The Bucket List adalah sebuah film drama komedi yang
diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman yang rilis pada tahun 2007
yang lalu. Film ini menceritakan tentang Edward (Jack) dan Carter (Morgan), dua
orang tua penderita kanker yang dirawat di kamar yang sama pada sebuah rumah
sakit dalam menjalani waktu senja mereka dengan melakukan hal-hal yang telah
mereka rencanakan dalam sebuah daftar bernama The Bucket List. The Bucket List
itu sendiri maksudnya adalah daftar keinginan yang ingin dilihat dan dilakukan
oleh mereka berdua sebelum mereka mengalami apa yang dinamakan dengan “kick the bucket”, atau meninggal dunia. Review
dan resensi film ini sudah cukup banyak tersebar di internet, jadi silakan Anda
cari sendiri gambaran rincinya via mesin pencari yang tersedia.
Dulu, waktu masih sangat belia, saya pernah membuat deretan
daftar keinginan yang ingin saya capai selama hidup. Seiring berjalannya waktu,
beberapa keinginan yang ada di dalam daftar itu tidak semuanya bisa saya
penuhi. Ada yang terpaksa harus saya ganti dan hilangkan karena satu dan lain
hal. Ada yang tidak mampu saya capai karena sebab-sebab yang tak bisa saya
tolak. Tapi saya merasa cukup bahagia dengan beberapa pencapaian yang sudah
saya lakukan, meski, dalam level tertentu, saya merasa pencapaian itu masih
bisa saya tingkatkan lagi baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.
Sore ini, di sela-sela pekerjaan merehab rumah yang sedang
berlangsung di rumah, saya membaca kembali sebuah buku, yang sampulnya berwarna
abu-abu, yang sudah lama sekali saya abaikan di sudut rumah yang berdebu:
Berpikir dan Berjiwa Besar yang ditulis oleh David J. Schwarz. Kali pertama
saya membaca buku ini adalah saat saya masih SMA dulu. Saya tidak ingat persis
di mana saya membacanya ketika itu, apakah ketika di dalam kelas atau ketika di
perpustakaan sekolah, atau justru di tempat lain. Saya lupa. Tapi isi buku itu,
dari sebagian besar bagiannya yang telah saya baca secara sekilas, masih saya
ingat dengan jelas. Buku ini juga sempat saya baca kembali saat berkuliah di
STAN. Adalah kunjungan ke sebuah toko buku di Palasari Bandung yang
mengantarkan saya bertemu kembali dengan buku yang pernah saya baca bertahun
silam itu. Saya juga tidak ingat persis apa nama toko buku itu. Bagian yang
masih saya ingat ketika itu adalah saat saya mengambil buku bercover pink itu
dari dalam tumpukan buku-buku yang ditempatkan pada sebuah lemari besi yang
cukup tinggi dan saya mulai membacanya hingga nyaris lupa waktu.
Dan hari ini, setelah nyaris setengah hari saya membaca buku
itu, bergantian dengan beberapa buku dan ebook
lain, saya serasa mendapatkan energi untuk kembali menyusun The Bucket List
yang sempat terlupa. Memang, hidup tanpa impian serasa hambar tanpa makna. Hidup
yang tak diisi dengan impian hanya akan berjalan seperti rutinitas yang dapat
membunuh kreativitas, dan saya tak mau menjalani hidup dengan semangat seperti
itu.
Anis Matta, dalam salah satu ceramahnya, pernah berkata bahwa,
obsesi terbesar yang mengisi ruang jiwa umat manusia dan karenanya menggerakkan
seluruh pikiran, kemauan, dan sikap-sikapnya untuk meraihnya adalah dorongan
untuk meraih kebahagiaan, sekaligus upaya untuk menghindarkan diri dari semua
bentuk yang bertentangan dengan kebahagiaan. Oleh karena itu, unsur-unsur
mendasar yang membentuk sebuah kebahagiaan hidup seseorang, salah satunya,
adalah perasaan terarah. Itu karena pertanyaan tentang arah kehidupan adalah
pertanyaan paling fitri dalam diri seorang manusia. Dan selama pertanyaan
paling fitri itu tidak bisa terjawab, maka selama itulah manusia akan mengalami
disorientasi hidup. Wajar bila kejadian bernama “tersesat” adalah kejadian yang
paling tidak diinginkan saat hidup ini berjalan. Oleh karena itu, perasaan
terarah merupakan unsur yang menciptakan keutuhan kepribadian di dalam diri
seorang manusia. Dan keterahan ini dapat terwujud saat kita dapat merumuskan mission statement di dalam hidup kita.
Untuk itulah surat-surat Makkiyah didominasi oleh tema-tema
ideologis semisal iman kepada Allah, iman kepada Rasul dan iman kepada Hari
Kemudian, termasuk juga mengimani kehidupan setelah kematian berupa surga dan
neraka. Itu karena, ketiga hal tersebut merupakan unsur mendasar yang akan
menegaskan tentang arah kehidupan kita selanjutnya akan kita jalani dengan cara
seperti apa. Misi apa yang akan kita emban saat nafas kehidupan ini terhembus
dan bagaimana cara kita mengakhiri hidup yang sementara ini bila dikorelasikan
dengan misi hidup tersebut. Maka tidak heran, ketika tema tentang kematian
menjadi salah satu bahasan paling mendasar agar kita senantiasa ingat bahwa
kita sebenarnya sedang menuju ke “sana”. Ada kehidupan yang lebih hakiki dan
abadi di “sana”, dimana kehidupan itulah yang akhirnya akan mengisi ruang jiwa
kita saat menjalani hidup yang tak seberapa lama ini. Oleh karenanya, firman
Allah dalam surat Al Ankabut ayat 46 seyogyanya menjadi modal penting yang
harus senantiasa kita renungkan bahwa, "Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan”. Demikianlah arah “kehidupan” yang harus selalu kita
ingat.
Itulah sebabnya, The Bucket List kita bukan hanya soal
kesenangan semu yang tidak memiliki korelasi positif dengan kehidupan-yang-sesungguhnya
kelak, apalagi bila keinginan-keinginan itu adalah sesuatu yang bertentangan
dengan agama. Tapi The Bucket List kita sesungguhnya bisa lebih bermakna dari
hal-hal yang semu dan sia-sia itu, yang bisa memberikan kontribusi positif bagi
kehidupan-yang-sesungguhnya kita kelak. Bucket List kita, adalah langkah-langkah terarah yang ingin kita jalani selama hidup ini, dimana langkah demi langkah itu kelak akan mengantarkan kita pada fase hidup yang sesungguhnya dan ke arah mana hidup itu akan dihabiskan selamanya.
Saya lalu merenungi banyak hal, utamanya hal-hal yang sudah
terlewat. Hal-hal yang sudah saya abaikan dan lewati begitu saja. Peluang-peluang
kebaikan yang sudah saya lalaikan sekian lama. Potensi-potensi kebermanfaatan
yang tidak saya acuhkan selama ini. Maka, pada malam hari ini, ditemani
sayup-sayup suara ceramah dari pengeras suara sebuah masjid yang ada di bawah
sana, saya mulai memberanikan diri untuk membuat daftar keinginan saya, my own bucket list, yang semoga saja
bisa menjadi ruang besar yang mengkoridori setiap langkah hidup saya ke depan. Saya
memulainya dengan mimpi-mimpi besar saya: menghafal qur’an, naik haji, melunasi
hutang-hutang, menyaksikan peristiwa-peristiwa yang saya anggap besar (semisal pernikahan adik, anak-anak, termasuk menyaksikan cucu-cucu saya), mencapai
kestabilan finansial, dan hal-hal lain yang begitu kuat mewarnai labirin mimpi
saya dan dapat menentukan kualitas kehidupan saya yang sesungguhnya kelak. Dalam
setiap mimpi yang saya inginkan, saya menyelipkan doa untuk kebaikan saya
sendiri, untuk kebaikan masyarakat yang saya diami, dan untuk kebaikan negeri
yang saya cintai ini. Moga Allah mudahkan. Amin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Mei 2014
0 celoteh:
Posting Komentar