Siang itu dua orang lelaki nyaris seumuran bertemu di bawah
sebuah pohon mangga yang rindang. Sambil menikmati segelas es kelapa muda, keduanya
tampak sedang asyik mengobrol. Lelaki pertama adalah seorang berseragam polisi,
sementara lelaki kedua mengenakan batik bermotif parang berwarna merah.
“Sebenarnya ketika saya melihat Anda sedang menuntun ibu
yang hendak menyeberang tadi, saya sudah mengurangi laju kendaraan saya untuk
mempersilakan ibu itu menyeberang”, ucap lelaki kedua yang berbaju batik membuka dialog. “Tapi
karena saya tidak mengerti apa maksud kode tangan dari Anda, saya menganggap
bahwa kode itu adalah perintah kepada saya untuk meneruskan perjalanan dan Anda
berdua bersama ibu itu akan menyeberang setelah saya lewat”, urainya kemudian.
“Jujur aja saya tadi lumayan mangkel ketika Anda tidak
memberi kesempatan ibu itu untuk menyeberang”, lelaki berseragam polisi membuka
suara. Wajahnya tampak sedikit kesal. “Andai tadi Anda memutuskan untuk
berhenti dan meladeni kemangkelan saya, mungkin bakal ada keributan di tengah
jalan di awal pagi tadi”, lanjutnya.
Lelaki berbaju batik mengangguk. “Ya, saya tadi juga cukup
tergoda dengan bisikan untuk turun dan ‘meladeni’ Anda. Tapi andaipun terjadi, saya tidak akan takut”,
ujarnya mantap sambil meneguk es kelapa yang tinggal tersisa setengah gelas.
Wajah lelaki berseragam polisi tampak terkejut. “Anda tidak takut
dengan polisi?”, katanya sambil tangannya mengaduk gelas berisi es kelapa bercampur
sirup gula merah.
Lelaki berbaju batik menggeleng mantap dan menandaskan sisa
es kelapanya.
“Saya itu baru takut kalo berbuat salah. Berhubung tadi pagi
saya tidak merasa salah, kenapa saya harus takut. Jangankan Anda yang hanya
seorang, Kapolri Anda sekalian pun akan saya hadapi bila saya memang tidak
salah”, katanya santai. Gelas kaca bergagang yang sudah kosong diletakkan di
hadapannya. “Saya juga bisa saja meladeni emosi sesaat untuk, mungkin,
berkelahi atau bergelut dengan Anda di atas aspal tadi. Tapi saya merasa bahwa
orang-orang seumuran kita ini tidak lagi menyelesaikan masalah kecil nan sepele
itu dengan cara kekanakan seperti itu”.
Lelaki berseragam polisi itu tampak gusar dengan perkataan
lelaki berbaju batik barusan. Sambil mengelus dagunya yang licin karena baru
dicukur, ia lalu berkata, “Masuk akal. Saya setuju dengan sudut pandang Anda”.
“Jika tadi Anda memberi isyarat stop kepada saya, dengan
menyorongkan kelima jari Anda yang bersatu rapat ke arah depan, saya pasti anak
berhenti dan mempersilakan ibu itu untuk menyeberang. Tetapi karena Anda tadi
memberikan saya isyarat yang tidak saya ketahui artinya, wajarlah bila saya
langsung menyelonong”, urai lelaki berseragam batik. “Toh, tidak semua orang di
kolong langit ini bisa mengerti isyarat tangan dari seorang polisi, setidaknya
isyarat yang tadi Anda berikan kepada saya”, lanjut lelaki berseragam batik
yang seolah tidak perduli dengan reaksi lelaki berseragam polisi yang hendak
memotong kalimat pertamanya tadi. Lelaki berseragam polisi itu kemudian tampak manggut-manggut.
“Ya, mungkin Anda ada benarnya juga”, ucapnya tulus yang
diikuti dengan tenggakan terakhir dari es kelapa muda berwarna cokelat. “Ini
memang soal miskomunikasi saja”.
“Tapi saya juga mau minta maaf kepada Anda bila
miskomunikasi tadi mungkin menyinggung Anda di hadapan ibu itu”, ujar lelaki
berseragam batik tulus. “Tapi..”, perkataan itu menggantung.
“Saya juga ingin Anda meminta maaf kepada saya”, kata lelaki
berseragam batik tegas. Sebuah kontainer sarat muatan melewati pohon mangga
besar itu sambil membawa debu yang beterbangan.
Lelaki berseragam polisi terperanjat. “Untuk apa?”, tanyanya
agak ketus.
“Karena Anda tadi menyebutkan kata-kata yang tidak elok
untuk orang sebaik Anda”, urai lelaki berseragam batik kalem. “Anda pasti masih
ingat kata-kata apa yang saya maksud”, lanjutnya.
Lelaki berseragam polisi itu tampak kaget dan tersipu malu. “Ah,
Anda benar. Saya mohon maaf atas ketidakelokan kata-kata saya tadi”, ucapnya
tak kalah tulus.
Lelaki berbaju batik tersenyum. “Termasuk mentraktir saya
segelas es kelapa muda?”.
Lelaki berseragam polisi langsung tergelak, “Hahaha... Jangankan
segelas, satu gerobak ini pun bila Anda mampu silakan habiskan”, kelakarnya.
“Diuangkan saja kalau begitu”, seloroh lelaki berbaju batik.
Kedua lelaki itu tertawa bersama sekeras-kerasnya,
meninggalkan sang penjual es kelapa muda dengan tampang keheranannya.
***
Pagi ini saya nyaris baku hantam dengan seorang oknum polisi
hanya karena miskomunikasi sepele. Sayang sekali saya tidak melihat nama yang
tercantum di seragamnya. Andai tadi namanya terlihat dengan jelas, saya mungkin
akan mencarinya dan mengajaknya minum es kelapa muda di bawah pohon seberang
kantor Pelni, yang berjarak tak sampai tiga puluh meter dari markas Polres
Luwuk, sambil membicarakan insiden kecil yang terjadi di antara kami berdua
tadi pagi di seberang SMK Daerah Luwuk. Saya yakin, dia polisi yang baik. Buktinya
dia mau repot-repot membantu seorang ibu untuk menyeberangkan jalan sambil ‘menghadiahi’
saya kata-kata mutiara. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Mei 2013
ini dialog imajiner, apa aslinya begono noh?
BalasHapustenanan imajiner pak hehe
BalasHapus