Ayah Muda
Menjadi ayah di usia muda adalah satu dari sekian banyak pilihan dalam hidup. Pilihan yang, menurut saya, nggak mudah. Sulit, sudah pasti. Dan dilematis. Di saat lingkungan terkini yang kebanyakan tidak mengajarkan bagaimana menjadi orang yang bertanggungjawab, menjadi ayah di usia yang masih rentan dengan godaan untuk lari dari tanggungjawab tentunya membawa tantangan tersendiri.
Saya adalah salah satunya. Terkadang, ketika melihat teman sebaya di luar sana yang masih asyik-masyuk dengan hingar-bingar dunia muda, saya pun hanya sibuk di rumah, mengganti celana putri saya karena mengompol atau pup. Atau ketika beberapa kolega berbicara tentang gadget terkini yang hendak dibeli, saya pun hanya menyibukkan diri dengan nutrisi apa yang akan saya berikan untuk anak tercinta saya. Di sisi lain, ada yang sibuk dengan urusan percintaan konyol yang tak kunjung berujung. Atau menggombal tak jelas di forum-forum dunia maya, maupun nyata.
Sebagian ada yang mengkritik saya. Gaji – alhamdulillah cukup – besar, pekerjaan prestisius (pegawai pajak prestisius ya?), dan seabrek fasilitas hidup yang bisa saya dapatkan dengan – cukup – mudah justru saya “tinggalkan” demi menghidupi sebuah keluarga kecil, yang pastinya akan mengandung banyak permasalahan yang nggak ringan. Ah, setiap pilihan pastilah mengandung resiko. Saya hanya ingin mengambil pilihan dengan resiko ternikmat, meski itu melelahkan. Ya, saya akui, menjadi kepala di dua keluarga pada usia muda memang tidak mudah. Dan melelahkan.
Tapi saya tidak menyesal. Saya malahan bersyukur. Saya bersyukur, Allah telah menyelamatkan hidup saya dua kali. Pertama, ketika saya memutuskan untuk menikah di usia muda. Dan kedua, ketika Allah menakdirkan saya menjadi ayah di usia muda. Mungkin, jika Allah berkehendak lain, entah apa yang sedang saya lakukan di luar sana. Mungkin saya sedang asyik mengikuti khayalan-khayalan liar yang “lazim” terjadi di usia muda. Mungkin. Siapa tahu?
Dan, saya hendak menyampaikan apresiasi saya kepada ayah-ayah muda yang rela menukar usia muda mereka, usia suka-suka, dan usia gaya-gaya mereka dengan tumpukan cucian kain berbau pesing. Dengan tangisan dan rengekan di tengah malam buta. Dengan kegugupan dan kepanikan yang kerap menerpa ketika permasalahan membentur kemudaan yang minim pengalaman. Dan sebagainya.
Menjadi ayah di usia muda adalah sebuah karunia. Karunia untuk mampu bertanggungjawab di masa-masa yang “menggoda”. Meskipun untuk bisa menjadi laki-laki yang bertanggungjawab tidak harus harus menjadi ayah terlebih dulu. Namun setidaknya, tanggungjawab laki-laki yang berposisi sebagai seorang ayah, sudah pasti, tidak bisa disamakan dengan tanggungjawabnya seorang laki-laki lajang terhadap dirinya sendiri – saja.
Semoga Allah membalas amal kita semua dengan sebaik-baik balasan. Baik dunia maupun akhirat. Amin.[wahidnugroho.com]
Maaf, bila ada yang kurang berkenan. Penulis baru saja menjadi ayah
Maahas, April 2009
0 celoteh:
Posting Komentar