Udara pagi terasa bersih dan segar. Shubuh baru saja berlalu.
Seorang lelaki tampak mengendarai sepeda onthel di jalanan yang masih lengang. Di bagian
belakang jok sepeda itu terdapat beberapa tumpuk koran yang diikat dengan tali
rafia. Beberapa toko dan warung terlihat masih tutup meski ada satu dua warung
rokok yang sudah buka, termasuk warung bubur ayam yang terletak di dekat
persimpangan jalan ke arah pusat kota. Kabut tipis perlahan menghilang seiring
sinar matahari yang mulai muncul dari perbukitan. Seekor kucing berwarna
abu-abu masih tertidur pulas di bawah meja kayu dekat sebuah warung rokok.
Belum ada satupun kendaraan bermotor yang lewat di jalan itu. Sayup-sayup
terdengar suara ayam jantan berkokok entah dari mana asalnya.
Aroma tumisan bumbu masak dari beberapa rumah mulai tercium saat
langkah perempuan paruh baya itu membelok ke sebuah gang sempit dengan langkah
tersaruk-saruk. Tangan kanannya menenteng sebuah plastik keresek hitam
sementara tangan kirinya memegang sebuah keranjang berisi sayuran dan
buah-buahan. Suara langkah kakinya yang mulai renta menjadi satu-satunya suara
yang menggema di gang sempit itu. Indra pendengarannya yang sudah agak payah
menangkap suara tangisan bayi dari sebuah rumah di ujung gang. Perempuan itu
kemudian berhenti sebentar, meletakkan barang bawaannya yang cukup berat dan
mengeluarkan sapu tangan lusuh dari dalam saku celananya. Perempuan itu lalu
mengusap dahinya yang penuh keringat sebesar biji jagung, padahal ketika itu
udara masih cukup dingin. Saat hendak melanjutkan perjalanan, kedua tangannya
menggapai-gapai dua barang bawaan yang sebelumnya diletakkan di dekatnya.
Perempuan itu terkejut ketika tidak mendapati plastik dan keranjang itu di
sana. Saat menoleh ke belakang, ia melihat sosok seorang pemuda dengan senyum
mengembang berdiri di sana sambil menenteng barang bawaan yang sebelumnya
dibawa oleh perempuan itu. Pemuda itu lalu menguluk salam kepadanya. Perempuan
itu membalas salam sang pemuda dan mengamatinya dengan seksama. Pandangannya
yang sudah agak kabur, ditambah intensitas cahaya di dalam gang yang temaram,
membuat perempuan itu butuh waktu beberapa detik untuk mengenali sosok pemuda
yang ada di hadapannya.
“Rozak!”
Pemuda yang dipanggil Rozak itu lalu berjalan sambil menenteng
barang bawaan milik perempuan yang sebelumnya ada di sisinya.
“Dari pasar, bude?”
Perempuan yang dipanggilnya Bude itu mengangguk. Punggungnya terasa
jauh lebih ringan setelah dua barang itu berpindah tangan darinya ke Rozak.
Diamatinya sosok Rozak yang saat itu mengenakan sarung dan kaus
putih bertuliskan Bike To Work. Wajahnya terlihat segar dan rambutnya tersisir
rapi. Tercium aroma parfum yang tidak terlalu menyengat dari tubuh Rozak saat
perempuan itu mengikuti langkah cepatnya dari belakang.
Sinar matahari berwarna jingga perlahan mulai tampak di atap-atap
rumah yang sebagian besarnya pintunya masih tertutup. Terdengar suara kunci yang sedang
dibuka dari salah satu pintu rumah yang mereka lewati, diikuti dengan munculnya
seorang lelaki yang sudah mengenakan helm dan mengenakan jaket kulit berwarna
hitam sambil mendorong motor matic keluar dari dalam ruang tamunya. Lelaki itu
melambaikan tangannya kepada perempuan itu yang langsung membalasnya dengan
lambaian tangan dan senyuman di wajahnya.
“Kamu darimana, Zak?”, tanya Bude Wur.
“Biasa, abis apel pagi,
bude”, jawab Rozak tanpa menoleh.
“Apel pagi?”
“Sholat Shubuh,” ujar Rozak terkekeh.
Bude Wur ikutan terkekeh. Keduanya
lalu berjalan tanpa suara dan melalui jalan yang lebih terbuka. Puncak bukit di
atas sana tampak sudah mulai diterangi cahaya mentari yang bersinar lembut.
Rozak dan Bude Wur akhirnya sampai pada sebuah rumah yang di bagian
depannya dijadikan warung kelontong, sementara di teras bagian sampingnya
terdapat beberapa tumpuk kursi plastik dan meja kayu yang diletakkan di salah
satu sudut rumah. Beberapa pot tanaman hias tampak berjejer rapi di bagian
teras yang tidak dikeramik. Bunga bougenville aneka warna tampak menyemak di
dekat pagar. Sebuah siluet perempuan yang sedang mengenakan mukena tampak
sedang berdiri di depan pintu sambil memegang buku kecil di tangannya.
Sepertinya ia sedang memegang Al Qur’an.
Rozak sempat melirik sekilas ke arah perempuan bermukena putih itu
lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dengan gerakan mata dan dagunya,
Bude Wur memberikan isyarat kepada perempuan bermukena itu untuk segera membuka
pintu gerbang. Perempuan bermukena itu lalu meletakkan Al Qur’an yang sedari
tadi dipegangnya di atas salah satu meja kayu dan bergegas ke arah gerbang yang
hanya berjarak beberapa meter tersebut. Gerbang besi itu berderit ketika
dibuka.
“Assalamu’alaikum.” Bude Wur langsung menghambur ke arah teras,
meninggalkan Rozak berdiri sendirian di luar gerbang yang setengah terbuka.
“Wa’alaikumsalam, bu.” Perempuan bermukena itu mengamati sosok
ibunya yang langsung melenggang ke arah pintu tanpa membawa apapun di
tangannya. Perempuan bermukena itu melirik ke arah lelaki bersarung yang sedang
berdiri di depan gerbang sambil membawa tentengan di kedua tangannya. Rozak? Pikirannya berkata bahwa kedua
tentengan yang sedang dibawanya itu adalah barang belanjaan milik ibunya.
“Mana barang belanjaannya, bu?” tanya perempuan bermukena itu
retoris, seolah tidak mengacuhkan kehadiran Rozak yang masih bergeming di depan
gerbang. Terdengar raungan mesin sepeda motor dua tak dari arah rumah yang berjarak
tak begitu jauh dari situ. Seekor cicak besar sedang mengintai nyamuk-nyamuk
yang masih beterbangan di sekitar lampu di plafon.
Dagu Bude Wur menunjuk ke arah gerbang yang lalu diikuti dengan
pandangan perempuan bermukena itu ke arah Rozak. Ara kemudian melangkah
ragu-ragu ke arah gerbang dan mengulurkan tangannya ke arah Rozak untuk meminta
barang belanjaan milik ibunya dari tangan lelaki itu.
“Terima kasih. Sini, biar aku saja yang bawa ke dalam,” ujar Ara
agak datar.
“Aku bawa sampai ke depan pintu saja, bila tidak keberatan. Barang-barang
ini lumayan berat,” ucap Rozak mengabaikan uluran tangan Ara.
“Permisi.”
Rozak langsung berjalan melewati Ara yang tampak sedang melongo
karena uluran tangannya tidak diacuhkan. Seekor kucing jantan melihat peristiwa
di depan gerbang itu dengan pandangan menyelidik sambil sesekali menjilat-jilat
kuku dan bulu putihnya yang kotor. Bude Wur menyunggingkan senyum tipis saat
mendengar percakapan putrinya dengan Rozak. Ia lalu mengeluarkan sebuah dompet
kulit imitasi berwarna hitam, dan meletakkannya di dalam lemari kaca.
Rozak lalu meletakkan kedua barang belanjaan yang berat itu di depan
pintu ruang tamu yang langsung diangkat oleh Ara dengan wajah mengernyit karena
berat. Kernyitan yang sempat tertangkap oleh pandangan Rozak yang mau tidak
mau, dengan alasan kesopanan, harus menahan tawanya sekuat tenaga. Berat sekali barang-barang ini!
“Nggak mau minum teh dulu, Zak?”, ujar Bude Wur kepada Rozak yang
masih berdiri di depan pintu.
Mendengar perkataan ibunya, Ara mendadak menghentikan langkah
seolah sedang teringat dengan sesuatu yang penting.
“Aku belum masak air panas, bu”, sergah Ara yang seolah tampak
keberatan dengan penawaran basa-basi ibunya kepada Rozak.
Rozak tersenyum kepada Bude Wur.
“Terima kasih, de. Aku
mau langsung pulang saja. Masih ada urusan lain,” jawab Rozak. Bude Wur
manggut-manggut dan menyuruh Ara masuk ke ruang tengah sambil membawa barang
belanjaan yang cukup berat itu. Dengan tergopoh-gopoh, Ara menyeret langkahnya
ke ruang tamu dan menghilang dari pandangan mereka berdua.
“Terima kasih ya, Zak. Salam buat ibumu. Nanti siang, kalau sempat,
kamu mampir ke rumah ya, insya Allah bude mau buat bothok teri. Kebetulan ada pesanan bothok dari Haji Rudi, jadi bude rencananya mau buat lebih. Ibumu
paling suka makan bothok kan?”
Rozak mengangguk. Bude Wur lalu mengantar Rozak sampai pintu
gerbang. Seorang tukang sayur melintas di depan gerbang sambil mendorong
gerobaknya yang penuh dengan sayuran.
“Iya, de salamnya akan saya sampaikan kepada beliau.
Nanti siang insya Allah saya mampir ke sini setelah urusan saya selesai.”
Rozak meminta diri dan mengucapkan salam kepada Bude Wur. Sementara
itu, Ara tampak berdiri di balik pintu dan menguping pembicaraan antara Rozak
dan ibunya. Kedua tangan dan bahu Ara masih terasa pegal seusai membawa
barang-barang belanjaan yang luar biasa berat ke dapur barusan. Kira-kira, apa yang sedang mereka bicarakan
ya?
Saat Ara sedang mencari-cari kemungkinan yang ada, tiba-tiba ibunya
sudah ada di hadapannya dan mengagetkan dirinya yang saat itu sedang melamun di
balik pintu.
“Eh, eng, ibu. Rozak dah pulang, bu?”
Ara gelagapan seperti copet tertangkap basah sedang menjambret
dompet. Bude Wur mengamati wajah putrinya yang masih mengenakan mukena.
“Kok yang ditanya cuma
Rozak? Padahal pundak ibu dari tadi berasa mau copot gara-gara nenteng
belanjaan yang beratnya nggak
ketulungan itu, lho. Emang kamu nggak
merasa berat pas nenteng belanjaan ke
dapur barusan, Ra?”
Skak mat, kau, Ara! Skak mat!
Perkataan ibunya membuat Ara mati kutu. Ara seperti kehilangan
kata-kata untuk menjawabnya seiring rona merah yang terbit di wajah manisnya.
Sinar matari sudah mulai jatuh di teras rumah sementara Bude Wur berjalan ke
arah dapur, meninggalkan putrinya yang masih gelagapan mencari kata-kata untuk
menjawab “serangan” darinya. Ara melangkah ke dalam rumah sambil mengutuki
dirinya sendiri.
Entah karena sebab apa, sosok Rozak jadi terngiang-ngiang dalam
pikirannya.
Duh!
-- bersambung --
Tabe sobat, untuk dapat saling mengenal sesama Blogger dari Sulawesi Tengah dan agar kita dapat saling berbagi bersama, kami undang komiu untuk bergabung dengan Komunitas Blogger Sulawesi Tengah (bloggersulteng.blogspot.com). Sukses selalu sobat...
BalasHapus