Dua puluh enam ribu buku adalah jumlah yang sangat banyak.
Jumlah itu bisa jadi belum termasuk manuskrip, dokumen, koleksi foto, serta
koleksi arsip-arsip bersejarah, belum lagi bila ditambah dengan data-data
penting, artifak, dan barang-barang seni lainnya yang menjadi bagian dari
koleksi Perpustakaan Daerah Luwuk. Namun ribuan barang yang tak ternilai harganya itu ludes nyaris
tanpa sisa ketika si jago merah melahap semua koleksi itu pada suatu malam
tanggal 9 Januari 2014 silam. Kerugian yang diderita ditaksir hingga mencapai miliaran
rupiah.
Siang itu, saya menyengaja datang ke Perpustakaan Daerah Luwuk
yang paska kebakaran hebat beberapa bulan lalu kabarnya dipindahkan ke salah
satu bangunan yang terletak di kompleks kantor Bupati lama. Setelah bertanya ke
satpam dan pegawai Pemda yang sedang mengobrol di dekat situ, saya diarahkan
untuk masuk ke bagian perijinan (BPPT atau Badan Pelayanan Perijinan Terpadu)
yang berseberangan dengan kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Saya lalu
masuk ke gedung itu lewat pintu belakang dan belok ke kiri. Tampak deretan
lemari besi yang ditempatkan sedemikian rupa di dalam ruangan yang cahayanya agak temaram itu. Aroma buku yang masih baru dan, sepertinya, baru saja keluar
dari plastik pembungkusnya, langsung menyeruak, menyapa indra penciuman saya.
Saya lalu masuk ke dalam ruangan besar itu dan mendapati dua
orang lelaki muda sedang memperbaiki meja dan kursi. Setelah bertanya ke kanan
dan ke kiri, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang bermake-up cukup
tebal dan menanyakan kepada saya, dengan cukup ramah, beberapa hal seperti asal
saya dan maksud kedatangan saya ke tempat itu. Saya jawab bahwa saya dari
kantor pajak dan rencananya mau mendaftar kartu perpustakaan sekaligus hendak
melihat koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan.
Ketika saya berbicara, ada seorang lelaki berpostur pendek
gemuk melewati kami dan ibu paruh baya itu langsung memintanya berhenti
sebentar. Ibu itu berkata tentang saya dan maksud kedatangan saya kepada lelaki
tersebut. Lelaki tersebut memandangi saya beberapa saat dan berkata bahwa,
paska kebakaran tempo hari, kegiatan perpustakaan belum berjalan normal,
termasuk pendaftaran anggota baru. Saya manggut-manggut mengerti. Lelaki itu
lalu menyilakan saya untuk melihat-lihat dulu kondisi perpustakaan yang memang
belum sempurna itu. Beberapa kardus buku teronggok di sudut-sudut ruangan yang
lantainya masih ngeres dan kotor di
beberapa bagian. Saya meminta diri untuk masuk ke salah satu ruangan yang
terdiri dari beberapa meja, kursi, dan lemari berisi buku. Lelaki dan ibu yang
tadi menyambut saya menyilakan saya dan mereka langsung berlalu.
Ruangan itu tidak terlalu besar. Ukurannya sekitar tiga kali
empat setengah atau lima meter. Pada dinding-dindingnya tersandar lemari buku
dari besi dan sebuah lemari kayu gantung yang terletak di sudut atas dekat
pintu. Seorang ibu muda berjilbab yang sedang duduk di ruangan itu tersenyum
kepada saya. Nunung, nama ibu itu. Ia merupakan salah satu staf di perpustakaan
ini. Setelah berbasa-basi sebentar, kami berdua lalu berbincang tentang kondisi
perpustakaan paska kebakaran.
“Selain puluhan ribu buku, dokumen, arsip, dan foto, ada
pula barang-barang bersejarah lain yang ikut terbakar”, terang ibu Nunung.
Saya bertanya, apakah pemerintah daerah memiliki back-up dari
arsip, buku, foto, dan dokumen yang hilang tersebut, ibu Nunung kemudian
berpikir sejenak dan berkata bahwa beberapa dari barang-barang itu mungkin
masih disimpan di Dinas Pariwisata atau di bagian Humas. Saat kami berdua
sedang bercerita, istri saya datang ke ruangan tersebut dan ikut berbincang. Saya
mungkin jadi orang yang lebih banyak memancing pembicaraan ketika itu. Barangkali
ibu Nunung keheranan bahwa di siang yang mendung itu tiba-tiba saja ada seorang
pegawai pajak, dan bukan orang asli Luwuk pula, yang banyak bertanya tentang
seluk-beluk perpustakaan dan arsip serta dokumen lawas yang berisi tentang
Luwuk dan sejarahnya.
Di tengah perbincangan, ibu Nunung undur diri. “Saya mau
menjemput anak saya”, katanya dengan ramah. Saya melihat jam di handphone dan menyilakan
beliau untuk pamit. Tak lama setelah ibu Nunung pergi, seorang staf
perpustakaan bernama Luthfi datang dan kami pun berbincang lagi tentang sejarah
Luwuk yang hilang. Tak lama kemudian seorang ibu bersama putranya yang masih TK
masuk ke ruangan tersebut. Setelah berbasa-basi, kami pun banyak mengobrol
tentang perpustakaan tersebut; rerata jumlah pengunjung harian, jumlah koleksi
buku, kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan, dan lain-lain. Satu hal yang
membuat kami prihatin adalah hilangnya koleksi buku, arsip, foto-foto, dokumen,
manuskrip, dan barang-barang bersejarah lainnya, yang berarti hilangnya riwayat
sebuah kota, sebuah peradaban dan manusia-manusianya dari pentas sejarah dunia.
Meski bukan orang Luwuk, saya sangat berharap ada aksi riil
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk mengumpulkan kembali arsip,
dokumen, foto, dan barang-barang sejarah lainnya yang masih tersisa dan,
mungkin saja, berceceran di tangan banyak pihak, agar generasi muda Luwuk di
masa depan tidak kehilangan jati diri mereka sebagai sebuah generasi dengan
sejarahnya yang panjang dan berliku. Semoga. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar