itu dalam satu tujuan bersama. Tujuan yang lebih besar dan mulia untuk
membangun peradaban ini. Sehingga, bila tendensi itu tidak searah dengan tujuan
besar yang sudah dicanangkan tersebut, maka tendensi itu perlu untuk ditinggalkan
bahkan dibuang. Hanya saja pertanyaannya adalah, apakah kita sudah menyiapkan
ruang besar di dalam jiwa untuk menampung “buangan” itu? Hanya masing-masing
kita yang bisa menjawabnya.
Perbedaan itu, seyogyanya, membuat kita kaya. Iya, kaya. Saya, Anda,
dan kita semua.
Mohon maaf atas ceracauan ini. [wahidnugroho.com]
0 celoteh:
Posting Komentar