Hujan deras yang baru saja membasuh bumi yang berjelaga
perlahan makin mereda meski awan gelap masih menggantung di langit. Antrean
kendaraan semakin padat ketika matahari di ufuk barat makin merendah.
Lampu-lampu gedung perkantoran sudah mulai dinyalakan sejak beberapa jam yang
lalu ketika hujan deras itu turun. Asap dari knalpot mobil-mobil lawas yang
berderet di jalan mulai memenuhi udara dan menyesakkan dada. Beberapa
pengendara motor tampak ada yang terbatuk sedangkan yang lainnya nyaris tak
terpengaruh dengan kondisi oksigen yang mulai menipis. Seorang pengendara vespa
tampak menepi dan membuka helm antiknya yang berwarna putih bergaris biru di
bagian tengahnya, menyeka dahinya yang berdebu dengan sebuah sapu tangan lusuh,
mengambil air mineral yang terpasang di bawah stang, dan meneguknya barang satu
dua kali tegukan lalu memasang kembali helm di kepalanya dan kembali melanjutkan
perjalanannya. Seorang perempuan tua bertampang kotor dengan anak kecil yang
tak kalah kotornya sedang mengemis di persimpangan dekat sebuah warung tenda
bertuliskan Warung Sate Madura Cak Tejo yang tampak ramai dengan pengunjung.
Seiring rona langit yang makin menggelap, Jalal mengeluarkan
motor Honda Win lawasnya dari deretan motor yang menyesaki tempat parkir di
basement kantor. Bekas wudhu yang melekat di wajahnya masih terlihat jelas. Ia
baru saja menunaikan shalat Maghrib bersama teman-temannya di Mushola basement.
Jalal merapihkan letak jaket kulit yang warnanya sudah memudar di badannya itu,
lalu memanggul ransel ke punggungnya dan memasang masker di wajah lelahnya.
Setelah menstarter motornya beberapa kali dan gagal hidup, Jalal merundukkan
kepalanya. Tangan kirinya lalu menggeser panel bensin yang ada di bawah tangki
motornya dan kembali mencoba menstarter motor antiknya itu. Berhasil. Setelah
menyapa satpam yang berjaga di bagian depan tempat parkir dan mengarah ke luar,
Jalal melajukan kendaraannya ke jalanan yang berangsur sepi dengan kecepatan
rendah. Rinai gerimis mulai jatuh kembali dari langit yang hitam. Malam ini
nyaris tak ada angin yang sudi bertiup meski hanya sekejap.
Setelah melewati perempatan yang ramai, Jalal membelokkan
arah motornya ke sebuah jalan kecil demi menghindari kemacetan di ruas jalan
protokol di depan sana, yang meski sudah malam tetap saja dipenuhi antrean
kendaraan. Terdengar suara guntur dari langit yang diikuti dengan jatuhnya rintik-rintik
air hujan yang makin lama makin deras. Jalal kemudian menepikan motornya ke
samping sebuah warung tenda yang berada di dekat kantor polisi dan berniat
untuk meneduh di situ. Ketika masuk ke dalam warung, Jalal hanya mendapati dua
orang lelaki yang sedang makan soto serta seorang bapak tua yang menyambutnya
dengan senyum terkembang. Bagi bapak tua itu, tampaknya kedatangan Jalal
merupakan anugerah dari Tuhan di tengah gemuruh hujan yang tumpah dari langit
ini.
“Pesan apa, Mas?” tanya Karso ramah kepada Jalal yang belum
melepaskan masker di wajah dan helm di kepalanya.
Perut Jalal langsung meronta ketika indra penciumannya
menghirup bau soto yang menggugah selera di tengah hujan deras ini. Jalal
melepaskan helm dan tasnya lalu meletakkannya di kursi panjang warung tenda
itu. Maskernya sendiri ia kantongi di saku jaketnya.
“Soto ayam dan nasi satu porsi, Pak” jawab Jalal.
“Karso. Panggil saja saya Karso, Mas” sahut Karso ramah.
Jalal tersenyum dan mengangguk. Matanya memandangi seisi warung tenda itu dan
mulai menurunkan resleting jaketnya.
“Minumnya apa, Mas?” taya Karso lagi sambil tangannya
meracik soto pesanan Jalal. Kepulan uap soto melayang-layang di atas belanga
besar saat Karso mengisi mangkok bergambar ayam jago itu dengan beberapa centong
kuah soto.
“Teh hangat saja, Lek.” Jalal merasa panggilan itu sangat
pantas dialamatkan bagi Karso yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya yang
masih sangat muda. Karso mengangguk sambil mengangsurkan mangkok berisi soto
ayam dan sepiring nasi putih yang sama-sama mengepulkan uap panas.
“Nama saya Jalal, Lek” ujar Jalal sambil menyiram beberapa
sendok kuah soto ke atas nasinya.
“Oh iya, Mas Jalal” sahut Karso sambil menggeserkan letak
kaleng berisi kerupuk udang ke dekat Jalal.
“Jalal saja, Lek. Kalau saya menaksir usia Lek Karso, sepertinya saya lebih cocok dipanggil tanpa embel-embel mas” kata Jalal sambil tertawa. Karso ikut tertawa. Uban di rambut dan keriput yang berkumpul di wajahnya terlihat bercahaya di bawah lampu warung yang terang-benderang. Dua orang lelaki yang barusan makan soto tampak sudah menyelesaikan aktifitas makan-makannya dan kini sedang mengobrol sambil merokok. Warung tenda yang kecil itu kini dipenuhi dengan kepulan asap rokok yang bercampur dengan aroma teh melati dan uap soto.
“Jalal saja, Lek. Kalau saya menaksir usia Lek Karso, sepertinya saya lebih cocok dipanggil tanpa embel-embel mas” kata Jalal sambil tertawa. Karso ikut tertawa. Uban di rambut dan keriput yang berkumpul di wajahnya terlihat bercahaya di bawah lampu warung yang terang-benderang. Dua orang lelaki yang barusan makan soto tampak sudah menyelesaikan aktifitas makan-makannya dan kini sedang mengobrol sambil merokok. Warung tenda yang kecil itu kini dipenuhi dengan kepulan asap rokok yang bercampur dengan aroma teh melati dan uap soto.
“Tehnya tolong jangan terlalu manis ya, Lek”, pinta Jalal sambil
mengunyah nasi dan potongan daging ayam yang dibalas Karso dengan mengacungkan
jari jempolnya ke udara. Tangan Jalal mulai membuka kaleng berisi kerupuk udang
yang ada di dekatnya dan mengambil isinya sebuah. Suara riuh kerupuk, sendok
yang berdenting dengan gelas ketika Karso mengaduk teh, obrolan kedua lelaki
dan bunyi air hujan yang jatuh di atap warung yang terbuat dari terpal plastik
campur aduk menjadi satu.
Jalal masih asyik menikmati soto dan nasi pulen panas yang
terasa nikmat bukan main itu ketika tiba-tiba saja ada serumpun jari lentik
mengangsurkan gelas berisi teh beraroma melati kepadanya. Setengah terkejut,
Jalal lalu mengikuti gerakan jari-jari lentik itu dengan ujung matanya dan didapatinya ada tangan terbalut
kaos lengan panjang berwarna putih susu yang tertangkap indra penglihatannya.
Jalal mendongakkan kepalanya dan melihat sesosok perempuan muda berwajah manis
berkulit sawo matang cerah dengan jilbab berwarna biru muda ada di hadapannya
sedang tersenyum ramah.
“Ini teh hangat yang tidak terlalu manisnya, Mas” kata gadis
berjilbab biru muda itu dengan suaranya yang pulen. Sepulen nasi hangat yang
sedang dinikmatinya barusan.
Jalal menerimanya dengan mimik gugup dan mengangguk tanda berterima
kasih. Lidahnya kelu dan lisannya tak mampu mengeluarkan suara. Seperti baru
saja melihat pemandangan yang indah dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Kedua lelaki yang barusan mengobrol sambil merokok sudah pergi, meninggalkan
Jalal dan berdua saja dengan gadis berjilbab biru muda itu di dalam warung
tenda beraroma soto dan teh melati serta sisa-sisa bau asap tembakau. Beberapa
saat kemudian, Karso datang dengan tubuh terbalut jas hujan berwarna kuning
cerah dan memanggil gadis berjilbab biru muda itu untuk mendekat.
“Nis,” seru Karso sambil melepaskan jas hujan dan
menggantungnya pada paku yang ada di salah satu sudut warung. Ia melihat ke
arah Jalal yang tampak sedang melamun dan melepas senyum ramah kepadanya. Jalal
membalas senyum itu dengan kikuk dan mulai menyesap teh melatinya yang suam
kuku. Karso mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas kepada gadis itu
karena riuhnya suara air hujan yang makin lama makin deras.
Pada salah satu sudut di sebuah warung tenda, seorang pemuda
tampak sedang memandangi makhluk berjilbab biru muda yang barusan dipanggil
dengan nama “Nis” itu dengan pandangan yang tak dapat diterjemahkan artinya
sambil berharap bahwa soto dan nasi pulen yang sedang disantapnya saat itu tak
akan pernah habis. Entah kenapa, pemuda itu rasanya ingin memesan teh hangat
yang tak terlalu manis lagi. [wahidnugroho.com]
0 celoteh:
Posting Komentar