Nyanyian tonggeret melengking nyaring dari arah pohon palem
yang berdiri tegak. Saat tonggeret bernyanyi itu artinya musim penghujan sudah
berada di penghujungnya meski cuaca di Luwuk akhir-akhir ini semakin tidak
jelas apakah musim hujan atau musim kemarau. Saya selalu suka mendengar
nyanyian serangga yang punya daur hidup menakjubkan itu. Pertama kali saya
mendengar suara tonggeret atau dalam istilah jawa garengpung itu adalah saat mamak mengajak saya jalan-jalan ke
perbukitan Gondosuli lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Suaranya yang berisik
tapi menenangkan itu terkadang mampir juga ke plafon rumah di atas bukit kami
di kala senja.
Tiupan angin menimbulkan tarian dedaunan yang saling
berbisik. Tiga orang anak lelaki sedang bermain di seberang jalan dekat taman
di samping kantor Telkom. Seorang lelaki muda tampak sedang memotret seorang
gadis belia di dekat sebuah pohon bunga tak jauh dari tempat saya berada. Suara
renjis tawa mereka menjadi lantunan yang berpadu harmoni dengan suara lain yang
saya sesap di sore itu. Di bawah bayang-bayang pohon palem, saya duduk menyelonjorkan
kedua kaki, bersandar pada undakan beton rendah yang saya lapisi dengan sandal
jepit agar tidak menyiksa punggung, meletakkan handphone dan tas selempang kecil
di dekat sandal jepit lainnya yang berbaring begitu saja di atas rumput. Saya
mencoba memotret semua peristiwa yang bergulir di sekitar saya saat itu: langit
biru, awan abu-abu, cahaya matari yang temaram, bukit, udara, hijaunya dedaunan,
dan mencoba untuk menuangkannya dalam tulisan. Tapi saya tak mampu kecuali
hanya sebagian kecilnya saja.
Arus lalu lintas di depan Gelora sudah mulai ramai, begitu
juga dengan jalan Ir. Sukarno yang sedang saya belakangi. Sekelompok anak muda,
sepertinya fans dari sebuah klub Eropa, tampak sedang menyiapkan booth untuk
acara nonton bareng di halaman sebuah rumah besar yang ada di sisi jalan. Saya membuka
buku Fatherland yang sebelumnya saya pegang, membolak-balik beberapa halamannya,
meletakkan pembatasnya di samping handphone saya dan mulai membaca.
Sore itu saya sedianya mengantarkan teman-teman istri saya
ke lokasi pengajian di luar kota, tapi batal karena satu dan lain hal. Saat hendak
kembali ke kantor untuk lanjut lembur, saya mengurungkan niat itu dan mengarahkan
mobil saya ke arah Masjid Agung. Saya berniat untuk bertetirah sebentar di
bawah bayang-bayang menaranya dan membaca buku di situ. Sebuah lagu dari Blake
Shelton dan The Band Perry menemani perjalanan saya saat mobil yang saya
kendarai memasuki areal Masjid Agung. Sekelompok anak kecil tampak sedang
latihan karate di pelataran masjid yang diteduhi bayangan masjid, sementara ada
dua orang laki-laki paruh baya tampak sedang duduk di bawah bayang-bayang
menara. Menyadari bahwa calon lokasi nongkrong saya sudah digunakan orang lain,
saya lalu mengurungkan niat untuk duduk-duduk di lokasi itu dan mengarahkan
kendaraan saya ke tempat lain sampai akhirnya sebuah undakan di atas taman
Gelora, tempat latihan silat, yang ada di depan kantor Telkom menjadi destinasi akhir saya sore itu.
Entah kapan terakhir kali saya melakukan semacam aktivitas
ini: jalan-jalan sendiri, lalu duduk-duduk di tempat yang agak sepi dan membaca
buku. Aktivitas yang cukup sering saya lakukan saat masih jomblo dulu. Biasanya
saya akan membawa tas berisi satu atau dua buku, lalu duduk di Taman CD kampus
STAN, atau spot lain yang sepi dan tenang di sekitaran kampus Jurangmangu dan
mulai membaca atau menambah hafalan saya yang tak seberapa itu. Semenjak menikah
dan memiliki tiga orang putri yang aktif, aktivitas seperti itu nyaris sudah
tak pernah saya lakukan. Di ujung senja yang menua, saya ingin kembali
melakukan aktivitas itu dan kini saya sedang mulai untuk menikmatinya meski
durasinya tak seberapa lama.
Setelah bergonta-ganti posisi duduk beberapa kali, saya
akhirnya menemukan posisi duduk yang enak. Setengah jam, satu jam berlalu, hingga
akhirnya suara tilawah dari pengeras suara di Masjid Agung mulai terdengar. Nyaris
dua jam saya duduk dan membaca di tempat itu, ternyata. Sesekali saya
menghentikan bacaan saya dan melihat ke sekeliling. Mendengar, mengamati, dan
sesekali memejamkan mata saya sambil menikmati alunan suara kota Luwuk di kala
senja. Saya melihat jam di handphone; sudah setengah enam lewat. Itu artinya,
beberapa belas menit ke depan suara tarhim sudah siap dikumandangkan.
Saya membersihkan kaki dan celana dari kerikil dan tanah
kering yang menempel, mengembalikan pembatas ke lembar halaman yang terakhir
saya baca, memasukkan handphone ke dalam tas selempang dan mulai meregangkan
tubuh saya yang terasa agak kaku. Matahari sore masih menyisakan seberkas sinar
lembutnya dari balik bukit sementara langit di ufuk barat sudah mulai berwarna
abu-abu tua. Saya lalu berjalan ke arah mobil yang saya parkir tak jauh dari
tempat saya duduk, membuka pintunya, meletakkan buku dan tas di jok sebelah, menstarternya,
dan melaju perlahan membelah lalu lintas Luwuk di Sabtu senja yang penuh warna,
ditemani suara Tim McGraw dari pemutar musik di mobil. Saya mengarahkan mobil ke Masjid Agung,
bersiap untuk menunaikan shalat Maghrib di sana dan melanjutkan agenda lembur
saya di kantor sebelum akhirnya pesan pendek dari istri saya membuat saya
merubah agenda paska senja itu.
Kilau cahaya lampu dari rumah-rumah di atas bukit dan Luwuk
Shopping Mall berpendaran lemah di permukaan Teluk Lalong yang tenang. Mungkin
lain kali saya akan melakukan kegiatan seperti ini lagi. Mungkin.
[wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar