Saya mengenal banyak orang cerdas di Luwuk ini. Itu mungkin
karena asupan ikan segar selalu jadi makanan mereka sehari-hari. Orang-orang
cerdas yang saya kenal itu biasanya punya kemampuan retorika yang bagus,
kemampuan analisa yang cemerlang, dan ide-ide yang terkadang out of the box. Orang-orang cerdas itu
bukan saja orang yang mengenyam pendidikan tinggi atau mereka yang punya status
sosial kelas menengah ke atas, tapi juga tukang ojek, buruh panggul di pelabuhan,
supir taksi, penjual sayur di pasar, bahkan seorang tukang kayu yang sekolah
dasar saja tidak tamat. Mereka yang saya sebutkan itu berasal dari lintas suku,
ras, dan agama. Berhubung kejadiannya di Luwuk ya saya sebut saja mereka
sebagai orang-orang Luwuk.
Salah satu tanda cerdasnya orang-orang Luwuk ini adalah
bentuk guyonan mereka yang bikin kita “mikir-dulu-sebelum-ketawa”.
Meski tak jarang guyonan itu berbau SARA atau nyerempet ke hal-hal yang erotis,
misalnya. Soal ini, saya menyimpan beberapa cerita yang masih saya ingat. Mungkin
kebanyakan orang Sulawesi memang cerdas-cerdas alami seperti itu. Coba saja
main ke grup bakusedu Gorontalo, Manado atau Luwuk, misalnya. Ada guyonan porno
atau sara tapi cerdas yang cukup bejibun di sana yang jika dikaji lebih lanjut
sebenarnya menunjukkan tingkat kecerdasan orang-orang itu meski dalam bentuk
yang bisa kita kritisi benar salahnya.
Akan tetapi, ada satu bagian yang cukup disayangkan sekaligus menjadi salah satu kelemahan: orang-orang di Luwuk tidak terbiasa menulis. Mungkin di antara mereka ada pula orang-orang yang suka menulis, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Oleh karena mereka tidak terbiasa menulis, yang bisa jadi tidak terbiasa pula membaca karena kurangnya bahan bacaan, membuat narasi mereka kadang tidak tertata, dan alur logika yang kerap sulit dibaca. Seperti serangan sporadis yang asal bunyi dan mudah dipatahkan. Orang-orang di Luwuk sepertinya lebih senang susupo alias bagosip alias bakarlota ketimbang menulis. Setidaknya ini yang saya alami ketika berdiskusi dengan orang-orang Luwuk atau, katakanlah, orang Sulawesi secara umum. Atau mungkin lingkup pergaulan saya yang masih sangat terbatas membuat saya punya kesimpulan seperti itu? Bisa saja. Oleh karenanya, mohon koreksi kalau apa yang saya tulis ini salah.
Sebagai contoh, saya pernah mengobrol dengan tetangga, seorang guru, sarjana, dan berniat mengambil tesis masternya. Waktu itu kami diskusi seru tentang asal-usul Kabupaten Banggai. Tetangga saya ini ternyata punya pendapat yang berbeda dengan buku-buku sejarah lokal yang selama ini beredar. Alasannya, ia mengkritisi sumber pengambilan sejarah itu yang kebanyakan berasal dari sumber sekunder dan tidak mengorek sampai ke sumber primer. Setelah berdiskusi panjang kali lebar sambil sesekali diiringi adu argumentasi, saya lalu bilang kepadanya “Kenapa bapak tidak menulis saja? Harusnya, sumber sejarah yang dituturkan secara lisan dan turun-temurun kepada bapak itu didokumentasikan dalam bentuk tertulis supaya bisa sama-sama kita kritisi dan diskusikan. Kalau hanya katanya dan katanya saja kan jadi sulit kita melakukan pengujian tingkat otentisitasnya”. Tetangga saya itu lalu terdiam dan sepertinya cukup terpengaruh dengan kata-kata saya, dimana akhirnya ia bertekad untuk menuliskan apa yang diketahuinya itu suatu hari nanti. Saya memegang janjinya itu dan bersiap untuk selalu mengingatkannya kelak, termasuk menawarinya bantuan bilamana perlu.
Kembali ke soal kelemahan.
Akan tetapi, ada satu bagian yang cukup disayangkan sekaligus menjadi salah satu kelemahan: orang-orang di Luwuk tidak terbiasa menulis. Mungkin di antara mereka ada pula orang-orang yang suka menulis, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Oleh karena mereka tidak terbiasa menulis, yang bisa jadi tidak terbiasa pula membaca karena kurangnya bahan bacaan, membuat narasi mereka kadang tidak tertata, dan alur logika yang kerap sulit dibaca. Seperti serangan sporadis yang asal bunyi dan mudah dipatahkan. Orang-orang di Luwuk sepertinya lebih senang susupo alias bagosip alias bakarlota ketimbang menulis. Setidaknya ini yang saya alami ketika berdiskusi dengan orang-orang Luwuk atau, katakanlah, orang Sulawesi secara umum. Atau mungkin lingkup pergaulan saya yang masih sangat terbatas membuat saya punya kesimpulan seperti itu? Bisa saja. Oleh karenanya, mohon koreksi kalau apa yang saya tulis ini salah.
Sebagai contoh, saya pernah mengobrol dengan tetangga, seorang guru, sarjana, dan berniat mengambil tesis masternya. Waktu itu kami diskusi seru tentang asal-usul Kabupaten Banggai. Tetangga saya ini ternyata punya pendapat yang berbeda dengan buku-buku sejarah lokal yang selama ini beredar. Alasannya, ia mengkritisi sumber pengambilan sejarah itu yang kebanyakan berasal dari sumber sekunder dan tidak mengorek sampai ke sumber primer. Setelah berdiskusi panjang kali lebar sambil sesekali diiringi adu argumentasi, saya lalu bilang kepadanya “Kenapa bapak tidak menulis saja? Harusnya, sumber sejarah yang dituturkan secara lisan dan turun-temurun kepada bapak itu didokumentasikan dalam bentuk tertulis supaya bisa sama-sama kita kritisi dan diskusikan. Kalau hanya katanya dan katanya saja kan jadi sulit kita melakukan pengujian tingkat otentisitasnya”. Tetangga saya itu lalu terdiam dan sepertinya cukup terpengaruh dengan kata-kata saya, dimana akhirnya ia bertekad untuk menuliskan apa yang diketahuinya itu suatu hari nanti. Saya memegang janjinya itu dan bersiap untuk selalu mengingatkannya kelak, termasuk menawarinya bantuan bilamana perlu.
Kembali ke soal kelemahan.
Kelemahan itu akan tampak jelas ketika kita membaca media
cetak lokal yang terbit di Luwuk semisal Luwuk Post, Media Banggai, Pantau,
atau media cetak lainnya yang datang silih berganti, yang salah satu kelemahan
utamanya adalah soal kualitas tulisan para jurnalisnya yang masih jauh dari
bagus. Saya tidak merasa sebagai orang yang punya kemampuan menulis dengan
bagus dan sempurna, hanya saja, mungkin selera baca saya memang cukup bagus, sehingga
saya bisa bilang seperti itu, hehe. Bahkan penulis-penulis bergelar master dan
doktor saja kadang masih tidak nyaman dibaca tulisannya seperti; terlalu kaku, mengandung
kesalahan ejaan, dan seperti sebuah salinan orang yang sedang pidato, bagaimana
pula dengan generasi mudanya yang hanya bangga dengan motor dan mobil mengkilap
yang dikendarainya ke sekolah, atau mereka yang hanya jago ketawa-ketiwi sambil
ngobrolin katanya dan katanya saja di kantin sekolah atau di pinggir-pinggir
jalan? Ini adalah sebuah situasi yang cukup memprihatinkan dan perlu diberikan
perhatian yang lebih dari cukup oleh pemerintah melalui dinas-dinas terkait. Apalagi
paska terbakarnya perpustakaan daerah beberapa waktu silam. Pemerintah daerah
perlu melakukan upaya keras agar dunia literasi di Luwuk khususnya dan
Kabupaten Banggai pada umumnya bisa bergerak ke arah yang lebih maju, dan bukan
sebaliknya.
Anda yang pernah atau sedang berada di Luwuk, cobalah
sesekali membaca media-media cetak yang terbit di kota ini, lalu baca bagian
demi bagiannya dengan perlahan dan perhatikan kesalahan-kesalahan mendasar yang
kerap berulang dalam tulisan-tulisannya. Bukan hanya hasil tulisan para
wartawan, kolom opini pembaca yang terdapat di salah satu media cetak tersebut
pun tak luput dari kesalahan mendasar tersebut, bil khusus opini yang dibuat
oleh penulis-penulis lokal. Terkadang ada kesalahan ejaan, kesalahan tanda
baca, sampai menulis artikel sepanjang dua atau tiga baris dalam satu paragraf
saja. Tapi tak melulu tulisan-tulisan para wartawan itu menjemukan dan tidak
enak dibaca, saya pun mengamati tulisan para wartawan itu yang punya kualitas
sangat baik dan enak untuk dibaca.
Terakhir, saya sedang berusaha untuk mengumpulkan bakat-bakat
yang terserak itu agar mereka kembali menajamkan pena dan mengaktifkan tuts
keyboard dengan cara menulis. Menulis apapun. Setelah beberapa pertemuan yang
kami langsungkan, meski dalam skala kecil, saya mulai melihat kembali nyala
semangat di mata mereka, dan mendorongnya agar semangat itu bisa
didistribusikan kepada teman-teman seperjuangan mereka lainnya. Ada yang
merespon ajakan ini dengan semangat, meski ada juga yang tidak. Tidak apa-apa. Namanya
juga mengajak. Soal keputusan itu merekalah yang membuatnya.
Itulah sebabnya pula, saya kerap memerhatikan tulisan demi
tulisan yang mereka buat baik di blog, koran, maupun di lini masa mereka. Saya
ungkapkan kesukaan saya pada satu bagian, dan saya sampaikan keberatan saya
pada bagian yang lainnya. Ini memang kerja yang tidak mudah. Saya bukan
siapa-siapanya mereka dan mereka juga bukan siapa-siapanya saya. Lagipula, saya
ini siapa? Penulis bukan. Wartawan juga bukan. Pemimpin redaksi apalagi. Saya
memang bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya. Saya hanya orang yang senang
mengamati dunia literasi di Luwuk, senang membaca satu dua buku, senang menulis
di laptop pribadi saya yang sudah berumur lima tahun dan baterainya sudah rusak
itu, sembari menitipkan harapan saya untuk perbaikan lini ini ke depannya.
Hanya kecintaan kepada dunia literasi dan harapan akan masa
depan daerah ini yang lebih beradab-lah, yang bisa mengeksplorasi
potensi-potensi terbaik daerah ini, yang kemudian menjadi salah satu motivasi
terkuat saya untuk bergerak di tengah keterbatasan yang ada. Untuk tetap mencatat
di tengah aroma apatisme dan individualisme yang menyengat kuat. Untuk tetap
menulis ketika belum ada seorang pun yang peduli dan memerhatikan
tulisan-tulisan kita. Tidak apa, memang inilah, sebagaimana kata Muhidin M.
Dahlan, jalan sunyi seorang (calon) penulis yang akan saya dan mereka tempuh
bersama-sama.
Bagaimana. Anda tertarik bergabung? [wahidnugroho.com]
Bagaimana. Anda tertarik bergabung? [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar