Saya sedang duduk di ruang tamu yang tersambung langsung ke ruang tengah dan dapur. Kertas-kertas berhamburan di lantai, meja, dan beberapa sudut lainnya. Suara printer menderu dari dalam kamar depan yang juga dipenuhi dengan kertas-kertas yang saya tidak tahu fungsinya apa. Beberapa orang perempuan berkerudung lebar tampak sedang sibuk di dapur, sebagian yang lain sedang sibuk membuka-buka map berwarna kuning di bawah tangga kayu yang menjulang ke lantai dua. Seorang perempuan berjilbab lebar lainnya tampak sedang membaca Al Quran di dalam kamar tengah yang berisi dua buah springbed. Pintu kamar itu agak terbuka sehingga saya dapat menangkap aktivitas di dalamnya secara jelas meski hanya sekilas. Seorang lelaki berkumis tebal sedang membaca koran lokal di samping saya. Dua orang lelaki lainnya tampak sedang memain-mainkan handphone sambil bersandar ke sofa bercorak batik yang beberapa bagian tepinya sudah mulai robek.
Nyaris semua orang yang ada di rumah ini memiliki kesibukannya masing-masing, kecuali saya, tentu saja, yang tampak sedang tidak melakukan apa-apa kecuali hanya memerhatikan pusaran kesibukan yang tengah berlangsung saat itu. Saya menegakkan punggung dan mulai mengambil salah satu surat kabar lokal yang ada di meja yang dipenuhi beberapa koran terbitan kemarin dan dua buah piring berisi pisang goreng dan kue basah, lalu mulai bertanya kepada salah satu lelaki yang duduk di samping saya. Kami mulai berbincang perihal perkembangan politik yang tengah berlangsung di daerah ini, kemungkinan perolehan suara dari masing-masing partai peserta, dan kisah-kisah menarik yang terjadi sepanjang perhelatan Pemilu 2014 di Kabupaten Banggai secara khusus dan Nasional secara umum. Saat itu saya lebih banyak mengambil posisi sebagai pendengar sambil sesekali menanyakan perkembangan perolehan suara PKS yang ketika itu sedang diolah oleh tim, entah apa namanya – atau katakan saja Tim Tabulasi Suara –, yang tampak sedang sibuk melalukan verifikasi data, mengentri, dan sesekali menelepon atau mengirimkan pesan kepada orang-orang yang entah siapa namanya dan dimana keberadaannya. Pembicaran kami terhenti secara tiba-tiba saat handphone lelaki tersebut berbunyi dan beberapa detik kemudian ia tampak terlibat dalam pembicaraan yang serius. Lelaki itu lalu meminta diri dan masuk ke kamar depan dan tak lama kemudian keluar lagi sambil menenteng segepok map berwarna kuning lalu duduk di anak tangga pertama dan mulai berbicara dengan suara di handphone berwarna hitamnya sambil membolak-balikkan kertas yang ada di dalam map.
Di luar pusaran kesibukan yang sedang berlangsung tersebut, saya mulai sadar bahwa aktivitas yang sedang dilakukan oleh orang-orang ini bukanlah aktivitas yang biasa-biasa saja. Bukanlah aktivitas sambil lalu yang tak memiliki makna. Saya merasakan bahwa ada ‘sesuatu’ yang telah menyuntikkan energi kepada mereka sehingga mereka melaksanakan semua aktivitas yang cukup melelahkan itu dengan penuh semangat. Setidaknya itulah yang terpancar dari pandangan mata, senyuman, ucapan, dan segenap ekspresi lain yang tidak bisa saya terjemahkan terkecuali semua hal tersebut menebarkan aroma semangat dan keyakinan akan tercapainya impian yang begitu menyengat. Udara di luar sana terasa panas. Beberapa mobil dan motor tampak lalu lalang. Suara serangga mulai meramaikan udara yang terasa pekat.
Saya lalu melanjutkan pengamatan saya dengan mencoba masuk ke kamar depan yang penuh dengan kertas berserakan, menyapa seorang lelaki yang sedang duduk menghadap layar komputer dan menanyakan beberapa hal tentang pekerjaannya saat itu. Salah satu tangannya memegang beberapa lembar kertas dan, sambil menyalin data yang tercantum di dalam kertas-kertas itu, ia pun mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan lugas. Ada tiga orang lelaki yang sedang berada di dalam kamar itu. Salah satunya tampak sedang melantunkan ayat suci dari Al Quran saku yang ada ditangannya, sementara yang satu lagi sedang sibuk mencocokkan sesuatu antara tulisan-tulisan di map satu dengan tulisan yang tertera di sebuah kertas yang sedang dipegangnya. Lelaki yang tadi sedang menelepon sepertinya telah menyelesaikan pembicaraannya dan membawa kembali segepok map kuning yang tadi dibawanya ke beberapa tumpuk map yang ada di salah satu sudut ruangan. Ia lalu berkata secara acak kepada kami semua dan meminta diri untuk pergi ke suatu tempat. Mungkin ada panggilan penting yang harus dipenuhinya dengan segera, gumam saya.
Merasa tidak enak karena khawatir mengganggu pekerjaannya, saya lalu meninggalkan kamar itu dan berjalan ke bagian dapur untuk mengambil air minum. Cuaca yang panas dan pengap semacam ini telah membuat saya sangat haus. Nyaris tidak ada yang memerhatikan saya ketika saya melangkah lebih jauh ke dalam bangunan tersebut. Saya lalu mengambil gelas melamine yang ada di lemari piring, lalu berjalan ke arah lemari es dan menuangkan air dingin dari salah botol yang ada di dalamnya. Di tengah-tengah orkestra kecil yang tengah berlangsung, saya mendapati sebuah lukisan sederhana yang penuh makna tentang arti sebuah amanah. Saya mengamati aktivitas mereka dalam jarak yang sangat, sangat dekat. Meski saya tidak terlibat secara langsung namun gelombang aktivitas mereka tersebut telah menyentuh relung jiwa.
Istri saya merupakan caleg dari partai tersebut. Ia ditempatkan pada nomor urut ke sembilan dari sepuluh calon yang diajukan oleh partai itu dari Dapil 1 yang meliputi kota Luwuk, Luwuk Selatan, Luwuk Utara, Luwuk Timur dan Nambo. Perolehan suaranya memang tidak signifikan meski ada, katakanlah, secuil pengorbanan material yang telah dilakukannya selama proses pencalegan itu berlangsung mulai dari sumbangan ini, kontribusi itu, dan hal-hal material lain yang, menurut saya, sangat wajar dilakukan oleh seorang caleg. Istri saya pun menyadari situasi itu sehingga ia memutuskan untuk mengajukan diri sebagai koordinator saksi di Keluarahan Hanga-Hanga saat hari pencoblosan berlangsung. Maka setelah menunaikan pencoblosan di TPS dekat tempat tinggal kami, saya dan dirinya langsung meluncur ke kota Luwuk, tempat di mana tugasnya hari itu akan dimulai. Saya juga menawarkan mobil saya supaya dapat digunakan untuk mengantar konsumsi dan urusan taktikal lainnya kepada orang-orang yang berkepentingan. Karena di kantor sekretariat saat itu tidak ada yang bisa menyetir mobil, maka saya menawarkan diri untuk menjadi supir dadakan selama sehari itu. Selebihnya saya hanya mengamati dan melihat dari jarak yang cukup dekat mengenai aktivitas tanpa henti yang mereka lakukan. Posisi istri saya yang merupakan koordinator saksi membuatnya belajar untuk mengkoordinasikan banyak kepala dalam satu ritme yang telah dikehendaki oleh koordinator utamanya. Saya melihatnya cukup kerepotan dengan posisi barunya itu. Sesekali ada gumam kekesalan darinya. Saya menenangkannya dan berkata padanya bahwa itu semua adalah cara kita untuk belajar. Belajar apa? Entahlah. Tapi saya selalu yakin bahwa ada pelajaran yang bisa diambil dari aktivitas-aktivitas semacam itu.
Dari semua aktivitas mereka yang saya amati secara dekat, secara kasat mata, saya mendapati bahwa mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Sebagian besar dari mereka tidak dibayar meski sebagian lainnya ada juga yang mendapat kompensasi material yang, bila dibandingkan dengan pemberian dari partai lainnya, tidak seberapa. Mereka bekerja berbekal semangat dan keyakinan yang tinggi bahwa ada "sesuatu" yang sedang mereka perjuangkan dengan energi berlipat.
Beberapa hari setelah pencoblosan, saya tetap mengantar dan menemani aktivitas istri saya ke sekretariat partai itu. Kesibukan yang tampak di sana makin hari makin meningkat. Wajah-wajah tegang dan gelisah datang silih berganti, bercampur dengan rona optimisme yang membuncah dari wajah-wajah lelah mereka. Meski begitu, terdengar pula keluhan perlahan, gumaman kekhawatiran, dan nada protes yang tertahan. Di sela-sela kesibukannya, saya masih melihat ada yang menyempatkan diri melantunkan tilawah Al Quran, menunaikan shalat berjamaah di masjid, dan aktivitas-aktivitas religi mereka. Pernah pula pada suatu malam, saya tertidur di sekretariat partai itu pada awal malam, terbangun pada pukul dua dini hari dan mendapati wajah-wajah yang penuh ketegangan dan kelelahan pada siang harinya itu tengah tertidur pulas. Ada yang tidur di atas sofa, di depan televisi, di lantai ruang tengah, di lantai kamar hanya bertelekan koran dan spanduk bekas, dan di titik-titik lain. Bergelimpangan begitu saja tanpa arah dan rencana. Ada banyak ekspresi yang sulit saya tuliskan dengan kata-kata di sini. Anda yang belum pernah melihat aktivitas semacam itu tentu akan sulit membayangkannya.
Pada suatu malam, sang Ketua DPD partai tersebut datang ke sekretariat beserta beberapa orang yang saya kenal. Saya, secara kebetulan, sedang berada di tempat itu untuk suatu urusan pribadi. Wajahnya tampak lelah tapi nada bicaranya masih tegas dan lugas. Setelah berbasa-basi sejenak, ia lalu memberikan instruksi-instruksi kecil dan melemparkan pertanyaan-pertanyaan taktikal kepada beberapa orang yang sedang sibuk beraktivitas di sana. Suara tilawah terdengar pelan dari dalam kamar tengah, entah siapa pelantunnya. Sepintas saya mendengar ada masalah di TPS sekian dan sekian, perolehan suara yang tidak wajar dari partai tertentu di TPS sekian dapil sekian, dan hal-hal lain. "Partai lain sudah sibuk membahas koalisi, padahal perolehan suaranya entah berapa. Dan kami di sini masih sibuk menjaga suara, suara yang diamanahkan kepada kami, supaya tidak dicuri dan beralih ke partai lain", terangnya kepada saya dengan senyum di wajah lelahnya.
Di akhir tulisan abstrak ini, saya ingin menyalin tulisan yang beliau buat sepekan setelah hari pencoblosan usai dengan sedikit penyesuaian dan perubahan.
Ikhwan dan Akhwat fillah.
Saya menulis renungan ini dengan menggunakan jari-jari yang mulai letih, mengandalkan tangan yang mulai lemah untuk dijadikan tumpuan, memakai bahu yang terhunjam dengan perjalanan di sepanjang dapil yang ada. Bahu itu juga adalah bahu yang sama yang bertelekan kursi atau lantai di Markas Dakwah. Saya menulis renungan memakai badan yang selalu berusaha tetap ditegakkan, walaupun kondisi memaksanya untuk jatuh, lemas dan terduduk, bahkan terkadang rapuh. Badan itu juga yang kadang didera rasa dingin, dan kadang dirasuki demam.Belum lagi perasaan yang berkecamuk di antara harapan dan realita. Harapan agar dakwah ini tegak dan mendapatkan supremasinya di Kabupaten Banggai, dan realita bahwa mencari satu kursi sudah sedemikian sulitnya. Mempertahankan tiga kursi yang ada saja belum ada kepastiannya, apalagi kalau kursi hilang. Terkadang ketika pulang malam, dan melihat wajah-wajah yang tercinta di rumah, ada perasaan lain yang mendera. Betapa banyak hak mereka hilang demi dakwah ini. Betapa kebersamaan bersama mereka hanya saat tidur di malam hari. Bahkan kebersamaan yang sedkit itu juga terenggut dengan agenda-agenda lain. Belum lagi ketika memikirkan pendanaan. Semuanya demi usaha pemenangan ini. Terkadang untuk melepaskan seluruh beban ini saya hanya bisa menangis kepada Allah. Saya hanya bisa mencurahkan semua yang ada dalam hati ini kepadaNya. Agar semua kegelisahan itu keluar dan hanya Allah-lah yang tersisa di dalam qalbu ini. Tapi saya sadar bahwa itu sangat sulit. Tapi saya yakin, antum dan antunna juga merasakan hal yang sama. Bahkan terkadang lebih dari saya. Karena dakwah ini mengajarkan bahwa kita adalah satu tubuh yang sama, bukan tubuh yang berlainan. Satu jiwa yang tidak akan terbelah. Satu hati yang padu. Maka saya yakin antum juga merasakan apa yang saya rasakan ini. [wahidnugroho.com]
Kilongan, April 2014
0 celoteh:
Posting Komentar