“Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya,” tutur
Abdullah bin Ubay bin Salul, dedengkot munafiqin Madinah kepada Rasulullah
sesaat sebelum fajar di medan Uhud menyingsing, “dan tidak menuruti pendapatku.
Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini?”
Itulah hasutan Abdullah bin Ubay kepada para pengikutnya untuk
membelot dan berbalik arah ke Madinah serta menolak ikut berperang bersama
Rasulullah. Maka berkuranglah sepertiga pasukan Rasulullah yang akan berlaga di
Uhud karena ulah desertir Abdullah bin Ubay itu. Jumlah pasukan pembelot
mungkin akan bertambah dengan pasukan Bani Haritsah dan Bani Salamah bila saja Allah
tidak meneguhkan hati mereka untuk bertahan , hingga Allah menurunkan surat Ali
Imran ayat 22 karenanya.
“Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena
takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu, karena itu
hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.”
Ketika kita menarik kisah ini ke bagian awal, maka kita akan
mengetahui bahwa Abdullah bin Ubay sebagai seorang sesepuh Madinah, yang karena
kedatangan Rasulullah menjadi kehilangan pamor dan kesempatan untuk menjadi
raja di Yatsrib pun sirna karenanya, merasa bahwa keputusan kaum mukminin
keluar kota Madinah untuk menyongsong pasukan dari Makkah adalah keputusan yang
tidak menghargai pendapatnya untuk bertahan di dalam kota. Pendapat yang
uniknya justru senada dengan pendapat Rasulullah sendiri yang justru dianulir
langsung oleh Rasul demi memenuhi permintaan beberapa sahabat yang tidak sempat
ikut perang Badar. Hamzah, pamannya, adalah salah satu pihak yang paling getol
untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar perbatasan kota Madinah.
Kita semua tahu akhir dari kisah pilu di bukit Uhud ini.
Pasukan yang dipimpin oleh Rasulullah nyaris kalah telak, beberapa sahabat
utama dan penghafal Al Qur’an menemui syahid, termasuk paman Rasulullah, Hamzah
bin Abdul Muthalib yang tewas mengenaskan di tangan Wahsyi. Selain itu, secara
fisik Rasulullah mengalami patah gigi dan luka di bagian wajahnya. Kita semua
tahu betul dengan kisah ini.
Sesampainya di Madinah, pasukan yang lelah dan kalah itu pun
datang tanpa diiringi sambutan yang meriah. Berbeda jauh ketika mereka menang
gemilang di Badar dahulu. Ketika pasukan yang lelah dan patah semangat ini
berkumpul, maka berkatalah Abdullah bin Ubay, “Demi Allah, aku berkata tentang
suatu perkara yang besar ketika aku berdiri mengatakan urusannya (Rasulullah).”
Perkataan yang tidak pada tempatnya ini pun memantik emosi
para sahabat Rasulullah dari kaum Anshar yang langsung menarik baju Abdullah
bin Ubay dan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada Rasulullah perihal
perkataannya yang tak senonoh itu. Namun Abdullah bin Ubay enggan menarik kata-katanya
dan justru berkata, “Demi Allah, aku tidak butuh dia memintakan ampunan
untukku.”
Dalam kisah perjuangan, akan selalu ada orang-orang yang
merasa dirinya lebih pintar dan lebih besar daripada jamaah yang ketika
pendapatnya diterima dia akan tersenyum dan ketawa girang seraya membesarkan
peran dirinya, namun langsung berbalik dan merajuk ketika pendapatnya
diabaikan. Perkataan Abdullah bin Ubay di atas bila diredaksikan dengan bahasa
kita mungkin akan berbunyi seperti ini, “Tuh kan, gue bilang juga apa. Elu sih
dulu nggak mau ngikutin kata-kata gue. Jadi kualat kan lu!”
Padahal palu musyawarah sudah diketuk dan kesepakatan sudah
diambil. Maka pahit manis dan getirnya akan menjadi tanggungjawab bersama,
bukan lagi tanggungjawab perorangan. Ketika rapat atau syuro sudah memutuskan
pendapat A, maka meski pendapat A itu bertentangan jauh dengan keyakinan kita,
tetap harus dijalankan dengan senang hati. Ketika di kemudian hari pendapat A
itu ternyata salah dan mengundang kerugian kepada organisasi dan kita berkata “Tuh
kan, gue bilang juga apa” maka itu sama halnya dengan posisi Abdullah bin Ubay,
dedengkot munafiqin, paska kekalahan kaum mukmin di perang Uhud.
Hari ini kita disajikan sebuah potret yang memilukan dari
negeri Mesir tentang sebuah kudeta tak beradab yang dilakukan oleh orang-orang
yang justru sebelumnya menuhankan demokrasi dan mengelu-elukan Hak Asasi
Manusia. Ketika Presiden Mursi jatuh, seberapa pun besarnya kekurangan yang ia
miliki dan minimnya prestasi yang beliau buat, lalu ada sebagian saudara sesama
muslimnya yang berkomentar, “Itulah akibat karena kalian mengikuti strategi begitu, dan tidak
mengikuti strategi kami yang begini”, maka apalah bedanya komentar-komentar itu
dengan komentar Abdullah bin Ubay di atas?
Anda mungkin bisa membantu saya untuk menjawabnya.
[wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2013
#prayforegypt
#prayformoursi
#prayforaceh
0 celoteh:
Posting Komentar