Kenapa harus menggunakan Khalifah Ottoman (Utsmaniyah) sebagai mukadimah tulisan saya tentang Anis Matta? Saya tidak tahu. Ide itu mengalir begitu saja tanpa bisa dihentikan. Antara Anis Matta dan Ottoman memang tidak berhubungan. Tapi antara keduanya memiliki sebuah kemiripan: misterius.
Sebelum abad ke 20, informasi
tentang Kekhalifahan Ottoman yang nyaris berusia tujuh ratus tahun dan penuh
dengan kejayaan itu masih sangat terbatas, baik yang berbahasa Arab, apalagi
yang berbahasa Latin. Para pakar sejarah pun kesulitan untuk menggali informasi
mendetail yang dapat digunakan sebagai argumentasi dalam penelitian mereka. Namun
ketika Kekhalifahan Ottoman runtuh pada tahun 1923 dan digantikan oleh Republik
Turki, arus penelitian mengenai jati diri Ottoman yang sesungguhnya pun terbuka
lebar.
Pun begitu dengan Anis Matta.
Sebelum beliau diangkat menjadi Presiden PKS yang baru, kiprahnya nyaris sepi
pemberitaan. Hanya golongan ‘terbatas’ saja yang mengetahui sosok yang nyaris untouchable
di jabatan Sekjen PKS ini. Bagaimana tidak? Sejak berdirinya PK – yang di
kemudian hari bertransformasi menjadi PKS –, Anis Matta selalu bergeming pada
posisinya sebagai Sekjen sampai akhirnya terpilih sebagai Presiden PKS lewat
musyawarah Majelis Syuro.
Oleh karenanya, paska pengangkatan
dirinya sebagai Presiden PKS, Anis Matta seolah mendapatkan ‘panggung’ untuk
lebih menegaskan eksistensinya dalam panggung politik tanah air yang – menurut saya
– diisi oleh orang yang itu-itu saja. Apalagi ketika banyak media mainstream
yang kerap mengulang-ulang orasi politik perdananya yang menggebu-gebu itu,
maka secara tidak langsung pemberitaan itu pun menjadi semacam promosi gratis
akan sosoknya yang selama ini misterius.
Dan benar saja. Sejak saat itu,
namanya mulai bergaung di jagat perpolitikan tanah air. Orang mulai mencari
tahu akan sosok seorang Anis Matta yang sebelumnya nyaris tak terdengar ini. Hal
ini menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi para pengamat dan juga masyarakat
untuk menilai sosok Anis Matta secara utuh. Informasi yang berseliweran di
media tentang Anis Matta kala itu tidak terlalu banyak, kalaupun ada hanya
berupa opini sepihak yang kedalaman faktanya masih perlu digali dan diuji lagi.
Maka ketidaktahuan itu pun
menemui momentumnya saat Anis Matta tampil dalam acara Gestur yang ditayangkan
oleh TV One beberapa waktu yang lalu. Hal itu terlihat tatkala pancingan-pancingan
komentar yang dilontarkan oleh para pengamat dan presenter di acara tersebut,
yang seyogyanya memprovokasi Anis, masih belum mampu menguak apa sebenarnya
yang ada di dalam isi kepala seorang Anis Matta.
Itulah sebabnya saya bisa
mengatakan bahwa Anis Matta memiliki kepribadian yang berlapis, dalam
perspektif positif, tentu saja. Lapisan kepribadian adalah kedalaman – dan kedangkalan
– kepribadian yang muncul dari akumulasi berinteraksi kita dengan seseorang. Maka,
kerap tampilnya Anis Matta di depan publik akhir-akhir ini, perlahan tapi
pasti, mengupas kepribadiannya yang unik itu satu demi satu, hingga akhirnya
kita bisa menilai seorang Anis Matta secara utuh dari berbagai sudut.
Dari mozaik itulah kemudian
diketahui sejarah hidupnya, siapakah sebenarnya orang ini, bagaimana masa lalunya, koleksi-koleksi bukunya, pola berpikirnya,
kecenderungan-kecenderungannya, hal-hal yang menjadi obsesinya, serta hal-hal
yang disukai dan tidak disukainya. Orang-orang pun mulai mengumpulkan
tulisan-tulisannya, membeli buku-bukunya, mengoleksi ceramah dan orasi-orasinya,
serta memerhatikan gerak-geriknya setiap saat. Bahkan banyak di antara mereka
yang seolah menunggu, gerangan apa lagi ‘kejutan’ yang akan dihadirkan dalam
setiap pertemuan dengannya. Letupan apa lagi yang akan dia berikan dalam setiap
statemen-statemennya yang kerap menginspirasi banyak orang.
Maka, penantian dan ekspektasi ini
perlu dipelihara dan dijaga frekuensinya, agar mampu melahirkan sebuah
harmonisasi jiwa yang selaras dan produktif antara Anis Matta dan para
pengagumnya. Caranya bagaimana? Entahlah. Saya belum tahu. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Maret 2013
0 celoteh:
Posting Komentar