Malam semakin larut. Di luar sana suasana sepi. Tak ada
suara gonggongan anjing dari kejauhan, tak ada suara gemerisik daun yang ditiup
angin dari rumpun bambu di sebelah rumah, hanya ada udara malam yang terasa dingin
menusuk paska hujan yang deras mengguyur bumi beberapa saat yang lalu. Jam menunjukkan
pukul satu dini hari kurang lima belas menit.
Rudi tampak terjaga. Ia tak kunjung bisa tidur, seperti sedang
terganggu dengan sesuatu. Ia meraih bantal yang ada di jangkauannya dan mulai
merebahkan badannya, memejamkan mata, dan mencoba untuk tidur. Tapi tak jua bisa
terlelap. Rudi pun jadi gelisah.
Ia bangun dari tempat tidurnya dan beranjak ke kamar sebelah
tempat anak-anaknya tidur. Kedua anaknya sudah tertidur lelap. Salah satunya
bahkan sampai menumpahkan air liur di bantalnya. Setelah memperbaiki letak
tidur kedua anaknya agar dirasa lebih nyaman, Rudi kembali ke kamarnya.
Ketika masuk ke kamar, Rudi memandangi istrinya yang sudah terlelap.
Tiba-tiba saja, ada perasaan aneh yang berkelebat dalam dadanya. Rudi lalu mendekati
istrinya yang tidur sambil menghadap ke dirinya. Inilah momen ketika istrinya
terlihat begitu cantik, pikir Rudi. Ia pun membelai wajah sang istri, yang
diikuti dengan terbangunnya ia karenanya.
Sefti, istri Rudi, membuka matanya. Ia tersenyum kepada Rudi
yang dibalas dengan senyuman pula oleh suaminya itu. Rudi membelai rambut Sefti
yang tampak acak-acakan, menyentuh bagian tertentu dari tubuh istrinya, dan
mengerlingkan matanya untuk mengirimkan pertanda. Sefti mengerti dengan arti
kerlingan itu. Ia lalu meminta diri kepada Rudi untuk menyiapkan dirinya ke
kamar mandi. Rudi pun berjalan ke kran yang ada di sisi kamar mandi di
rumahnya, berwudhu dan bersikat gigi. Ia lalu masuk ke kamar anak-anak,
memastikan mereka semua sudah terlelap, menutup pintunya, dan masuk ke kamarnya
sendiri. Rudi menyemprotkan minyak wangi di sini dan di sana, dan berbaring di
tempat tidurnya untuk menyambut kedatangan istrinya yang telah selesai bersiap.
Tak sampai lima menit, Sefti masuk kembali ke kamar mereka. Aroma
harum yang semerbak mewarnai udara langsung membuat dada Rudi berdegup kencang.
Rudi terduduk di ujung tempat tidurnya bersama Sefti yang kemudian duduk di hadapannya.
Kedua pasangan suami istri itu kini saling berhadapan, saling melempar senyum
yang penuh arti, dan beberapa saat kemudian larut dalam gairah yang menggelora,
nyaris tanpa menimbulkan suara yang dapat membangunkan kedua anaknya yang
sedang terlelap pulas. Di luar sana, hujan mulai turun. Suara rintiknya sedikit
meramaikan bumi yang awalnya sunyi senyap. Angin dingin yang berhembus menyejukkan
udara yang mulai menghangat di kamar itu.
Ada saat-saat tertentu ketika gelora itu terasa menggebu,
tak memandang waktu, tak memandang tempat. Tiba-tiba datang begitu saja. Cerita
di atas barangkali terjadi dalam situasi yang cukup menguntungkan bagi Rudi dan
Sefti, tapi bisa saja ada cerita lain yang agak mirip dengan cerita barusan dengan
situasi yang justru bertolak belakang. Di satu sisi ada hajat yang harus
ditunaikan, di sisi lain ada situasi yang tidak memungkinkan untuk menunaikannya.
Kadang anak-anak tak kunjung tertidur, kadang tamu yang tengah
singgah tak kunjung pulang, kadang acara kenduri tak kunjung berujung, dan
acara syukuran tak jua berakhiran. Dan jadilah ada diri yang sedikit gelisah,
ada tindak-tanduk yang meresah, dan ada gerak-gerik yang sedikit gundah. Senyum
tak lagi sepenuh hati, tertawa tak lagi dengan mulut penuh terbuka.
Maka berbahagialah bagi para suami yang memiliki istri yang
shalihah lagi mampu membaca bahasa tubuh sang suaminya yang tengah resah, yang
dapat menerjemahkan pandangan penuh arti dengan belaian yang merabai kulit pipi.
Karena lisan yang merapat tersebab malu, dan sentuhan mengajak yang tak jua ada
karena nyali yang tak bertaji. Dan benarlah, hanya sentuh fisiklah yang dapat
mengobati hasrat yang membadai di jiwa, nikmat lagi berpahala.
[wahidnugroho.com]
Muspratama, Juni 2013
0 celoteh:
Posting Komentar