Suatu pagi saya hendak berangkat ke kantor. Saya masih
tinggal di Hanga-Hanga ketika itu. Setelah melewati jembatan Kelapa Dua, saya
biasanya akan belok ke kanan, lewat rumah Ko Cin, dan seterusnya. Tapi pagi itu
saya tidak mengambil jalur yang biasanya saya lewati dan lebih memilih lurus
lewat depan PLTD. Ada kejadian menarik saat saya melewati jalan itu. Seorang laki-laki
sedang mendorong motor matic yang tampaknya sedang mogok. Di atas motor itu,
berdiri seorang anak berusia kurang lebih tiga atau empat tahun. Melihat
pemandangan seperti itu, saya teringat kejadian beberapa tahun silam ketika
motor Binter Kawasaki 82 yang saya dan almarhum bapak tumpangi terpaksa didorong
karena ban belakangnya pecah di kawasan Kalimalang Jakarta Timur. Waktu itu saya
masih tahun-tahun akhir di SMP.
Ketika itu saya dan almarhum bapak baru saja menghadiri
sebuah acara keluarga di kawasan Pondok Kelapa. Ya, hanya kami berdua. Ketika malam
sudah agak larut, bapak mengajak saya pulang. Malang tak dapat ditolak, ban
belakang motor kami pecah dan terpaksa bapak harus mendorong motor lawas yang
berbobot cukup berat itu untuk mencari tukang tambal ban. Langit malam tampak
berwarna kelabu karena hujan deras baru saja turun. Kondisi lalu lintas tidak
seberapa ramai. Di pinggir jalan, banyak terdapat penjual makanan seperti
Martabak Telur, Nasi Goreng, dan lain-lain. Beruntung saya dan bapak sudah
makan malam di tempat salah seorang kenalan bapak sebelum kami pamit untuk
pulang.
Selang beberapa menit berjalan, bapak masih belum menemukan
tukang tambal ban. Saya mengikuti bapak dari arah belakang, sambil bersiap
untuk mengambil posisi beliau untuk mendorong motor tatkala bapak sudah
kecapekan. Begitulah, saya dan bapak mendorong motor secara bergantian sambil
kepala kami menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tukang tambal ban yang
masih buka. Malam sudah semakin larut, namun tukang tambal ban yang kami cari
masih belum kunjung ketemu. Kami berdua tidak banyak berbicara ketika itu
karena memang kami tidak terbiasa saling bicara. Saya selalu mengambil jarak
terhadap bapak dan mungkin bapak juga melakukan hal yang sama kepada saya. Kami
berdua sama-sama laki-laki keras kepala dan tidak mau mengalah antara satu sama
lain. Kami punya selera dan cara berpikir yang berbeda. Selalu ada kecanggungan
yang tercipta yang menjadi spasi pertemuan-pertemuan kami sebelumnya.
Ketika posisi saya digantikan bapak dan saya berjalan di
belakang beliau, saya lalu menatap punggung bapak yang sudah mulai menua. Tahun
itu umur beliau sekitar lima puluh tiga atau lima puluh empat tahun. Mungkin lima
puluh lima. Tahun depan saya akan masuk SMA, dan tahun depan itu pula bapak
akan pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Saat menatap
punggungnya, saya seolah sedang menatap masa depan saya yang masih gelap. Sebagai
anak laki-laki tertua di keluarga, saya merasa bahwa beban yang ditanggung oleh
bapak dalam menjalani tugasnya sebagai seorang kepala keluarga bukan hanya
tugasnya seorang, tapi juga tugas saya, atau setidaknya akan beralih ke tangan
saya suatu saat nanti. Saat sedang memikirkan masa depan yang segelap langit
malam, saya melihat ke arah langit. Bintang-bintang yang tadinya terhalang awan
gelap perlahan mulai tampak.
Beberapa supir angkot tampak sedang main kartu gaple di
depan warung rokok sambil berteriak-teriak dan tertawa riang. Jalan raya
Kalimalang sudah hampir mencapai ujungnya dan flyover Cawang sudah tampak dari
kejauhan. Tukang tambal ban pun masih belum jua ketemu. Saya melirik ke arah warung
kelontong yang masih buka untuk mencari jam dinding, tapi saya tidak
mendapatkannya. Jalan yang akan kami lewati memecah jadi dua. Bapak lalu
memutuskan untuk mengambil jalur kanan yang berlawanan dengan jalur yang
seharusnya beliau ambil ke arah kiri. Kami berdua terus berjalan melawan arus
lalu lintas. Bapak mendorong motornya dengan kecepatan langkah yang terjaga,
sementara saya mengikuti beliau dari belakang. Saat flyover sudah tepat berada
di hadapan kami, bapak membelokkan motornya ke kanan dan melihat ada seorang
tukang tambal ban sedang merokok di pinggir bengkelnya yang kecil dan kumuh. Seingat
saya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluhan menit ketika
itu. Setelah berbasa-basi sejenak dengan tukang tambal ban yang merupakan
seorang lelaki yang, tampaknya, berumur tidak jauh beda dengan bapak, beliau
lalu menstandartengahkan motornya lalu duduk di kursi kayu sambil menunggu ban
motornya diperiksa oleh tukang tambal ban. Lagi-lagi, bapak lebih banyak diam
dan memerhatikan kerja tukang tambal ban, sementara saya mengambil jarak
beberapa meter dari kedua lelaki sebaya itu dan lebih memilih melihat keramaian
lalu lintas yang makin menyurut seiring malam yang melarut. Beberapa menit
kemudian, tukang tambal ban telah menyelesaikan pekerjaannya. Bapak lalu
menstarter motor dan mengajak saya untuk naik. Terdengar raungan motor mesin
dua tak yang cempreng dan berisik. Saya lalu naik di belakang bapak dan kami
berdua berboncengan membelah lalu lintas Jakarta lepas pukul sebelas malam.
Sekian belas tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu
hingga akhirnya saya melihat kembali pemandangan yang nyaris tidak jauh beda
dengan pemandangan yang pernah saya lihat dan alami dulu. Bedanya, anak yang
dibawa oleh lelaki itu masih kecil dan berdiri dengan santai di bagasi bagian
depan motor yang sedang dituntun oleh bapaknya, sementara saya dahulu harus bergantian
mendorong motor dengan bapak. Saya lalu mengabadikan peristiwa yang berkesan
itu dengan kamera ponsel saya dan kembali melanjutkan perjalanan ke kantor yang
sempat tertunda.
Saat saya membayangkan kembali peristiwa yang sudah belasan
tahun silam terjadi itu, saya baru tersadar bahwa itulah momen terakhir saya
dan bapak menghabiskan waktu selama beberapa jam berdua, hanya berdua saja, hingga
saya tenggelam dalam kesibukan saya dan bapak dengan kesibukannya beberapa
tahun kemudian, sampai akhirnya beliau meninggal dunia tujuh tahun yang lalu
akibat sakit yang dideritanya. Andai waktu bisa diputar kembali meski itu tak
mungkin terjadi. Ratusan dan ribuan kata-kata “andai” terasa mengiang-ngiang di
dalam kepala saya. Rasa sesal menekan dada saya hingga terasa sesak.
Tiba-tiba saja, pelupuk mata saya terasa menghangat. Ada bulir
air bening yang menganak sungai di sana. Saya menghapus air bening itu dengan
ujung jaket parasut saya. Matahari pagi mulai terasa terik. Tapi hati ini, entah
kenapa, serasa gerimis. Robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayaani shaghiraa. [wahidnugroho.com]
Titip rindu buat bapak.
Kilongan, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar