Sore tadi saya melihat-lihat lemari buku lawas di rumah. Ketika
itu, pandangan saya tertumpu pada sebuah Al Qur’an berukuran cukup besar yang berwarna
biru dongker. Sebut saja Si Biru . Covernya tampak lusuh dan berdebu serta di
sisi tengahnya sudah banyak tambalan selotip berwarna cokelat. Saya langsung saja
mengenali benda itu, yang selama bertahun-tahun menjadi bacaan setia almarhum
bapak semasa hidupnya. Ada banyak mushaf lainnya di rumah, tapi almarhum bapak
tetap setia dengan Si Biru. “Hurufnya lebih gampang dibaca”, begitu akunya.
Itulah sebabnya, saya terkadang harus bergantian dengan
beliau untuk menggunakannya. Karena Al Qur’an lainnya yang ada di rumah kami
hurufnya tidak jelas dan tanda bacanya suka bikin bingung. Belakangan ketika
SMA, saya sudah punya Al Qur’an sendiri yang berukuran lebih kecil dan ada
terjemahannya. Lambat laun, Si Biru pun saya tinggalkan, meski sesekali saya
menengoknya.
Si Biru ini sudah lama kami miliki. Saya sendiri sudah lupa
kapan pertama kali Al Qur’an berhuruf unik (belakangan saya ketahui itu adalah
huruf khas Mushaf Utsmani) ini ada di rumah. Yang saya tahu, Si Biru ini
merupakan wakaf dari Raja Fahd ibn Abdul Aziz di Arab Saudi dan dibagikan
gratis. Beberapa orang di sekitar rumah juga memiliki Al Qur’an semacam ini.
Ada banyak sekali coretan yang saya buat, dan juga almarhum
bapak buat, di dalam Si Biru. Beberapa coretan berupa tulisan latin yang
berfungsi sebagai alat bantu saya untuk menghafal, coretan lainnya karena wujud
keisengan saya dulu. Ada juga coretan tanpa makna lainnya disana.
Menimang benda ‘bersejarah’ itu, saya jadi terkenang dengan
banyak hal. Dulu almarhum bapak punya semacam aturan tak tertulis bagi kami
sekeluarga yang isinya adalah melarang kami untuk menonton televisi seusai
Maghrib sampai dengan Isya. Karena jangka waktu itu akan beliau habiskan untuk bertadarrus
Qur’an. Lantunan suaranya yang lantang menjadi simfoni rutin bagi saya, bahkan
setelah saya merantau ke Luwuk. Terkadang di sela-sela pembicaraan saya dengan
ibu melalui telepon, saya mendengar sayup-sayup suara almarhum yang sedang
mengaji.
Ketika bulan Ramadhan, almarhum akan menghabiskan waktu lebih
banyak lagi untuk membacanya. Pernah dalam suatu Ramadhan almarhum berujar
dengan bangga bahwa beliau berhasil menamatkan Al Qur’an sepuluh kali dalam
satu bulan. Saya yang jauh lebih muda ternyata tak mampu menyamainya, meski
hanya setengahnya. Dan kebiasaan membaca Si Biru itu selalu dilakukannya
sebelum beliau meninggal.
Saya juga sering mengoreksi bacaan almarhum yang salah, atau
ketika mad dan makhrojnya tidak benar. “Lidah bapak udah susah, Nuk”, begitulah
ucapannya ketika koreksi dari saya tak bisa diikutinya. Tapi saya sangat bangga
dengan almarhum, karena waktu itu beliau satu-satunya bapak-bapak di sekitaran
rumah yang paling rajin mengaji. Suaranya yang lantang dan jernih sudah
tertangkap telinga ketika saya pulang dari Masjid dan langkah saya berjarak
beberapa meter dari rumah.
Kini bapak sudah tiada. Si Biru hanya bisa membisu dan
diselimuti debu. Saya hanya bisa berharap agar ia mau menjadi saksi bagi
almarhum ketika yaumil akhir kelak, bahwa di sisa umurnya yang pendek
itu, beliau sentiasa mengisinya dengan membaca dan mempelajarinya, semampu
beliau, lebih dan kurangnya.
Allahummaghfirlahu wa’afiyhi wa’fu’anhu. [wahidnugroho.com]
Jurangmangu, Maret 2013
Titip rindu buat bapak
luar biasa, tradisi membacanya udah dimulai sejak generasi sebelum sebelumnya ya gus? makanya enak meneruskannya...
BalasHapus