Istri saya bukan orang yang biasa bekerja. Ia bukan orang
yang prigel dan cekatan. Maklum, waktu kecil dulu ia tidak diperbolehkan
bekerja di rumah, dalam artian melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lazimnya
dikerjakan oleh anak perempuan: memasak, mengurus rumah, mencuci baju,
menyetrika, dan hal-hal semacam itu. Karena konon kabarnya rumah mertua dulu banyak
dihuni oleh anak tinggal.
Anak tinggal adalah sebuah istilah bagi anak-anak dari luar
kota Luwuk yang menumpang tinggal di sebuah rumah. Anak-anak tinggal itu biasa
membayar uang sewa yang tak seberapa kepada tuan rumah, kadang tidak membayar
sama sekali asal mereka membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah
seperti memasak, mencuci, bebersih, dan hal-hal semacam itu. Jenis anak tinggal
yang ke dua itu biasa mereka yang punya hubungan keluarga dengan sang induk
semang rumahnya, meski kadang ada yang tidak berhubungan keluarga sama sekali. Untuk
kasus rumah mertua saya ini, kebanyakan yang tinggal di rumah mertua saya
ketika itu adalah sepupu-sepupu istri saya dari Bualemo dan dari Montop Banggai
Kepulauan. Mereka jauh-jauh merantau dari Bualemo ke Luwuk (jarak Bualemo ke
Luwuk itu sekitar 120 km) dan Montop untuk melanjutkan sekolahnya.
Maka jadilah istri-cilik saya ketika itu hidup dengan nyaris
tanpa pernah turun ke dapur untuk memasak atau melakukan pekerjaan rumah,
karena semuanya sudah ada yang mengerjakan. Mau makan tinggal makan, mau ganti
baju tinggal ambil baju di lemari yang sudah tersetrika licin dan rapi. Ditambah
lagi dengan sikap protektif ibu mertua saya yang melarang istri-cilik saya dan
kembarannya untuk bekerja di dapur, makin jos gandos-lah ke-tidak-prigel-an
dan ke-klemar-klemer-an istri saya dalam urusan pekerjaan rumah tangga.
Saya, well, dari kecil suka nongkrong di dapur. Kadang
membantu ibu memotong-motong sayur, memasak, cuci beras, atau sekedar
duduk-duduk sambil melihat ibu saya bekerja. Kebetulan ibu saya juga suka
diminta rewangan (memasak untuk hajatan) di rumah tetangga, maka saya
pun suka berada dekat-dekat dengan ibu ketika beliau memasak sambil berharap
untuk mendapatkan satu dua potong kue atau paha ayam goreng. Saya juga disuruh
untuk belajar mencuci dan menyetrika baju sendiri. Ibu saya juga sosok
perempuan yang prigel sama kerjaan rumah yang selalu mengharapkan rumah
yang rapi jali. Begitulah saya tumbuh dan besar dalam setting lingkungan
seperti itu.
Dan akhirnya kami berdua pun bertemu. Saya yang seperti ini
dan istri yang seperti itu. Latar belakang kami berdua cukup kontradiktif,
ternyata. Meski kadang ada kesalahpahaman dan ketidakcocokan yang kerap
terulang, tapi toh akhirnya istri saya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dulu tak akrab dengan masa tumbuh-kembang-nya juga. Syukurlah, cerita ‘kelam’
itu sudah berlalu. Masakannya tak lagi sehambar dulu, bumbunya sudah lebih ‘berani’,
sudah cukup percaya diri dengan level kelezatan masakannya yang dibuktikan
dengan membagi-bagikan hasil prakarya dapurnya ke para tetangga, dan cara
bekerjanya yang tak lagi se-klemar-klemer dulu, serta sudah cukup
cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Keputusan kami untuk tidak lagi
menyewa asisten rumah tangga pun bagian dari pembelajaran dan pembiasaan agar kami
mau dan mampu bekerja dan mengurus rumah sendiri.
Ketika anak-anak perempuan kami lahir dan semakin mendewasa,
saya mengatakan kepada istri bahwa anak-anak ini jangan sampai seperti dirinya
ketika masih anak-anak dulu: tak terampil bekerja. Mereka harus lebih baik dari
umminya, bahkan juga saya. Saya juga kerap melibatkan akhwat-akhwat cilik itu
untuk pating-kemriyik membantu saya atau umminya ketika memasak,
memberikan mereka pekerjaan remeh-temeh seperti mengaduk adonan, mengambilkan
garam, atau mengocok telur, yang mereka lakukan sambil cengengesan dan
terkadang saling menghamburkan tepung dan bumbu-bumbu. Atau kadang melibatkan
mereka membereskan mainan, melipat baju, melap kotoran, memungut barang-barang
yang jatuh, dan hal-hal semacam itu. Menurut saya itu adalah pembelajaran dan
pembiasaan supaya mereka kelak tak seperti umminya di masa kecil dulu yang tak
biasa bekerja.
Karena ketika mereka berumahtangga kelak, bagaimanapun ‘sebagian’
dari takdir perempuan adalah mampu melayani suami mereka dengan sebaik-baiknya,
apapun profesi dan posisi mereka di masyarakat, sebagai timbangan amal kebaikan
bagi mereka di masa depan nanti.
Beberapa orang mengatakan bahwa ada seberkas kebahagiaan
yang kerap terbit di wajah saya. Well, jujur saja, ada andil istri saya yang
dulu-tak-biasa-bekerja-dan-sekarang-sudah-cukup-cekatan di sana. Semoga apa
yang dilakukannya menjadi tabungan amal shalih baginya yang saya telah ridho
dengannya. [wahidnugroho.com]
Muspratama, Juni 2013
Kembali mencacah
0 celoteh:
Posting Komentar