Siang ini saya dan istri menjemput anak-anak di sekolah. Ketika
semua anak-anak yang saya jemput sudah masuk ke dalam mobil dan istri saya
kembali, ternyata Mbak Azka masih belum nampak. Saya lalu bertanya kenapa Mbak Azka-nya
nggak ada? Istri saya lalu menjawab, “Dia nggak mau pulang”.
“Nggak mau pulang gimana maksudnya?” tanya saya heran.
Saya lalu kembali menyuruh istri masuk ke dalam sekolah dan menjemput
Mbak Azka agar segera naik mobil. Dua menit berselang istri saya nampak sedang
berjalan keluar dari dalam gerbang sekolah. Sendirian. Tidak ada Mbak Azka di
sampingnya.
“Dia nangis, bi. Nggak mau pulang, katanya.”
“Loh? Kenapa?”
“Dia mau ikut menari tapi tidak diajak sama ibu gurunya.”
Setengah kesal dan tidak percaya, saya lalu keluar dari
dalam mobil dan berjalan ke dalam sekolah. Dari depan pintu kelas, saya melihat
beberapa siswi, teman sekolahnya Mbak Azka, sedang berlatih menari. Saya mendapati
putri sulung saya sedang duduk di ujung kursi kayu bersama teman-temannya yang
sedang melihat latihan menari itu; menangis dan menggigiti jarinya. Ia lalu
melihat saya dan menatap dengan matanya yang sendu.
“Mbak Azka kenapa? Ayo pulang, nak”, ajak saya.
Ia tetap menangis. Matanya mengarah kepada teman-temannya
yang sedang latihan menari lengkap dengan aksesorisnya. Saya langsung bisa
menangkap maksud tangisan putri saya itu dan dengan pandangan mata saya lalu mengajaknya
keluar kelas. Ia menurut dan ke luar dari kelas untuk mencari sepatunya. Saat berjalan
menuju mobil, saya menggandeng tangannya dan membujuknya untuk diam. “Malu
menangis di depan teman-temanmu, nak”, bujuk saya. Ia tetap menangis. Saya lalu
bertanya lagi.
“Mbak Azka kenapa menangis?”
“Mbak Azka mau ikutan menari.”
“Oh, gitu. Tapi berhenti dulu nangisnya ya, malu kalo diliat
teman-temannya Mbak Azka.”
Ia bergeming.
Saat masuk ke dalam mobil, Mbak Azka lalu duduk di baris ke
dua bersama Fidel dan teman-temannya yang lain. Suara isak tangisnya masih
terdengar dari balik kemudi. Saya lalu bertanya kepada istri tentang gerangan apa
yang terjadi pada putri sulungnya itu.
Istri saya lalu bercerita tentang latihan menari sebagai
persiapan untuk acara pengambilan rapot di sekolahnya. Tentang betapa senangnya
Mbak Azka yang belakangan ini suka menari sendirian di rumah. Ia ingin ikut
ambil bagian sebagai penari dalam acara itu. Namun hasilnya antiklimaks. Karena
ia tidak dipilih oleh guru-gurunya. Saat berbicara, suara istri saya bergetar pertanda ia sedang
menahan emosinya agar tidak meluap saat bercerita. Saya manggut-manggut
tanda mengerti dan menanyakan beberapa poin lagi perihal kriteria apa yang
dipakai ibu gurunya Mbak Azka saat menunjuk siswi yang ikut ambil bagian
sebagai penari. Istri saya tidak tahu dan mengatakan beberapa kemungkinan. Ada
nada investigatif dalam tata bahasanya. Seolah ia hendak memprovokasi saya
untuk larut emosional dengan hasil investigasinya. Tapi saya bergeming.
Saya lalu mencari benang merah antara tangisan Mbak Azka
yang tidak lolos uji seleksi tim tari dengan standarisasi perekrutan anggota
tim tari oleh ibu-ibu gurunya yang, dalam pandangan istri saya, tidak objektif.
Ada semacam aroma “ketidakadilan-dalam-pembentukan-anggota-tim-tari” yang
terendus oleh istri saya saat itu.
“Harusnya anak-anak itu ditanya, mau ikut atau tidak. Jangan
yang itu-itu saja yang ditunjuk”, ujar istri saya. Kesal.
“Memangnya yang ditunjuk untuk tampil beneran yang itu-itu
saja? Memangnya kamu sudah tanya sama ibu gurunya?” cecar saya untuk
menetralkan kekesalannya. Ia diam dan memuntahkan argumentasi dan kemungkinan
lainnya, masih dengan nada kesal dalam suaranya.
Di tengah perjalanan, saya lalu meminta Mbak Azka untuk maju
ke depan supaya bisa dipangku oleh umminya dan bisa saya tanyain perihal
beberapa poin penting dari peristiwa tangisan di sekolah tadi.
“Mbak Azka suka menari?”
“Suka.”
“Nanti abi mau tanya ke ibu gurunya Mbak Azka dulu ya,
kenapa Mbak Azka sampai tidak ikut menari.” Ia mengangguk.
