Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hambaNya dan rezeki yang
baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka) pada hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan
ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui. [QS Al A’raaf 32]
Akhir-akhir ini, atau mungkin juga pendapat ini sudah
berlangsung sejak lama, saya merasa bahwa menjadi seorang muslim yang kaya itu
adalah sebuah kesalahan. Saya merasa bahwa menjadi kaya bukan bagian dari
ajaran agama yang agung ini. Agama ini, bagi sebagian orang, menghendaki
pemeluknya untuk menjadi golongan fakir miskin. Mereka, sebagian orang itu,
menilai bahwa menjadi orang fakir dan miskin lebih terhormat ketimbang menjadi
orang kaya. Sekian kisah dari masa lalu pun mereka gelontorkan demi menguatkan
pendapat itu. Ada kisah mas kawin Ali r.a yang hanya berupa cincin besi, atau
rumah Rasulullah yang nyaris tanpa perabot, serta kisah Umar r.a yang tidur
beralaskan pelepah kurma hingga membekas di kulitnya.
Barangkali mereka lupa, bahwa buku-buku sirah Rasulullah
sebagian besarnya membahas tentang perang, dimana perang-perang itu membutuhkan
dana yang tak sedikit. Barangkali mereka lupa, bahwa para sahabat generasi awal
yang berasal dari kalangan budak banyak yang dibebaskan secara cuma-cuma oleh
Abu Bakar r.a dengan harta yang dimilikinya. Kita juga ingat dengan kisah
dibelinya sumur orang Yahudi oleh Utsman r.a untuk diwakafkan kepada kaum
muslimin. Kita mungkin ingat dengan mas kawin Rasulullah kepada Khadijah r.a
yang sangat fenomenal bagi seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
menikahi seorang janda biliuner ketika itu: onta merah, yang bila diibaratkan
hari ini seperti membeli sebuah mobil Ferrari seri terbaru dengan harga
termahal.
Atau barangkali mereka belum pernah mendengar kisah sahabat
Abdurrahman bin ‘Auf r.a, yang merupakan salah satu milyarder di zamannya, yang
pernah memberikan santunan kepada veteran perang Badar masing-masing sebesar
400 dinar, dimana jumlah veteran yang disantuni adalah sebanyak seratusan
orang, yang bila dijumlahkan ke dalam kurs rupiah saat ini maka nilai
santunannya adalah sebesar Rp. 48 Milyar? Belum lagi dengan kisah-kisah sedekah
beliau yang lain yang bila dijumlah dengan kurs rupiah saat ini hanya akan
membuat kepala kita bergeleng dan lidah kita berdecak kagum. Pertanyaanya,
apakah semua infak dan sedekah yang dikeluarkan oleh Abdullah bin ‘Auf
membuatnya miskin?
Mari kita baca kisah ini.
Dengan begitu banyak yang diinfaqkan
di jalan Allah, ketika beliau meninggal pada usia 72 tahun beliau masih juga
meninggalkan harta yang sangat banyak yaitu terdiri dari 1000 ekor unta, 100
ekor kuda, 3,000 ekor kambing dan masing-masing istri mendapatkan warisan
80.000 Dinar. Padahal warisan istri-istri ini masing-masing hanya ¼ dari 1/8
(istri mendapat bagian seperdelapan karena ada anak, lalu seperdelapan ini
dibagi 4 karena ada 4 istri). Artinya kekayaan yang ditinggalkan Abdurrahman
bin Auf saat itu berjumlah 2,560,000 Dinar atau sebesar Rp 3.072 trilyun untuk
kurs uang Rupiah.
Maka tak heran bila penduduk Madinah kala itu berkata
tentang sosok Abdurrahman bin ‘Auf ini:
“Seluruh penduduk Madinah berkepentingan dengan Abdurrahman
bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka, sepertiga untuk
membayari hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya dibagi-bagikan kepada
mereka.”
Maka kita lihat saat ini sebagian besar pemeluk agama ini
begitu alergi dengan kekayaan. Mata mereka akan mendelik dan pikiran kotor
mereka akan segera menghantui bila melihat satu dua sahabat sesama muslimnya
memiliki harta yang berlebih lagi berlimpah. Prasangka mereka akan membusuk
ketika melihat sahabat sesama muslimnya memiliki barang-barang yang,
katakanlah, berkategori mewah, padahal barang itu dibeli dengan uang yang
berasal dari usahanya sendiri dan tidak meminta serta merugikan siapapun. Siapakah
kita yang berhak menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh untuk
dibelanjakan oleh sahabat kita dengan uangnya sendiri?
Ada banyak hal yang ingin saya tulis, tapi saya cukupkan
sampai di sini dulu. Semoga Allah menguatkan sendi-sendi perekonomian kita
dengan harta yang baik, melimpah lagi berkah. Amin. [wahidnugroho.com]
Muspratama, Juli 2013
0 celoteh:
Posting Komentar