Saya suka ngobrol. Ngobrol apapun, dan dengan siapapun. Tua,
muda, lelaki, perempuan, anak-anak, siapapun. Misal kalau pergi ke warung buat
beli minyak goreng dan ada anak-anak muda yang lagi duduk-duduk di sekitar
warung, saya akan berbasa-basi sebentar, tanya ini itu dan sebagainya. Atau mengobrol
dengan om dan tante pemilik warung. Basa-basi ini itu, atau sekedar tanya
kabar.
Misal kalau ke masjid, sambil menunggu azan dikumandangkan,
maka saya akan mencari anak-anak yang sedang berlarian di teras, saya tanya
nama, sekolah, kelas, dan hal-hal semacam itu. Kadang ketika dalam perjalanan
yang panjang, baik itu naik pesawat, kereta, ataupun bus, maka saya akan
mencari teman bicara. Buku yang selalu saya tenteng ketika sedang dalam
perjalanan akan saya letakkan dulu atau saya simpan di dalam tas selempang
kecil saya. Terkadang ada obrolan yang panjang, seru dan mengasyikkan bersama
orang-orang yang baru saya kenal. Meski tak jarang obrolan itu menggantung dan terputus
dengan cara yang sangat canggung. Mungkin lawan bicara saya agak sedikit curiga
dengan keinklusifan saya, atau mungkin mereka tidak ingin diganggu dan
menikmati perjalanannya. Mungkin.
Saya juga sering mengangkut orang-orang yang tidak saya
kenal ketika hendak ‘turun’ ke kota (Luwuk), baik itu saat saya menyetir
sendiri atau ketika bareng-bareng anak istri. Maklum, rumah (istri) saya ada di
atas bukit dan nyaris tidak pernah dilewati kendaraan umum, jadi kalo ada orang
yang berjalan kaki ke bawah untuk mencari kendaraan umum (ojek atau taksi),
maka saya akan menawari tumpangan untuknya. Bila orang itu berjenis kelamin
laki-laki, baik tua ataupun muda, atau wanita paruh baya, maka saya tidak akan
ragu mengangkutnya. Tapi kalau berstatus siswi atau pemudi yang baru merekah,
saya hanya akan mengangkutnya jika dan hanya jika ada istri saya pula di mobil
yang saya bawa. Bila saya ke arah kota (Luwuk), maka akan saya tanyakan kemana
tujuannya dan seterusnya. Terkadang saya harus membujuk mereka untuk mau ikut,
karena mungkin mereka ngerasa nggak enak untuk ngerepotin saya. Tapi saya nggak
pernah merasa kerepotan, saya justru senang karena ada teman ngobrol selama
dalam perjalanan itu.
Pernah suatu hari saya mengangkut seorang wanita paruh baya
yang mengenakan sweater berwarna kuning terang di siang yang terik. Wanita ini
berjalan lambat dan sesekali menengok ke belakang seperti sedang mencari ojek dari arah atas (BTN Muspratama). Ketika mobil yang sedang
saya kendarai berada tepat di sampingnya saya lalu mengklaksonnya dan
menawarinya tumpangan. Wanita itu tampak sangat berterima kasih sekali. Dan tanpa
ba bi bu, ia langsung mencurahkan kekesalan hatinya kepada saya. Wanita itu
ternyata sedang sakit, saya perhatikan wajahnya memang tampak kurang sehat, dan
hendak pergi berobat ke seorang mantri. Tapi ia merasa kesal karena
ditelantarkan keluarganya, keluarga satu-satunya, yang ada di Luwuk. Ia sendiri
berasal dari Bunta dan menyengaja pergi ke Luwuk dan menumpang di rumah
keluarga satu-satunya untuk berobat ke mantri itu. Saya pun langsung menjadi
pendengarnya yang setia mulai dari BTN Nusagriya sampai dengan klinik tempat
sang mantri membuka prakteknya. Ketika hendak turun, wanita itu mengucapkan
terima kasih dan membacakan selaksa doa untuk saya. Saya mengaminkannya dan
mengucapkan doa semoga ia lekas sembuh.
Kebiasaan mengangkut orang asing dan mengajak ngobrol di
sepanjang perjalanan ini pun juga menjalar ke istri saya. Pada suatu malam,
saya hendak membeli obat batuk di apotik kilo satu. Saat akan memarkir mobil ke
tepi, istri saya menunjuk dua orang wanita tua yang tampak sedang menunggu
angkutan umum. Kebetulan waktu sudah lewat jam delapan malam ketika itu.
Setelah turun dari mobil, saya lalu bertanya kepada dua orang ibu beda usia itu
hendak kemana.
“Mau ke Pepabri, pak”, jawab ibu yang tampak lebih muda.
“Ikut saya saja, bu. Kebetulan saya mau ke arah Kilongan.
Tapi saya mau beli obat dulu ya,” ujar saya sambil menyilakan kedua ibu itu
masuk ke dalam mobil. Awalnya mereka berdua menolak, dan setelah saya bujuk
keduanya mau masuk ke dalam mobil dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Di perjalanan pulang, kami lalu mengobrol tentang banyak
hal. Tentang penyakit yang sedang diderita oleh ibu yang lebih tua (belakangan
diketahui bahwa kedua ibu itu adalah ibu dan putrinya yang juga sudah jadi ibu),
tentang sulitnya mencari angkutan umum yang mau mengangkut penumpang ke jurusan
mereka, dan sebagainya dan seterusnya. Saya dan istri menanggapi seperlunya
sambil menyelipkan doa agar ibu yang sedang sakit itu segera baikan.
Begitulah. Saya suka ngobrol. Dengan siapapun, kapanpun, dan
topik apapun. Dengan tukang nasgor, tukang martabak, tukang roti bakar, tukang
buah, tukang es, tukang soto, dan lain-lain. Tulisan yang sedang saya buat ini
pun juga hasil obrolan searah saya dengan laptop butut saya, sambil ditemani iringan
musik Jon Bon Jovi yang sedang saya nikmati di sore yang cerah di kota ini. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Januari 2014
0 celoteh:
Posting Komentar