“Tapi..” lanjut saya, “...kalau misalkan Mbak Azka tidak
bisa ikutan menari Mbak Azka tidak menangis lagi?”
Ia menggeleng. Menangis.
Kemauannya untuk turut serta dalam tim menari ternyata
sangat kuat. Saya melihat air mata yang menganak sungai di pipinya dan
menyuruhnya untuk diam. Ah, putriku ini sudah bisa merasa sedih karena ditolak, ternyata.
“Siapa tau Mbak Azka bakalan diajak taun depan. Mbak Azka
mau?”
Ia menggeleng. Menangis. Lagi.
Saya lalu menoleh ke arah istri.
“Nanti aku mau bicara sama ibu gurunya. Siapa nama ibu guru
yang ngurus acara ini, mi?”
Istri saya menyebut sebuah nama. Saya kenal dengan nama itu.
“Kalau begitu nanti aku mau bicara sama kepala sekolahnya
saja.”
Istri saya setuju.
Dalam perjalanan pulang, saya lalu menasihati istri tentang
berlaku objektif saat ada, katakanlah, “ketidakadilan” yang menimpa anak-anak
kita. Saat anak-anak kita diperlakukan tidak adil oleh keadaan maka respon
pertama kita bukanlah mengutuki keadaan itu tapi justru memberikan pemahaman
kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selamanya berlaku adil kepada kita. Kita
tidak bisa meminta semua orang untuk berlaku baik dan sesuai dengan idealisme yang
kita miliki saat bergaul dengan anak-anak yang sudah kita besarkan dengan
idealisme tertentu. Adakalanya, kita perlu membiarkan anak-anak merasakan
sedih, ditolak, atau dalam hal ini, bersikap legowo saat tidak lolos seleksi
yang nampak tidak adil, dan sesekali mengakrabi mereka dengan kepahitan hidup
agar mereka bisa belajar menunjukkan sikap terbaik saat menghadapinya. Tugas kita
sebagai orangtua bukanlah untuk mengusir jauh-jauh semua permasalahan
anak-anak, tapi tugas kita sebagai orangtua adalah mengajari mereka tentang
sikap terbaik saat mereka menghadapi masalah. Masalah mereka sendiri.
Lagian, siapa juga sih orangtua yang pengen anaknya dapet
masalah? Saya kira nggak ada. Tapi masalah kadang datang tanpa diundang dan mau
tidak mau, suka tidak suka, kita perlu membekali diri saat uninvited problem
itu datang mengetuk pintu rumah kita.
Sayangnya, ada orangtua yang terlibat terlalu jauh dalam
permasalahan anak-anak, bahkan ikut larut dalam masalah tersebut dan membiarkan
anak-anaknya menonton kedua orangtuanya berakrobat menyelesaikan masalah yang
menimpa dirinya. Hal semacam itu, kalo menurut saya, justru akan melahirkan
anak-anak manja yang selalu bergantung dengan belas kasihan dan simpati orang
lain. Anak-anak yang tidak peka dengan
dirinya dan cenderung menyalahkan kondisi saat ia menjumpai permasalahan. Ini tentu
hal yang ingin kita hindari.
Jadi, saat anak-anak kita diperlakukan tidak adil, tidak
sesuai dengan norma hidup yang kita yakini, tidak sejalan dengan idealisme yang
kita miliki, maka katakan saja kepada mereka bahwa hidup ini memang tidak akan
selalu berbaik hati kepadamu, tapi ia akan menawarkanmu kesempatan ke dua untuk
memperbaiki diri agar dapat mengubah kepahitan hidup itu menjadi pelajaran
hidup yang dapat mendewasakan akal dan pikirmu.
Saya kira, tugas pertama saya untuk menyamakan frekuensi
dengan istri saya saat menyikapi masalah tangisan dan kemungkinan ketidakadilan
itu, dari sudut pandang saya sebagai orangtua, sudah saya lakukan. Tugas ke dua
saya adalah menasihati Mbak Azka agar ia dapat memberikan respon terbaik dari situasi
pelik, pelik sesuai dengan level usianya, yang sedang dihadapinya. Tugas ke
tiga saya, tentu saja, mengklarifikasikan hasil “investigasi” istri saya kepada
ibu guru yang berwenang agar ada kesepahaman yang didapat dari tragedi kecil
tadi siang. Tugas pertama saya sudah selesai. Tugas ke dua sedang saya
usahakan, dan tugas ke tiga rencananya akan saya selesaikan malam ini.
Menjadi orangtua memang tidak (selalu) mudah. Ini adalah
sebuah proses pembelajaran yang sangat berguna bagi saya dan istri yang masih
berstatus sebagai orangtua baru, yang tentu saja masih sangat hijau dengan
hal-hal semacam ini. Saya bukan pakar pendidikan anak. Saya juga bukan orang
yang punya kompetensi dalam dunia perparentingan. Saya hanya menuruti intuisi
dan kata hati saya untuk menyikapi masalah itu sesuai dengan apa yang saya
yakini dan pahami selama ini. Semoga apa yang saya, kami, lakukan ini baik adanya. Amin.
[wahidnugroho.com]
Tanjung, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar