Nametag berwarna kuning muda dengan gambar foto saya
berlatar merah itu sempat saya pandangi lama-lama ketika saya kali pertama kali
menerimanya beberapa tahun yang lalu, gak lama setelah saya mulai berkantor di
instansi ini. Pada bagian atas, terdapat tulisan Departemen Keuangan RI, lalu
diikuti dengan Direktorat Jenderal Pajak, dan ada nama saya, Wahid Nugroho,
tertulis jelas di bawah foto jaman kuliah silam. Sementara di baliknya ada data
diri saya, seperti nama, nomor induk pegawai, jabatan, unit kerja, dan
sebagainya. Ada perasaan campur aduk saat itu. Antara percaya dan tidak, ketika
itu saya telah resmi “diakui” sebagai bagian dari keluarga besar Direktorat
Jenderal Pajak.
Saya langsung teringat wajah bapak, mamak, adek, dan
orang-orang yang telah menghantarkan saya sampai pada titik tersebut (saya gak
bisa sebutin satu-satu karena saking banyaknya). Titik ketika saya telah resmi
menjadi (calon) buruh negara di sebuah kementerian yang, konon kabarnya, cukup
mentereng itu. Sebelumnya, saya nggak pernah ngimpi jadi buruh negara, bil
khusus di instansi ini. Dulu ketika saya kelas 3 SMA, almarhum bapak pernah
nawarin saya untuk jadi Polisi Pamong Praja, dulu bapak bilangnya Kamtib, di
Pemda DKI, tempat dimana almarhum bapak mengabdi sampai pensiun. Tawaran itu
tidak saya iyakan dan tidak saya tolak. Menjadi buruh negara ketika itu belum
menjadi agenda hidup saya.
Tapi yang namanya garis hidup manusia emang kadang misterius
dan gak bisa ditebak kemana arahnya. Ia mengalir seperti air yang melewati
sela-sela bebatuan, menyelusup di antara semak dan dedaunan. Sesulit apapun
rintangan yang ada di hadapannya, air selalu mencari jalan lain untuk mencari
titik dimana ia akan bermuara dan bergabung bersama milyaran tetes air lainnya
yang mengalir dari titik yang berbeda-beda. Saya pun diterima di Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, di spesialisasi Prodip III Perpajakan pada tahun 2003 silam,
dan berhasil lolos dengan nilai memprihatinkan tiga tahun kemudian. Ketika
memandangi nametag pertama saya kala itu, bahkan hingga telah berganti nametag
beberapa kali sampai sekarang, saya masih belum percaya kalau saya benar-benar
telah menjadi seorang buruh negara di instansi yang konon antara jumlah lovers
dan hatersnya nyaris seimbang itu.
Saya sadar, kalo saya ini bukan pegawai yang baik. Prestasi
kerja saya nyaris nggak ada. Saya pernah membolos ngantor beberapa kali,
kualitas pekerjaan saya, well, biasa-biasa aja. Kadang saya lalai dengan tugas
yang diberikan ke saya, kadang juga saya menunda-nunda pekerjaan yang
seharusnya cepat selesai. Jangan heran kalau pangkat saya sejak enam tahun yang
lalu nyaris tak pernah beranjak naik, karena saya memang nggak berminat
mengurusnya. Liat aja DUPAK saya yang selalu tertunda diajukannya, atau dosir
kepegawaian saya yang terbengkalai. See? Saya ini hanya buruh negara yang
biasa-biasa saja.
Meski begitu, saya merasa bangga telah menjadi bagian dari
keluarga besar Direktorat Jenderal Pajak. Dengan segala kekurangan yang saya
miliki, instansi ini telah begitu berbaik hati memberikan segenap fasilitasnya
kepada saya, walau kadang saya merasa bahwa saya tidak pantas mendapatkannya
bila dibandingkan dengan apa yang telah saya berikan kepada instansi ini. Meski
begitu, saya sendiri nggak bisa jamin apakah saya akan terus berada di instansi
ini sampai akhir masa pengabdian kelak. Entahlah, ada banyak sekali kecamuk
yang mondar-mandir di kepala saya terkait masa depan yang masih kabur itu. Kecamuk
yang saya sendiri masih belum bisa menerjemahkannya dengan jelas. Saya nggak
ngerti soal itu semua. Tapi saya akan belajar untuk mengerti dan memahaminya.
Satu hal yang pasti, keberadaan saya di instansi ini telah
membanggakan kedua orang tua saya. Saya ingat sekali dengan cerita mamak ketika
almarhum bapak menerima uang dari saya yang jumlahnya “hanya” sekian rupiah itu
beberapa saat sebelum beliau meninggal dengan wajah berbinar dan penuh rasa
bangga. “Uang itu disimpan di dompetnya, selalu dilihat-lihat olehnya dan
nyaris nggak pernah digunakan sampai beliau meninggal”, kenang mamak dengan
wajah dibasahi air mata kepada saya pada suatu malam.
Semalam saya memandangi kembali nametag berwarna kuning itu,
menyesap tumpukan kenangan yang mendesak-desak di memori saya saat
menggunakannya dalam berbagai kesempatan: ngantor, dinas luar, diklat, atau
sekedar nampang ke swalayan sepulang ngantor. Jadi inget pas jajan di salah
satu toko di Luwuk dan koh pemilik toko langsung melambaikan tangannya dan
memasang wajah ramah kepada saya, padahal itu adalah kali pertama saya jajan di
tokonya. Usut punya usut ternyata sebabnya adalah nametag kuning yang masih
terpasang di saku kiri kemeja saya hahaha...
Ah, nulis apa aku ini..? [wahidnugroho.com]
Banggai Laut, September 2013
saya sudah punya baru lho
BalasHapus