Dari teras rumah ini, aku bisa melihat bayang-bayang pulau
Peling di kejauhan. Bukit-bukitnya yang meliuk-liuk, yang terkadang diselimuti
awan putih atau diurapi sinar matari. Dari teras rumah ini, aku bisa melihat
ufuk timur tempat matari itu datang dan melingkari kota ini dengan sinarnya
yang terik. Sinar kehidupan. Dari teras ini pula aku bisa melihat bukit-bukit
yang mengelilingi kota kecil ini nun jauh di sana, pucuk-pucuknya yang kerap
jadi saksi perginya sang matari ke ufuk barat, dan menggantinya dengan
kegelapan yang keramat. Dari teras rumah ini aku dapat memandangi langit yang
berwarna kelabu, biru, dan terkadang ungu tua. Dari teras rumah ini aku pun
dapat memandangi buih ombak yang memutih di kejauhan, serta suara deburnya
ketika sunyi mendadak datang menyergap. Dari teras rumah ini, aku mulai jatuh
cinta dengan sebuah kota.
Aku tidak tahu pasti kapan tepatnya aku mulai memutuskan
untuk jatuh cinta dengan kota kecil berteluk indah ini: Jatuh cinta dengan
warna-warni langitnya; jatuh cinta dengan lekukan bukit-bukitnya; jatuh cinta
dengan bagaimana sinar matari sore perlahan menghilang dari balik bukit itu dan
menyeruakkan seberkas sinarnya yang berwarna jingga; jatuh cinta dengan nyanyian
ombak; jatuh cinta dengan suara air hujan kala bercumbu dengan pucuk-pucuk
pepohonan dan perlahan berjalan untuk mencumbui pucuk-pucuk yang lainnya; jatuh
cinta dengan kepakan sayap elang yang membentang luas di batas cakrawalanya;
jatuh cinta dengan kecipak ikannya; jatuh cinta dengan airnya yang jernih;
jatuh cinta dengan sang pemilik sepasang mata bening tempat hati ini berlabuh di
dalamnya.
Memang, tak semua yang ada di kota ini indah adanya. Aku pun
menyimpan kebencian, ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan keresahan di
atas permukaan jalannya yang berdebu. Di antara padatnya bangunan yang saling
bertumpuk-tumpuk. Di antara manusia-manusianya, dan banyak hal lainnya. Tapi kesemua
itu tidak menyurutkan rasa cintaku kepadamu.
Mungkin saja, semua itu bermula dari dirimu. Dirimulah yang
perlahan menyuntikkan rasa cinta itu kepadaku. Dirimulah yang secara perlahan
telah meyakinkanku untuk memancang pondasi mimpi-mimpi itu di kota ini
kepadaku. Dirimulah alasan mengapa cinta itu hadir, bermukim, dan bermalam. Bergolak
timbul tenggelam. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar