Paska kedatangan Kang Abik, beberapa anggota FLP Banggai tersebut
kemudian mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik yang digagas oleh Ustadz
Iswan Kurnia Hasan. Pengalamannya selama menempuh pendidikan Al Azhar di Mesir
dan mengelola media yang cukup terkenal di sana bernama Sinai Mesir membekali
anak-anak muda yang tengah bersemangat itu untuk mempertajam kualitas tulisan
mereka sehingga tak hanya berbobot tapi juga nyaman dibaca. Pelatihan itu
sekaligus diarahkan sebagai media untuk menghidupkan sebuah media propaganda
Partai Keadilan Sejahtera Kabupaten Banggai yang diberi tajuk Narasi Keadilan. Setelah
itu, saya mendapati tulisan-tulisan pendek anak-anak muda itu bertebaran di
dunia maya, baik di facebook dan di blog-blog pribadi mereka, termasuk di media propaganda tersebut yang oplahnya masih sangat terbatas. Saya cukup beruntung bisa mendapatkan beberapa edisi dari tabloid itu melalui istri saya yang aktif di partai tersebut. Meski saya tidak
mendampingi lahirnya semangat baru itu dari jarak dekat, namun kemunculan juru
ketik-juru ketik baru tersebut membawa hawa baru yang menyegarkan dunia
literasi di Luwuk yang masih jauh dari menggembirakan.
Beberapa alumnus pelatihan jurnalistik tersebut, yang juga
merupakan awak FLP Banggai, kemudian sempat pula melakukan pelatihan
jurnalistik bagi para mahasiswa sekitar dua tahun lalu yang dihelat oleh Ikatan
Mahasiswa Islam Unismuh Luwuk. Pelatihan yang kelak melahirkan buletin
mahasiswa yang diedarkan secara terbatas di lingkungan kampus itu menyajikan
beberapa materi kepenulisan yang sangat bagus. Saya pun sempat ditunjuk sebagai
narasumber dalam acara tersebut dan mencoba untuk berbagi hal-hal yang positif
seputar dunia tulis menulis meski secara pribadi saya merasa belum pantas untuk
berdiri di depan sana dan berceloteh ngalor-ngidul tentang dunia kepenulisan
yang saya sendiri masih sangat hijau di dalamnya. Setelah berturut-turut hingar-bingar
kedatangan Kang Abik, Narasi Keadilan, kedatangan Cahyadi Takariawan, dan
Pelatihan Jurnalistik di Unismuh usai, mendadak suasana menjadi senyap. Orang-orang
yang dulu pernah mengikuti pelatihan jurnalistik perlahan menghilang hingga
akhirnya, kalau bisa dikatakan, mati suri. Tulisan-tulisan yang dulu sempat
tersebar di dunia maya, di buletin dan tabloid yang sempat terbit secara
berkala hilang nyaris tanpa jejak. Saya tidak tahu sebabnya apa, tapi, melihat
fakta yang menyedihkan ini, saya hanya bisa merasa prihatin di dalam hati saja.
Dana bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan matinya tabloid dan buletin
tersebut di samping minat baca mahasiswa-mahasiswa di sini yang masih sangat
rendah. Namun di luar segala keterbatasan yang ada, mereka tak kunjung juga
bergerak, menyatukan persepsi, mengumpulkan kembali bakat-bakat terpendam yang
dulu pernah digali, dan melakukan sesuatu agar suara mereka kembali nyaring
hingga ke langit tinggi. Sampai detik ini saya masih menunggu, dan menunggu.
Saya tidak hendak menyalahkan siapapun di sini. Mungkin saya
pun mempunyai saham kesalahan yang cukup signifikan sehingga anak-anak muda itu
tak lagi menulis. Mungkin saya baru bisa menggerutu dan menyesali kepasifan
mereka untuk tidak lagi menulis seperti sedia kala. Saya lalu mengintrospeksi
diri dan mencatat beberapa hal yang perlu saya catat dan mulai bergerak secara perlahan. Saya
lalu menemui beberapa nama yang dulu sempat bersemangat menulis,
menghubungi beberapa orang yang dulu
pernah saya baca tulisan-tulisannya yang ternyata masih menyimpan semangat yang
sama, mengajak bicara beberapa orang yang masih ragu dengan kemampuan
menulisnya namun akhirnya berhasil saya yakinkan untuk mengusir jauh-jauh
keraguan itu dan mulai menulis, dan melakukan beberapa pertemuan kecil dengan
objek pembicaraan yang masih remeh dan mengawang-awang.
Meski usaha untuk memulihkan semangat ini masih sangat dini,
saya merasa senang dengan respon yang mereka berikan. Bagaimanapun, kita memang
harus memaksa diri kita untuk kembali mengatur prioritas-prioritas hidup
seiring dengan bekal-bekal yang telah kita dapatkan untuk meningkatkan kualitas
diri kita di masa silam. Bekal-bekal itu dijejalkan kepada kita bukan oleh
orang-orang sembarangan, namun dari orang-orang yang punya kapabilitas terbaik
di bidangnya. Tidakkah mereka merasa sayang saat bekal-bekal yang berharga itu
tertimbun di ruang-ruang yang kosong dan terlupakan sebab kegagalan mereka dalam
mengatur prioritas hidup mereka? Saya mengajukan pertanyaan yang cukup tajam
itu kepada mereka yang dijawab dengan respon yang cukup melegakan. Tapi, apa
cukup hanya merasa lega setelah disentil dan tidak melanjutkannya ke ranah amal
dengan cara bergerak dan mulai menulis? Hanya mereka sendiri yang bisa
menjawabnya secara jujur.
Saya memang bukan orang yang paling tepat untuk berpendapat
seperti itu. Tulisan ini sekaligus mengingatkan diri saya sendiri dengan
kelalaian demi kelalaian yang telah saya lakukan selama bertahun-tahun dan
karenanya saya ingin tidak hanya bangkit sendiri tapi juga mengajak
talenta-talenta itu untuk ikut bangkit bersama. Semoga FLP Banggai serta
anak-anak muda yang dulu pernah begitu semangat menulis dan menularkan semangat
itu kepada umat ini bisa kembali menemukan spirit menulis yang sempat hilang
itu. Nah, jadi, FLP Banggai, piye kabare?[wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar