“Mas Wahid tinggal di mana?”,
tanya seseorang kepada saya.
Saya menjawab, “Di Luwuk”.
Biasa akan ada lanjutan
pertanyaan yang isinya kurang lebih, “Luwuk yang dekat Palopo itu ya?”. Pertanyaan
itu adalah pertanyaan lazim ke dua setelah pertanyaan, “Luwuk? Di mana itu?”.
Saya hanya bisa tersenyum dan biasa
menjawab seperti ini.
“Bukan. Saya di Luwuk. Dengan
huruf K. Kalau Luwu itu tanpa huruf K di belakangnya. Kedua daerah itu, Luwu
dan Luwuk, terpisah ratusan kilometer, dan berada di provinsi yang berbeda.
Luwuk di Sulawesi Tengah, sedangkan Luwu ada di Sulawesi Selatan”, urai saya
panjang lebar.
Luwuk adalah kota kecil yang
terletak di pantai selatan provinsi Sulawesi Tengah. Luwuk terletak di bibir
teluk kecil bernama Teluk Lalong, yang melingkar dan menyempit di bagian
ujungnya seperti bulan sabit lonjong, berbatasan dengan selat Peling dan Pulau
Peling di sebelah selatan. Luwuk adalah ibukota kabupaten Banggai. Semoga Anda
tidak bingung dengan Pulau Banggai yang ada di lepas pantai selatan dari kota
Luwuk ini, karena itu adalah ibukota kabupaten baru bernama Banggai Laut. Bersebelahan
dengan Kabupaten Banggai Laut adalah Kabupaten Banggai Kepulauan yang beribu
kota di Salakan.
Jadi Kabupaten Banggai beribukota
di Luwuk, Kabupaten Banggai Laut beribukota di Pulau Banggai, dan Kabupaten
Banggai Kepulauan beribu kota di Salakan. Twisted, huh?
Kabupaten Banggai berjarak lebih
dari enam ratus kilometer dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah, Palu, serta
lebih dari seribu kilometer dari Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Butuh
sekitar lima puluh lima menit penerbangan dari Manado atau Makassar untuk
sampai ke kota kecil yang kian hari kian sumpek ini. Sebelah selatan Kabupaten
ini berbatasan dengan Selat Peling dan Pulau Peling, Teluk Tolo di sebelah
barat daya, Laut Banda di sebelah tenggara, laut Maluku di sebelah timur, teluk
Tomini di sebelah utara, serta Kabupaten Tojo Una-Una dan Morowali di sebelah
barat.
Dan di kota inilah tempat saya
mengais hidup saat ini. Kota yang makin hari menunjukkan wajah lusuhnya diterpa
kumpulan debu yang semakin menebal dan tumpukan sampahnya yang membuat saya
bersungut sebal. Luwuk saat ini tumbuh menjadi kota yang kian ramai dengan
industri hulu seperti dibukanya eksplorasi gas alam, nikel, dan barang tambang
lainnya. Kota kecil yang pertama saya datangi di tahun 2007 ini begitu tenang, kini
sudah mulai riuh dengan hingar-bingar kota metropolitan, meski sarana dan
prasarana yang ada masih jauh dari standar kota metropolitan.
Kini sudah ada banyak restoran
makanan cepat saji di kota ini. Sesuatu yang dulu tidak pernah saya bayangkan
sebelumnya. Penerbangan dari dan ke kota Luwuk pun dipadati oleh banyak
penumpang. Kadang bila kita tidak membeli tiket sejak jauh-jauh hari, maka
jangan harap bisa dapat tiket pesawat dengan harga murah. Arus pendatang mulai
membanjiri kota kecil yang makin sumuk ini sejak awal tahun 2008 dan tak
putus-putus sampai sekarang. Aroma investasi di pelbagai bidang yang dulunya belum
maksimal tergarap sudah mulai meramaikan pasar dan lini perdagangan lainnya.
Bila mau berkunjung ke Luwuk dari
Jakarta, maka ada beberapa maskapai penerbangan yang melayani rute ini:
Sriwijaya Air dan Lion Air. Dulu sempat ada Batavia Air sebelum bangkrut dan
Merpati. Kemudian untuk rute pendek ada Wings Air dan Sky Air dari Makassar,
serta Express Air dari Manado dan Palu. Untuk jalur darat bisa lewat Palu
dengan PO Kesayangan Anda, Tiga Berlian, Mandiri Pratama, Touna Indah, dan agen
perjalanan darat lainnya. Bila Anda punya stamina lebih dan ingin mendarat (istilah
untuk bepergian dengan mobil) dari Makassar, maka Anda bisa menumpang PO Honda
Jaya atau Mandiri Pratama. Durasinya? Sekitar empat puluh jam.
Jalur laut bisa menggunakan jasa
kapal pelni Tilong Kabila yang melewati Gorontalo, Bau-Bau, Makasar, dan
Banawa. Dari Jakarta juga ada KM Sinabung yang merapat di Pulau Banggai. Dilanjutkan
dengan kapal ferry atau kapal kayu sampai ke pelabuhan di Luwuk. Tapi saya belum
pernah mencoba moda ini, bil khusus Tilongkabila dan Sinabung.
Sudah enam tahun saya tinggal di
kota ini, sejak bulan Maret tahun dua ribu tujuh Masehi. Saya menikah di sini,
anak-anak saya pun lahir di kota ini pula.
“Sampai kapan di Luwuk?”, begitu
pertanyaan lain yang lazim saya dapati.
“Saya nggak tau”, saya biasa menjawabnya
dengan singkat.
Saya masih cukup betah di sini. Tapi
bila arus sungai takdir berkata lain, maka ikuti saja kemanapun ia mengarah. Bagi
saya, dimanapun kita berada, selama bersama keluarga, maka itulah rumah yang
harus kita tempati dan jaga keberadaannya.
“Tidak rindu sama kampung halaman
di Jurangmangu?”, tanya mereka lagi.
“Pasti. Tanah dimana saya
menghabiskan nyaris tujuh belas tahun usia puber saya itu takkan pernah saya
lupakan”, jawab saya tanpa memberi jeda. “Pasti”.
Diam-diam saya memang memendam
kerinduan untuk kembali ke tanah itu, entah kapan. Mungkin belum saat ini.
Sekarang saya ingin menikmati kota kecil yang makin sumpek ini dengan
kesyukuran yang meluap. Syukur, karena saya masih bersama orang-orang yang saya
cintai, dan mereka pun mencintai saya. Lebih dan kurangnya. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2013
Setelah baca broadcast mutasi
pelaksana di chatting grup
Ada rencana ke Palu, Pak?
BalasHapusbelum ada nih hehe
BalasHapus