Cuaca Luwuk siang itu cukup panas. Sambil memegangi tangan
istri saya erat-erat, saya menyaksikan detik-detik kelahiran putri ke tiga saya
tanpa sekalipun mengedipkan mata. Sebuah proses antara hidup dan mati. Sebuah
proses perjuangan seorang anak manusia dalam mengantarkan kehidupan anak
manusia lainnya. Sebuah titik kulminasi dari perjalanan cinta dua anak manusia
yang telah mengikrarkan janji suci untuk hidup bersama hingga ke syurgaNya
kelak. Menegangkan. Tapi juga indah.
Saya mengamati wajah istri saya yang tampak kesakitan.
Membisikkan kalimat thayyibah ke telinganya dan mengingatkannya agar
mengikhlaskan rasa sakit itu sebagai wujud jihad di sisiNya. Bidan yang
membantu persalinan terus mengatakan kata-kata motivasi kepada istri saya.
Sedangkan saya bergantian antara menguatkan istri dan mengamati arah jalan
lahir calon anak ke tiga saya. Tak lama berselang, proses itu pun terjadi lagi.
Pertama kepalanya yang mungil dan lembut itu keluar. Seperti sebuah balon yang
sedang ditiup. Lalu diikuti dengan tangan, tubuh dan kedua kakinya, yang seperti
langsung mencelat keluar. Tak lama terdengar suara yang tangisan seorang anak
manusia untuk kali pertama di kolong dunia. Riuh ramai. Menyenangkan.
Saya lalu mengucapkan syukur kepadaNya atas anugerah ini,
mencium kening dan bibir istri saya seraya menyemangatinya, kedua tangan saya
masih menggenggam tangannya yang basah oleh keringat, kemudian mengamati sosok
putri ke tiga saya yang sedang dibersihkan oleh sang bidan dengan wajah tegang
dan tangan bergetar.
“Semuanya lengkap dan sehat, pak”, ujar sang bidan dengan
wajah penuh syukur. Saya mengucapkan terima kasih atas kerja keras sang bidan
paruh baya itu lalu meminta waktu untuk mendekati anak saya untuk mengamatinya
lekat-lekat. Sementara itu, sang bidan kembali ke arah istri saya dan mulai
membersihkan sisa-sisa persalinan yang masih terlihat. Air ketuban bercampur
darah, dan ari-ari anak saya yang tampak masih menjuntai.
Allahu akbar! Batin saya ketika memandangi sosok bayi yang
terbungkus kain di hadapan saya. Tangisnya terdengar nyaring dan jernih.
Setelah mengelus-elus pipinya, saya lalu mengucapkan basmalah dan mulai
mengazankannya.
Entah kenapa saya menangis. Lagi.
Momen mengazankan anak selalu membuat saya menangis, tak
terkecuali ketika dahulu saya mengazankan putri pertama dan ke dua saya. Momen
emosional yang membuat sisi sentimentil saya langsung menyeruak ke permukaan. Momen
kudus yang selalu menerbangkan ingatan saya tentang banyak hal.
Saya teringat dengan bayi-bayi yang ditelantarkan
orangtuanya di selokan, di tempat sampah, di rerumputan, di kebun kosong, di toilet
umum dan kamar mandi sekolah. Saya teringat dengan anak-anak yang tumbuh tanpa
kasih sayang orang tua. Saya teringat dengan bayi-bayi yang terbunuh di kecamuk
perang: Gaza, Syria, Yerusalem, Andalusia. Saya teringat dengan anak-anak muda
Mesir yang ditembak mati oleh para sniper. Saya teringat dengan para gadis muda
yang terjebak traficking, mereka yang dieksploitasi fisiknya untuk dijadikan budak
seks. Saya teringat dengan gadis-gadis muda yang mengumbar auratnya yang
terhormat itu tanpa secuil pun rasa malu. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua
orang tua sang gadis ketika melihat gambar putri tersayang mereka, yang tumbuh
dan kembangnya mereka ketahui betul itu, tampil polos dalam artian yang
sebenarnya?
Saya teringat dengan kisah Ummul Mukminin, shahabiyah,
ummahat da’iyah, dan para akhwat muslimah yang ketegarannya bak batu karang dan
semangatnya seolah baja. Saya teringat wajah ibu saya, semoga Allah merahmatinya.
Pengorbanannya. Segala hal tentangnya, lebih maupun kurangnya. Saya teringat
dengan anak-anak yang terlindas roda zaman, mengais-ngais belas kasih dari
dunia yang tak berpengasihan. Saya teringat dengan anak-anak yang harus
menyeberangi jembatan yang nyaris putus, sementara di bawahnya sungai mengalir
dengan arus derasnya yang mengancam jiwa. Saya teringat dengan anak-anak yang
putus sekolah. Saya teringat dengan terlalu banyak hal.
Jalanan di depan klinik tempat istri saya melahirkan mulai
ramai dengan para siswa-siswi yang baru saja ke luar dari sekolahnya. Seorang siswa
lelaki tampak sedang mengeluarkan sepeda motor canggihnya dari pekarangan
sebuah rumah yang tampaknya dijadikan tempat parkir motor para siswa. Saya kembali
mengecup kening istri lalu membiarkannya beristirahat sejenak, sementara putri
ke tiga saya tengah terlelap di dalam inkubator kaca.
Maka saya menitipkan selaksa doa untuknya yang baru
menghirup udara dunia, dan kepada dua saudari tertuanya yang lain, semoga Allah
rabbul izzati menjaga dan memudahkan urusan kalian semuanya.
Ya Allah, karuniakan kami keturunan yang menjadi penyejuk
kedua pandangan kami, dan jadikanlah kami serta keturunan-keturunan kami
menjadi orang-orang yang sentiasa mendirikan shalat.
Aamiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Februari 2014
0 celoteh:
Posting Komentar