Suatu saat di petang yang masih terang. Kita berdua duduk di
teras depan rumah sambil membaca sebuah buku dari masa lalu. Langit cerah nyaris
tanpa awan, semburat jingga berkilau lemah dari balik perbukitan. Lautan tampak
tenang. Seekor elang berbulu cokelat tua tampak terbang rendah di atas
permukaannya.
Usia kita sudah memasuki masa senja. Rambutku dan rambutmu
mungkin telah banyak dihiasi uban. Gigi kita mungkin sudah ada satu dua yang
tanggal. Nafas kita mungkin sudah mulai tersengal. Mata ini mungkin perlu
sedikit memicing saat memandang.
Saat itu kita sudah tidur berdua lagi, setelah bertahun
sebelumnya selalu tidur berdesakan dengan anak-anak. Mata kita saling
memandang, kulit kita saling bersentuhan, tak terucap untaian dialog kata-kata,
yang ada hanya resonansi jiwa.
Rumah ini begitu hening. Tak ada lagi renjis tawa anak-anak.
Tak ada lagi riuh tangis saat mereka berebut mainan. Tak ada lagi teriakan yang
sering muncul karena permintaan mereka yang tak bisa dipenuhi. Tak ada lagi rengekan
mereka saat minta diantarkan pipis dan aktivitas kamar mandi lainnya. Tak ada
lagi igauan yang muncul ketika mereka demam atau terbangun karena mimpi buruk
di tengah malam.
Rumah ini akan tampak rapi dan bersih. Tak ada lagi mainan
mereka yang berserakan di lantai, kursi rotan, dan kamar tidur. Tak ada lagi
baju-baju mungil mereka yang teronggok di segala sudut rumah. Tembok-temboknya
pun tak lagi dipenuhi coretan dari tangan-tangan mungil mereka.
Tak ada lagi tangan yang mampu mengusap air mata mereka ketika mereka tengah menangis. Tak ada lagi bahu yang dapat dijadikan sandaran mereka ketika mereka mengeluh. Tak ada lagi kata-kata manis yang mampu menghibur ketika mereka tengah berduka.
Tak ada lagi tangan yang mampu mengusap air mata mereka ketika mereka tengah menangis. Tak ada lagi bahu yang dapat dijadikan sandaran mereka ketika mereka mengeluh. Tak ada lagi kata-kata manis yang mampu menghibur ketika mereka tengah berduka.
Akhir pekan pun hanya kita jalani berdua. Tak ada lagi
tamasya ke laut sebagaimana biasa. Tak ada lagi belanja ke supermarket
sebagaimana biasa. Tak ada lagi makan es krim di bawah menara masjid
sebagaimana biasa. Tak ada lagi kunjungan ke rumah makan seperti biasa. Tak ada
lagi kebersamaan seperti biasa.
Anak-anak kita semuanya telah dewasa. Mereka kini mungkin
sedang sibuk dengan pekerjaan barunya, entah dimana, entah bersama siapa, entah
untuk siapa. Bisa jadi mereka sedang memasakkan makan malam untuk suami mereka
masing-masing, atau sedang menyiapkan cemilan untuk anak-anak mereka – cucu-cucu
kita.
Bisa jadi saat ini mereka sedang menangis, bisa jadi saat
ini mereka sedang kecewa, marah, takut, gusar, bahagia, harap-harap cemas, atau
apapun. Bisa jadi mereka saat ini sedang jatuh cinta. Bisa jadi mereka saat ini
sedang patah hati. Bisa jadi mereka melalui kesemuanya itu sendirian, tanpa
kehadiran kita di sisinya. Bisa jadi mereka saat ini sedang merindukan kita,
atau sebaliknya. Bisa jadi saat ini mereka sedang membenci kita. Bisa jadi
sebaliknya.
Awalnya adalah diriku. Sendiri. Kemudian hadir dirimu. Maka berubahlah ‘aku’ menjadi ‘kita’. Kemudian hadirlah anak-anak yang makin meriuhkan identitas kekitaan kita. Cepat atau lambat, keriuhan itu akan berkurang satu demi satu saat mereka tengah menggapai takdir mereka masing-masing. Bekalan telah diberikan, meski kita sadar bekal itu tiada pernah terasa cukup. Tak ada yang bisa kita perbuat kecuali rapalan doa yang setia terucap di tiap rakaat shalat.
Awalnya adalah diriku. Sendiri. Kemudian hadir dirimu. Maka berubahlah ‘aku’ menjadi ‘kita’. Kemudian hadirlah anak-anak yang makin meriuhkan identitas kekitaan kita. Cepat atau lambat, keriuhan itu akan berkurang satu demi satu saat mereka tengah menggapai takdir mereka masing-masing. Bekalan telah diberikan, meski kita sadar bekal itu tiada pernah terasa cukup. Tak ada yang bisa kita perbuat kecuali rapalan doa yang setia terucap di tiap rakaat shalat.
Allah... [wahidnugroho.com]
Kilongan, April 2013
0 celoteh:
Posting Komentar