Jumlah kebutuhan itu berbanding lurus dengan tanggung-jawab.
Waktu masih bujangan dulu, saya menganggap bahwa tinggal di
kamar kos berukuran tigakalitiga meter, dengan tumpukan buku di salah satu
sudutnya dan klumbrukan pakaian yang
belum disetrika di sudut yang lain sudah lebih dari cukup. Makan bisa seadanya, sesuai "amunisi" yang tersedia di kantong celana.
Ada mie instan ya dimakan, ada ikan cakalang sous ya dinikmati, ada ubi banggai
rebus dan dabu-dabu-tarasi ya sudah itu saja yang disantap. Kalau tidak ada
makanan ya puasa, kalau tidak punya uang ya melamun saja di kamar sambil
baca-baca buku yang jumlahnya tak seberapa. Mau jalan-jalan pun seenaknya. Mau
pergi sampai kapanpun tak ada yang bertanya.
Waktu baru menikah, saya menganggap tinggal di rumah
kontrakan kecil dengan perabotan seadanya pun tak mengapa. Saya ingat betul
perabotan pertama yang saya beli saat baru menikah dulu adalah sebuah kompor
minyak tanah, wajan penggorengan, panci, dan perlengkapan dapur lainnya.
Sebagian perabot diberikan oleh mertua termasuk rice cooker dan kasur pegas. Lemari
es pun diberikan oleh kepala kantor saya yang lama. Perabotan dapur lainnya
seperti piring dan mangkok saya “cicil” dengan cara membeli deterjen berhadiah
piring dan atau mangkok.
Waktu putri pertama saya belum lahir, saya menganggap bahwa
tinggal di mana saja asalkan bersama istri itu bukan suatu masalah. Di lingkungan
yang agak berisik dan padat pun tak mengapa. Di rumah kontrakan yang tidak
terlalu nyaman asal terlindung dari panas dan hujan pun tidak mengapa. Namun, resiko
yang bisa saja timbul saat memutuskan tinggal di lingkungan yang tidak begitu
tenang dan padat itu ternyata cukup mengkhawatirkan saya ketika buah hati kami
lahir kelak. Maka, diputuskanlah untuk pindah ke kontrakan lain yang lebih
tenang, dan kami pun mendapatkannya. Kepindahan itu pun berakibat pada timbulnya kebutuhan lain yang
diperlukan oleh sebuah keluarga kecil yang hendak tumbuh. Maka jadilah barang
sekian dan sekian masuk ke dalam daftar kebutuhan keluarga kami ketika itu.
Waktu putri ke dua saya lahir, jumlah kebutuhan lainnya pun
meningkat. Pun ketika kami memutuskan untuk merehab total rumah mertua yang
sudah tidak layak huni agar nyaman kami sekeluarga tempati juga menjadi salah
satu kebutuhan di antara deretan kebutuhan lain yang kami kehendaki menjelang
kelahiran putri ketiga kami.
Waktu keluarga kecil kami, keluarga kecil yang masih belia
dan hijau itu, datang dan memasuki sebuah komunitas masyarakat baru yang lebih
besar dan heterogen, maka hadirlah kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak pernah
saya pikirkan sebelumnya ketika masih bujangan dulu. Maka mulailah kami
membangun dapur yang agak besar, kamar tambahan, mempermak rumah habis-habisan,
membuat saluran pembuangan air, membangun garasi, memperbaiki teras, membuat
pagar rumah meski sederhana, memplafon langit-langit yang menganga agar
tampilan rumah sederhana itu jadi “layak” dan mantesin di mata tetangga, mencari lemari kayu bekas warisan mertua
dan dari kantor saya yang sudah tidak terpakai untuk menyimpan koleksi buku
saya yang makin tak terbendung, termasuk membeli perabotan yang dulu tak pernah
terbayangkan untuk dimiliki seperti oven, mixer, tea set, cetakan puding, dan perabotan lain.
Maka benarlah adanya. Jumlah kebutuhan berbanding lurus
dengan tanggung-jawab yang diri kita emban sebagai pribadi, dan pribadi yang
memiliki fungsi dan peran tertentu dalam sebuah komunitas tertentu, dengan
masalah-masalah tertentunya. Apalagi dengan adanya peran kemasyarakatan yang semakin
banyak dan luas. Dipercaya sebagai ini, diminta sebagai itu, dianggap begini,
dan disebut begitu, dalam hal positif, tentu saja, mengundang
kebutuhan-kebutuhan lain yang sebelumnya hanya dianggap angin lalu dan sepele
seperti peci nasional, baju koko yang baru, baju batik yang baru, sendal yang
baru, dan sepatu serta celana baru. Saya yang dulunya hanya bersarung dan
berkaos saat shalat di masjid, kini harus memperhatikan penampilan saya, minimal dengan berbaju koko
rapi jali, wangi, dan berpeci.
Jumlah kebutuhan dalam hidup berbanding lurus dengan jumlah
tanggungjawab dan peran yang kita jalankan. Saya percaya itu, dan sedang
belajar agar tidak terlalu gagap dalam memenuhinya. Dulu saya menganggap hidup
ini akan saya jalani dengan sederhana, mudah, dan tidak rumit. Namun saat saya
masuk ke dalam pusaran aktivitas masyarakat ternyata tidak semudah dan
sesederhana yang saya kira, meski dalam beberapa hal, kesederhanaan dan
ketidakrumitan itu yang diperlukan untuk mengurai permasalahan yang yang ada.
[wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar