Mungkin kita perlu juga, sesekali, berdua saja, di tengah
hujan yang berderai mengurapi bumi berjelaga ini, tanpa perlu berpayung dan tanpa mengalaskan kaki dengan sandal aneka warni dan warna, berjalan dengan tenang, tanpa terburu
waktu, tanpa khawatir terserang demam dan flu, atau khawatir kulit kita berkerut
seperti kulit jeruk. Kedua tangan kita saling menggamit, erat. Mata kita saling
menatap, senyum kita bersua, nyaris tanpa jarak. Tak perlu, tak perlu ada
dialog di antara kita yang hanya akan meriuhkan udara. Kali ini kita hanya
berdiam diri, menahan luapan kata-kata yang menghujani relung hati. Kita hanya butuh
mendengarkan suara bulir hujan yang berdenting membentuk simfoni jiwa, gemuruh
yang membadai di ujung angkasa, dan cahya kilat yang memercik di batas
cakrawala. Atau ketika pucuk-pucuk pohon mangga, asem, alpukat, rambutan, dan
belimbing wuluh yang gemerlap dengan butiran air bening dari langit yang tersapu
sinar lemah cahya matari yang mengintip dari balik awan tebal berwarna kelabu,
dan ketika awan tebal berwarna kelabu yang menggantung itu perlahan hilang satu
demi satu, mengundang burung-burung berwarna putih cerah kembali berani terbang
tinggi, dan suara kepakan sayap elang berbulu cokelat yang terbang rendang di
atas bukit yang berderet rapi.
Mungkin kita perlu juga, sesekali, berdua saja, di tengah
hujan yang berderai mengurapi bumi berjelaga ini, tanpa perlu berpayung dan
kaki beralaskan sendal karet aneka warna, berjalan dengan tenang, tanpa terburu
waktu, tanpa khawatir terserang demam dan flu, atau khawatir kulit kita berkerut
seperti kulit jeruk. Kedua tangan kita saling menggamit, erat dan liat.
[wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2013
mantabsss om...
BalasHapusizinkan saya jd murid om gus yaa...
hehehe..
murid apa ya? hehe
BalasHapus