Sebut saja namanya Joni. Temannya Joni bernama, sebut saja
juga, David. Joni berbadan atletis, berkulit hitam legam. Tindak-tanduknya
cekatan dan tak malumalu bertanya kepada bosnya yang berdarah Chinese itu. David juga
berkulit legam. Namun dia lebih pendiam ketimbang Joni. Ketika bosnya menyuruh
dia melakukan ini, David menurut. Ketika bosnya memerintahkan itu, David
menjalankan. Dimana saya kenal mereka berdua? Di toko bangunan saat saya sedang
membeli ubin.
Dalam beberapa kesempatan yang sempit, saya menyempatkan
bertanya beberapa hal kepada Joni. Sudah berapa lama kerja di sini, sudah
berkeluarga atau belum, asal darimana, sampai soal yang sensitif: besaran gaji
dan bonus yang dia terima. Joni komunikatif dan dia menjawab semua pertanyaan
kurang adab saya dengan dalih basa-basi itu.
Saya pun akhirnya mengetahui kalau Joni ini berasal dari
Bulagi, Banggai Kepulauan. Umurnya lebih muda setahun daripada saya. Dia sudah
berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil. Sedangkan David belum
berkeluarga. Yak benar, keduanya Nasrani. Hal itu saya ketahui ketika Joni
berkata bahwa dia akan pulang kampung untuk merayakan Natal bersama
keluarganya. Begitu juga David.
Sore itu, menjelang tutup toko, saya membeli sekitar lima
puluh dos ubin berukuran sekian kali sekian. Karena saya nggak punya mobil bak,
dan karena mobil si Ko’ bensinnya cuman sedikit, maka saya mengontak teman saya
yang punya angkot untuk saya sewa mengangkut ubin-ubin yang beratnya membahana
itu. Saya menjanjikan kepada si Ko’ bahwa nanti saya yang tanggung biaya angkut
dan biaya antarnya. Saya juga minta kepada Ko’ supaya nanti si Joni dan David
yang ikut dengan saya. Si Ko’ yang murah senyum itu menyetujui usulan saya.
Sesampai di tempat yang dituju, kedua pegawai toko bangunan
itu dengan cekatan langsung membongkar muatan yang lumayan banyak itu. Awalnya
saya mencoba untuk membantu, namun ternyata kardus berisi ubin itu lumayan
berat. Walhasil saya mundur dan melihat kerja mereka berdua dari teras rumah.
Ketika semua ubin sudah dipindahkan dari dalam mobil ke
dalam rumah, saya berbicara lagi kepada Joni. Sedangkan David berada tak jauh
dari kami berdua.
Saya tanya kepada Joni, “Kapan mo pulang ka Bulagi?”
“Sobantar malam, Pak”, jawab Joni.
“So beli hadiah natal
buat nga pe anak?”, tanya saya lagi.
“Belum, pak”, jawabnya sambil tersipu.
Saya lalu membuka tas selempang mungil saya dan mengeluarkan
beberapa lembar uang. Saya serahkan uang itu kepada Joni.
“Ini dari saya buat ngana. Sekian nga kase buat David,
sekian nga ambe buat ba bili hadiah natal. Terima kase so bantu saya ba angkat tegel kamari e”, ujar saya.
Joni dan David saling beradu pandang. Mungkin mereka bingung
ada orang berjenggot tipis (berkumis tipis dan berdompet tipis juga :hammer) bercelana
cingkrang yang selalu ngomong “salamlikum ane ente” di handphonenya itu
menyerahkan hadiah buat mereka. Hadiah natal?
Karena uang yang saya sodorkan belum juga diterima, maka
saya tarik tangan si Joni dan meletakkan uang yang tak seberapa jumlahnya itu
kepadanya. Joni tampak sangat senang. Senyumnya mengembang. Begitu juga David. Keduanya
kemudian mengucapkan terima kasih kepada saya. Karena keduanya senang, saya
juga ikut senang.
Lalu untuk apa saya tulis ini? Buat pencitraan? Buat
gaya-gayaan kalo saya ini dermawan gitu? Atau ada motif politis karena 2014
udah dekat (halah)?
Kok duitnya gak disumbang buat masjid? Buat anak yatim? Kok dikasih
ke orang Nasrani? Buat Natalan pulak?
Anda yang membaca tulisan ini berhak menilai saya dengan
nilai apapun. Saya tidak keberatan. Monggo. Saya hanya senang melihat orang
lain senang. Dan saya senang menghargai kerja keras orang lain, siapapun dia,
semampu yang saya bisa.
Jadi, sampeyan ngucapin Selamat Natal buat Joni dan David?
Mau tau aja atau mau tau banget? [wahidnugroho.com]
Muspratama, Desember 2012
Menjelang Maghrib
0 celoteh:
Posting Komentar