“Tidak ada cinta jiwa tanpa
sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan
fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa.” [Anis Matta]
Ketika jiwa telah berasa penat,
dan raga mengeras liat, maka hanya sentuh fisiklah yang pantas jadi pengobat. Saat
tawa tak lagi terasa renyah, saat bisikan tak lagi mengusik jiwa, maka belaian dari
jemari lembutlah yang akan jadi penguat rasa. Di waktu desah suara tak mampu
meredakan gejolak hati, maka saatnya memuarakan semua gejolak yang membadai itu
ke dalam wadah bernama birahi.
Inilah salah satu sifat paling
purba dari manusia. Temu jiwa sentuh fisik, begitu Anis Matta meredaksikannya. Bahwa
jiwa-jiwa yang sentiasa beresonansi itu pun butuh sentuhan fisik. Islam meredaksikannya
dengan kata mawaddah.
Mawaddah ibarat bara api. Sesuatu
yang sifatnya menggebu-gebu penuh nafsu berlandaskan cinta dan sayang kepada
pasangannya, baik yang sah maupun tidak. Mawaddah, kata Cahyadi
Takariawan, adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada
pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik.
Maka bila ada seorang lelaki yang
tertarik secara fisik kepada seorang perempuan, itulah yang kita sebuh sebagai mawaddah.
Bila ada seorang lelaki yang suka dengan perempuan bertubuh langsing, berdada
padat dan berpinggul sintal, maka itu bentuk lain dari mawaddah. Ini adalah
hal yang manusiawi dan tidak perlu dianggap sebuah kontroversi. Saya akan
memandangnya sebagai sebuah kontroversi bila relasi ketertarikan itu tidak
dibingkai dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah.
Jadi, wajar bila ada seorang
suami yang tertarik (baca: bernafsu) dengan bagian tertentu dari tubuh
istrinya. Sangat wajar bila seorang suami merasa tergoda dengan kerlingan mata
dan singkapan tak sengaja aurat dari sang istri. Inilah yang dinamakan mawaddah
itu. Anda para istri harusnya merasa terhormat dan dihargai bila suami Anda
memandang Anda dengan tatapan ketertarikan, nafsu, ataupun birahi. Anda tentu
akan merasa tak dicintai, tak disayang atau tak dikehendaki lagi bila suami tak
lagi menyentuh Anda, tak lagi berbicara dan berlaku intim dengan Anda.
Keintiman ini disebut oleh para
ulama sebagai gharizah na’u, atau naluri untuk melanjutkan hidup, naluri
untuk berketurunan. Terakhir, saya ingin menyitir dua buah hadits dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya ketika seorang
suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya,” kata Nabi
Saw. menjelaskan, “maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan perhatian
penuh rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya (diremas-remas),
maka berguguranlah dosa-dosa suami-istri itu dari sela-sela jari-jemarinya.”
(Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi’ dari Abu Sa’id Al-Khudri ra)
Ketika saling memandang pun dihujani
dengan rahmahNya dan sentuhan fisik berupa remasan tangan mengundangNya untuk
menggugurkan dosa-dosa, maka tak heran bila suatu hari seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah mengenai fadhilah dari perkara jimak, yang mungkin menurut
sahabat itu adalah sesuatu yang mengherankan bila perkara ranjang bisa
menghadirkan pahala baginya.
“Wahai Rasulullah, apakah (jika)
salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam menjawab : “Tahukah dirimu jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang
haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang
halal, maka ia mendapat pahala” (HR Muslim).
Maha Benar Allah yang telah
berfirman, “Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya
Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (QS
Al-A’raf 189).
Temu jiwa sentuh fisik, itulah mawaddah
yang sesungguhnya. Begitulah perkara syahwat yang dibingkai dengan ikatan
pernikahan. Ia berfungsi sebagai pengobat jiwa yang lelah, tempat tetirah raga
yang melemah. Syahwat yang nikmat, sehat, dan berpahala. Amboi nian! [wahidnugroho.com]
Kilongan, April 2013
0 celoteh:
Posting Komentar