Suasana jalan R.E. Martadinata masih tampak lengang. Waktu
Isya baru saja lewat beberapa menit yang lalu. Lampu-lampu merkuri berwarna
jingga menerangi beberapa ruas jalan yang biasanya tampak gelap. Dua orang wanita
paruh baya sedang duduk termenung di depan rumah kayu sambil menatap kosong ke
selat Peling yang tenang dan nyaris tanpa ombak. Seorang penjual bakwan Malang
sedang duduk di kursi plastik di atas trotoar yang menjorok ke laut, sementara
tangan kanannya yang bersandar pada meja kayu menopang salah satu sisi kepalanya yang kala itu mengenakan topi
bisbol lusuh. Belum ada satu pun pembeli yang mampir ke ‘warungnya’ malam itu.
Saya mengurangi laju mobil dan mencolek istri di sebelah agar
mengarahkan pandangannya ke sosok penjual bakwan Malang yang sedang mangkal di atas
trotoar tersebut dan berharap agar jualannya malam ini habis. Istri saya
mengaminkan doa itu dan kami meninggalkan secuil fragmen kehidupan tersebut
menuju masjid Al Ukhuwah, Tanjung, tempat yang jadi destinasi perjalanan kami
sekeluarga malam itu.
Ada sebuah kebahagiaan yang menyeruak dalam hati saya ketika
melihat pemandangan seorang tukang roti keliling yang sedang berjalan pulang
sambil memanggul kotak tempat ia menjual rotinya sudah kosong pada suatu sore. Atau
melihat seorang tukang bakso yang mie dan bahan-bahan bakso lainnya sudah tidak
tampak di dalam gerobaknya karena sudah habis. Atau saat melihat keranjang
tukang sayur keliling yang sudah nyaris habis, atau ketika melihat tukang
batagor yang kerap melintas di depan warung bubur kami sudah habis dagangannya.
Saya juga merasa gelo hati ketika
melihat dagangan seseorang tak kunjung habis padahal waktu sudah beranjak sore
atau larut. Atau saat melihat seorang perempuan tua sedang duduk termenung di
warung pisang gorengnya, matanya menatap kosong ke bangku-bangku warungnya yang
nyaris seharian belum terisi, sementara baru satu dua porsi pisang gorengnya
yang laku terjual. Saya dan istri suka mbatin
dengan nasib usaha teman-teman yang sepi dari penjual dan bahkan beberapa di
antaranya ada yang tutup karena satu dan lain hal. Menyaksikan peristiwa
seperti itu, membuat kesyukuran saya berlipat ganda dan menyuntikkan energi
sabar yang berlipat pula dalam diri saya dan istri.
Terkadang, kita perlu juga merasakan kepahitan dalam hidup, supaya
kelak ketika garis ikhtiar yang sedang kita jalani ini bertemu dengan takdir
kesuksesannya, kita bisa memaknai momen-momen yang pahit dan tidak menyenangkan
itu menjadi sebuah rasa syukur di dalam hati dan pelajaran hidup yang
berlimpah-ruah.
Saat menulis ini, Kilongan sedang diguyur hujan yang cukup
deras sejak menjelang Maghrib tadi. Istri saya baru saja membuatkan susu
coklat panas untuk saya. Sambil menatap rak di depan saya yang berisi deretan
buku-buku, saya jadi teringat dengan beberapa lapak yang kerap saya datangi
saat malam menjelang untuk memenuhi beberapa keperluan seperti warung nasi
goreng, warung sari laut, warung nasi kuning, penjual kaset di dekat pasar
Sentral, para kuli angkut di pelabuhan, para penjual bakso dan bakwan Malang
yang biasa mangkal di sepanjang pesisir pantai di Tanjung, dan penjual lainnya
yang sedang bergulat dengan takdir mereka masing-masing sambil menyelipkan doa
agar ikhtiar mereka malam ini mendapatkan hasil yang memuaskan dan hati yang
penuh kesyukuran saat menyadari bahwa kenyataan terkadang tidak seindah impian.
Aamiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juni 2014
0 celoteh:
Posting Komentar