Waktu itu sudah nyaris tengah malam. Saya yang sedang
asyik-masyuk tidur dibangunkan paksa oleh istri. “Bi, aku ditunjuk jadi caleg
lagi. Menurut abi gimana?”, ucapnya sambil mengguncang-guncang badan saya yang
sedang memeluk guling. Saya terjaga dan mengucek-ucek mata yang belekan.
“Ya terserah kamu say”, jawab saya sambil kembali menenggelamkan
wajah ke dalam bantal. Obrolan soal politik di tengah malam belum membuat saya tertarik.
Bukan kenapa, saya lagi ngantuk berat malam itu.
Maka jadilah obrolan soal caleg itu dilanjutkan keesokan
harinya.
“Aku mau jadi caleg, asal bukan di dapil tempat Tante
Fulanah maju”, ujarnya sambil melihat wajah saya yang nyaris tanpa minat untuk
menyimak perkataannya.
“Aku nggak enak sama keluarga, bi, kalo misal
diajuin jadi caleg di dapil itu”, urainya sambil menyebutkan alasan-alasan,
termasuk ketika istri saya ‘gagal total’ mendapatkan dukungan maksimal saat
menjadi caleg di Pemilu 2009 yang lalu.
“Ya tinggal kamu bilang aja ke temen-temen PKS, say”,
jawabku.
“Nanti aku bilang”, ucapnya.
Keesokan harinya saya ditelepon oleh Wakil Ketua DPD, Ustadz
Ali Makhfudz, perihal pencalonan istri saya sebagai caleg PKS. Saya katakan
bahwa saya pada intinya ngikut apa kata istri aja. Kalo istri saya bersedia,
saya pasti dukung. Kalo istri saya tidak bersedia, pasti ada alasannya.
“Pada intinya, sih, istri saya bersedia, Mas”, lanjut saya, “tapi
dengan beberapa syarat”.
Maka saya pun mengutarakan perihal alasan keberatan istri
saya bila dicalonkan di dapil yang sama tempat tantenya yang anggota dewan dan
sekarang maju lagi sebagai caleg dari partai lain itu akan bertarung.
“Nggak enak sama keluarganya istri saya, Mas”, urai
saya, “lagipula tantenya yang anggota dewan itu kan rumahnya di samping
rumah kami persis”.
Mas Ali, begitu beliau biasa disapa, berdehem tanda
mengerti.
“Nanti kita hubungi lagi”, tutupnya.
Pagi ini, hari Kamis tanggal delapan belas April tahun dua
ribu tiga belas, istri saya kembali mengangkat obrolan soal caleg.
“Abi, aku ternyata di dapil yang beda dengan dapilnya Tante
Fulanah. Kalo misal begitu aku bersedia, bi”, serunya riang.
“Ya udah, tinggal kamu siapin berkas-berkas
yang harus dipenuhi”, jawab saya.
Dan pagi ini, istri saya bercerita tentang banyak rencana
yang akan dilakukannya terhitung sekarang. Mulai dari menyiapkan berkas ini,
surat keterangan itu, menyiapkan biaya untuk pembuatan surat-surat itu, sampai
strategi penjaringan dukungan buatnya. Saya menyimak kata-katanya dan
menyiapkan hati untuk mendukungnya semampu saya.
“Semoga bisa dapet banyak dukungan, bil khusus
dari keluarga besarmu, say”, ujar saya menyemangatinya.
PKS, setahu saya, memang partai yang berbeda dari partai
lainnya. Bila di partai lain orang berlomba-lomba untuk maju menjadi caleg, bahkan
saling sikut dan saling sikat di fase pra-pencalegan, tapi di PKS tidak ada ritual
itu. Biasanya, nama-nama yang diajukan
akan dimusyawarahkan oleh tim tertentu, saya tidak tahu apa nama timnya, dengan
pertimbangan dan perhitungan tertentu, yang saya juga tidak tahu bagaimana
rumusannya. Dan ketika tim tertentu itu sudah memutuskan beberapa nama, maka
mereka akan menghubungi nama-nama yang dimaksud untuk dimintai kesediaannya
menjadi caleg melalui PKS. Bila nama yang ditentukan itu perempuan yang sudah
bersuami, maka suaminya pun akan dimintai persetujuannya, sebagaimana yang saya
sebutkan sebelumnya di atas.
Di Pemilu tahun 2009 yang lalu, istri saya juga diajukan
sebagai caleg dari PKS, meski gagal mendapat dukungan yang maksimal, tapi dari
situ saya jadi sedikit banyak tahu dengan mekanisme penjaringan caleg yang ada
di partai tersebut.
Teringat pula dengan ‘kehebohan’ kecil yang diperbuat istri
saya di kantor Polres Banggai ketika sedang membuat cap tiga jari dan Surat
Kelakuan Cakap Kelakuan Catatan Kepolisian sehingga harus membuat seorang Kapolres memarahi
salah satu kanitnya yang kala itu memaksa istri saya untuk memperlihatkan
telinganya saat mau difoto, dan istri saya, tentu saja, menolaknya. Kehebohan itu
akhirnya membuka ruang dialog antara PKS dan beberapa elemen Islam di kota
Luwuk dengan pihak Kapolres mengenai perlu tidaknya memperlihatkan telinga –
yang notabene adalah aurat bagi muslimah – saat akan diambil fotonya, yang
berujung pada tidak perlunya memperlihatkan bagian itu saat akan difoto. Dan banyak
cerita lainnya yang terjadi ketika itu.
Kira-kira, ada cerita apa lagi dari pencalegan istri saya
kali ini? Saya tidak tahu. Moga cerita itu baik adanya.
Semoga. [wahidnugroho.com]
0 celoteh:
Posting Komentar