Minggu, 30 Juni 2013

Tentang Anak Perempuan


Bayangkan Anda punya seorang anak perempuan. Anda tahu betul setiap detil perkembangannya. Anda paham betul dengan simpul-simpul hatinya, baik itu saat ia sedih, senang, gelisah, tenang, menangis, dan tertawa. Anda kenal betul dengan mimik wajahnya saat simpul-simpul hati itu tersentuh, saat simpul-simpul hati itu terbuka, saat simpul-simpul hati itu terurai satu demi satu. Anda akan hapal betul dengan bentuk bibirnya saat tertawa, dengan bentuk kerutan di antara kedua alisnya ketika kesal melanda, atau ekspresi-ekspresi lain yang kerap terbit dari wajahnya yang lugu.

Bertahun pun berlalu. Anak perempuan itu kini tumbuh menjadi gadis dewasa dengan segala dinamika dan problematikanya. Ia mulai belajar mengeja huruf dan angka, ia mulai merapal dan menghafal ayat demi ayat Tuhannya, ia mulai belajar memperbaiki diri, menutup auratnya dengan sempurna, meluruskan niat, dan menjaga kejujuran hatinya. Ia mulai menata kata-katanya, menata ruang jiwanya, menata akhlak dan penampilannya.

Di masa-masa seperti ini, ia mungkin akan sedikit gemar bersolek. Ia mungkin senang dengan beragam wewangian yang dulu asing dengan aroma kecut tubuhnya. Ia mungkin akan senang memandangi wajah belianya di cermin kaca dan menghabiskan waktu mencoba satu dua macam kosmetik yang ada di depannya. Ia mungkin akan mengagumi perubahan fisiknya yang begitu drastis. Ia mungkin akan belajar untuk mandiri, melakukan segala hal yang dimauinya oleh dirinya sendiri. Sehingga ia mungkin tak lagi bersedia digandeng tangannya oleh Anda saat berjalan di tengah keramaian. Ia mungkin agak malu bila diantar bepergian oleh Anda ke sebuah tujuan. Ia mungkin agak sedikit sensitif bila ditanya soal asmara dan gejolak hatinya yang memerah jingga, atau ketika Anda berceritera tentang satu dua nama yang menggetarkan hatinya yang mulai berbunga. Mungkin saja.

Selain itu, kini ia telah mengikrarkan diri untuk menjadi muslimah yang taat dan ketat dalam menjaga aurat. Ia menjaga pergaulannya dengan lelaki yang bukan mahramnya, meski mungkin hatinya menyimpan simpati untuk satu dua orang di antara mereka yang menarik hatinya. Ia menjaga gejolak jiwa muda yang kerap meletup dan meluap-luap di dalam dirinya dengan sebaik mungkin, menyemai benih-benih cinta untuk dipetik tatkala buahnya telah siap untuk dipanen. Ia mungkin berbuat salah, ia bisa jadi melupakan beberapa hal penting, tapi ia segera tersadar dan memperbaikinya.

Maka, orangtua mana yang tak akan sedih bila putrinya yang ia kenali dengan dosis tinggi itu menjadi bulan-bulanan opini? Orangtua mana yang tak akan getir hatinya ketika melihat gambar-gambar putri terkasih mereka mengisi ruang-ruang publik, membumbuinya dengan prasangka dan sensasi murahan? Maka orangtua mana yang tak akan berduka ketika aurat putri tercinta mereka diumbar tanpa perasaan berdosa oleh mata-mata yang lapar syahwat dan lisan yang nyaris tanpa adab?

Saya, bagaimanapun, memiliki anak perempuan. Bukan hanya satu, tapi tiga. Pun begitu dengan perempuan-perempuan lain yang ada di kehidupan saya seperti istri, ibu, dan saudara-saudara perempuan saya yang lain. Saya tidak tahu dengan latar kehidupan mereka yang kerap mencemooh dan mengejek tanpa ada perasaan bersalah kepada perempuan-perempuan mereka: ibu, istri, putri, dan saudara kandung perempuan mereka yang lain. Saya tidak mengerti. Tapi saya ingin mencoba untuk mengerti agar perempuan-perempuan saya bisa menjaga diri dari ketidakberadaban dan ketidaksenonohan seperti itu, dan agar saya bisa melipatgandakan kesabaran bila ketidakberadaban dan ketidaksenonohan itu terjadi pada saya.

Allah ya rahmaan. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Juni 2013 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar