Saat
malam beranjak larut, kau hanya mendengar bisikan angin malam yang berhembus
pelan dan suara dengkuran anak-anakmu yang sudah terlelap. Nafas mereka ajeg,
teratur, dan tampak tenang. Sesekali mereka menggeliat, sebelah tangannya
menggaruk-garuk kepala mereka yang mungil, lalu kembali tenggelam dalam
tidurnya. Posisi mereka tampak seperti daun-daun yang berserak. Si sulung
tengkurap di sudut itu, si tengah terlentang di dekat sini, dan si bungsu
memeluk gulingnya yang berbau apak. Langit cerah, bintang gemerlapan, nyaris
tanpa awan.
Kau menatap
istrimu yang masih terjaga. Di tangannya ada sebuah buku yang cukup tebal, pandangannya
jatuh ke sana. Ia tampak sedang khusyuk membaca. Kau mulai memerhatikan setiap
detil darinya. Wajahnya seolah diselimuti cahaya, matanya bergerak kesini dan kesana.
Kau mulai memerhatikan rambutnya yang jatuh di bahunya yang mungil, membaui
aromanya yang harum, dan teksturnya yang halus. Kau hafal betul dengan aroma
dan rasa itu. Pandanganmu menjelajahi citranya satu demi satu. Perlahan-lahan,
kau mulai menikmati citra yang terindra dari makhluk manis yang telah jadi
milikmu seutuhnya itu. Tengkuknya yang dipenuhi surai harus membuat bulu
kudukmu meremang.
Kau memerhatikan
jemarinya yang lentik itu saat membolak-balik halaman buku yang sedang
dibacanya. Tiba-tiba saja, hatimu membisikkan kata-kata “Andai aku buku yang
sedang dipegangnya itu” tapi langsung saja kau bantah bisikan itu “Aku bisa
mendapatkan sesuatu yang jauh lebih intens ketimbang apa yang didapatkan dari
sebuah buku. Huh!”. Saat hendak membalik halaman buku, sekonyong-konyong kepala
dan lehernya yang serasi itu menyibak secuil bagian pribadinya. Bagian yang
tiba-tiba saja memecah konsentrasimu karenanya. Bagian yang, ah, bagaimana aku
harus menyebutnya? Sebut saja itu adalah secuil-bagian-pribadi-yang tersingkap.
Namun ia yang sedang kau perhatikan itu tampak abai dengan “sibakan” kecil itu
dan tetap sibuk dengan bacaannya. Beberapa detik lalu, sikap abai itu pun
menghilang saat ia menyadari ada secuil bagian pribadinya yang tersingkap. Ia lalu
melirik ke arahmu, tatapan matanya yang bening itu, dengan pandangan
tersipu-sipu, malu ia sepertinya. Dengan gerakan yang anggun, ia perbaiki pose
membacanya, ia tegakkan posisinya hingga secuil-bagian-pribadi-yang-tersingkap
itu pun ditutupnya. Tiba-tiba saja, dunia seperti berjalan dalam tempo yang
sangat lambat dan kau pun menikmati setiap sepersekian gerakan menutup
secuil-bagian-pribadi-yang-tersingkap itu dengan pandangan penuh arti. Nafasmu tiba-tiba
saja memburu, tapi kau sepertinya tak ingin terburu-buru. Kau masih ingin
menikmati citra yang menawan itu dengan seksama. Kau masih butuh beberapa waktu
lagi untuk berlanjut ke tahap selanjutnya.
Suara
jangkrik dari samping rumah mengisi malam yang hening dengan kerikannya yang
datang dan pergi. Kau mulai mendekati citra di hadapanmu, perlahan-lahan. Aroma
tubuhnya yang manis menggodamu untuk segera bertindak lebih jauh, tapi kau
mengurungkannya. Kau lalu menyentuh bagian dari tubuhnya yang sangat kau sukai,
begitu pula dengannya, perlahan-lahan. Ia mulai tampak kehilangan konsentrasi
dengan buku yang sedang dibacanya. Ia pun mengalihkan pandangannya dari buku di
tangannya kepada dirimu, tersenyum, senyum yang indah, dan memandangmu dengan
penuh arti. Sepertinya ia mengerti arti sebuah tatapan yang saling bersua itu
dan meletakkan buku yang sedang dibacanya itu. Ia lalu bangkit dari “singgasananya”,
pandangan matanya menuntunmu untuk segera mengikutinya. Kau pun ikut bangkit
dan mengikuti aroma manis yang menyeruak dari setiap lekuk tubuhnya yang
memanjakan pandanganmu. Lekuk itu tak terlalu jelas terlihat sebenarnya karena
dibalut dengan baju terusannya yang longgar dan terseret-seret di atas lantai rumahmu
yang, entah kenapa, terasa sangat dingin malam itu. Tapi kau hafal betul dengan
bentuknya, lekuknya, siluetnya, dimensinya, kekenyalannya, ah, kepalamu sudah
mulai dipenuhi dengan pikiran yang tak karuan. Ia lalu berbalik, menatap
matamu, menyentuh tengkukmu, dan tiba-tiba saja aromanya yang manis itu memenuhi
rongga jiwamu. Menyelusup ke bilik-bilik qalbumu.
Malam
makin larut. Suara-suara yang mewarnai malam perlahan mulai hilang satu demi
satu. Kau tak lagi mengabaikan suara-suara itu karena ada suara lain yang telah
merampas perhatianmu. Suara yang dengan menikmatinya telah menggelorakan hasrat
paling purbamu karenanya. Hasrat yang menghadirkan syurga di dunia indrawi. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar