Malam ini saya sedang berada di teras sebuah rumah yang
halamannya ditanami aneka pohon hias, kelapa gading, rambutan, dan mangga. Suasana
gelap pekat. Listrik baru saja mati beberapa saat yang lalu. Hanya ada suara
gerojokan air dari saluran irigasi yang membentang di depan rumah tempat saya
duduk saat ini, kerikan suara serangga dari pohon rambutan, nyanyian burung
gagak dari kejauhan, kepakan sayap nyamuk, dan suara angin yang bertiup cukup
kencang ditambah dengan suara rinai hujan membuat suasana malam jadi semakin
syahdu. Sesekali ada kendaraan yang melintas di jalanan yang beraspal mulus
itu.
Sejak hari Selasa (29/7) kemarin, saya dan seluruh keluarga
yang terdiri dari istri, ketiga putri, mamak, mamak mertua, adik ipar, dan kakak
ipar, serta seorang tetangganya mamak mertua saya, Mamamblo beserta seorang
cucunya, menerobos hujan yang setia mengguyur kota Luwuk sejak pagi menuju desa
Bonebae yang terletak di kecamatan Toili Barat. Di sana ada rumah adik dari mamak
mertua saya, Husain Panto, yang biasa kami panggil Om Rutu atau Papa Ece, yang
hendak kami datangi. Desa Bonebae adalah salah satu desa terluar yang ada di
pantai selatan kabupaten Banggai sebelum berakhir di desa Rata yang berjarak
kurang lebih lima belas kilometer dari desa ini. Kalau saya taksir, jarak Luwuk
ke Bonebae nyaris mencapai 200 kilometer dengan waktu tempuh sekitar empat
sampai empat setengah jam. Waktu tempuhnya agak sedikit molor karena kondisi
jalan yang rusak di beberapa titik seperti di desa Bonebalantak, Pantai
Pandanwangi dan Dongin. Saya agak lupa dengan titik kerusakan yang lain. Hanya saja,
paska dmamakkanya investasi migas di daerah ini beberapa tahun silam, ditambah
dengan wara-wirinya mobil-mobil besar dari sebuah perusahaan sawit yang cukup
besar, membuat sebagian jalan beraspal yang membentang sejak dari Batui sampai
dengan Toili Barat kerap rusak dan berlumpur. Sering terjadi kecelakaan akibat
rusaknya jalan dan kurang berhati-hatinya para pengendara yang kerap melajukan
kendaraannya dengan kecepatan nyaris maksimal. Saya sendiri nyaris bersenggolan
dengan beberapa kendaraan meski telah mengendarai mobil dengan sebaik mungkin.
Setelah menyiapkan beberapa keperluan termasuk kasur dan
sekian bantal untuk anak-anak, ditambah dengan barang-barang lainnya yang
berdesak-desakan di bagasi belakang dan kabin tengah, tujuh orang dewasa dan
empat orang anak-anak usia dua setengah sampai lima setengah tahun, mengisi
mobil Daihatsu Granmax saya yang sudah tampak klumut dengan debu. Selepas desa Bakung, mobil yang kami tumpangi
membelok ke kiri sebentar di jembatan Gori-Gori untuk menuju ke desa Sinorang,
tempat salah satu adik dari mertua saya tinggal, Tante Jani. Sawah menghijau yang
membentang di kanan kiri jalan dan bangunan CPP milik JOB Pertamina Medco
Tomori Sulawesi menjadi pemandangan yang mengisi lanskap di bawah naungan
langit siang yang berwarna abu-abu tua. Sampai di rumah tante Jani, saya dan
penumpang lainnya turun untuk berlebaran dan menyelesaikan hajat di kamar mandi
sementara mamak dan putri bungsu saya yang sedang tidur, Gendis, tetap di dalam
mobil.
Selesai dari tante Jani, kami kembali meneruskan perjalanan.
Memasuki perempatan ke Moilong dan HTI (Hutan Tanaman Industri), saya mengambil
jalur ke kiri, menuju ke Unit IV, tempat dimana Mamamblo dan cucunya akan
turun. Semakin ke dalam, hujan semakin deras dan jalanan semakin bertambah
buruk. Meski begitu, mata kami dibuai dengan pemandangan sawah di kanan kiri
dan bangunan-bangunan khas Jawa dan Bali yang terpancang di kiri kanan jalan. Daratan
Toili, Moilong, dan Toili Barat merupakan kawasan yang didiami oleh penduduk
Trans. Di wilayah yang datar dan luas ini, terdapat banyak sekali etnis
seperti: Jawa, Sunda, Bali, Lombok, Bugis Bone, dan beberapa suku asli Saluan. Saya
sendiri belum pernah membaca konfigurasi wilayah ini secara lengkap. Hanya saja,
suasana pedesaan di Jawa dan Bali begitu kental di wilayah ini seperti
orang-orang bertopi caping yang naik sepeda ontel sambil membawa rumput pakan
ternak di belakang, ornamen-ornamen khas Bali seperti Pura dan tempat
peribadatan yang nyaris selalu ada di halaman depan penduduk Bali, dan suasana
pasar yang dipenuhi dengan logat-logat medok Jawa, Sunda, Bali dan Lombok. Seorang
teman pernah berujar bahwa jika dia sedang kangen dengan suasana desa di Jawa,
maka dia akan melancong ke Toili dan menekuri jalanannya demi mengusir rasa
kangen itu. Saya yang entah sudah berapa kali ke Toili pun setuju dengannya.
Suasana persawahan di Toili |
Usai dari Unit IV, perjalanan kami berlanjut ke Unit X. Adalah
rumah ipar mamak mertua saya yang jadi destinasi selanjutnya. Adik perempuan
dari ipar mamak mertua saya itu yang bekerja di warung Bubur Ayam Tompotika
kami yang biasa kami panggil Cucu. Selama perjalanan, istri saya kerap
berkoordinasi dengan Cucu agar kami tidak nyasar dan salah jalan. Berhubung saya
cukup familiar dengan jalan-jalan Toili, saya tidak merasa kesulitan dengan
arah yang ditunjukkannya.
Ornamen Hindu Bali di Toili Sumber: http://memoirs-musafir.blogspot.com/ |
Saat mendekati patokan berupa pintu air, saya melihat Cucu
sedang berdiri di tepi jalan. Saya lalu membelokkan mobil ke rumah yang
dipenuhi dengan tanaman bunga Turi dan tanaman pagar lainnya. Sekitar satu
setengah jam kami menghabiskan waktu di rumah itu. Sambil menikmati es campur
dan ikan malalugis bakar dengan dabu-dabunya
yang pedas nikmat, kami bertukar kabar tentang banyak hal. Selesai makan, kami
lalu berpamitan untuk meneruskan perjalanan dan akhirnya sampai di desa Bonebae
sekitar satu jam dua puluh menit kemudian.
Selama dua hari satu malam di desa Bonebae, hujan nyaris tak
pernah berhenti turun. Langit nyaris selalu berwarna abu-abu tua. Sesekali hujan
memang berhenti namun tak lama kemudian ia turun lagi dengan deras. Rencananya kami
sekeluarga akan pasiar ke Bendungan
Mentawa, salah satu lokasi yang kerap dijadikan objek wisata oleh warga lokal
saat lebaran selain Pantai Pandanwangi dan Pantai Dongin. Bendungan ini adalah
wilayah “kekuasaan” Om Rutu dimana beliau adalah pegawai penjaga pintu air di
wilayah itu. Sayang, kondisi jalan yang buruk karena hujan yang sering turun
dan tidak adanya Om Rutu karena sedang ada urusan di Bualemo, membuat saya
mengurungkan rencana jalan-jalan ke Bendungan yang terkenal dengan Jembatan
Goyang-nya itu. Semoga saat mengantar keberangkatan Om Rutu ke Tanah Suci pada
bulan Agustus nanti cuacanya bisa lebih cerah sehingga kami bisa berkunjung ke
bendungan itu.
Oh iya, menu makanan selama di desa Bonebae full ikan. Desa Rata
yang berbatasan dengan desa ini adalah daerah yang terkenal sebagai daerah
penghasil ikan dengan kualitas yang sangat bagus. Saya sendiri pernah
bersilaturahim ke desa itu sebanyak dua kali: kali pertama saat mendatangi
resepsi pernikahan adiknya teman di tahun 2007, dan kali ke dua saat mengantar
bantuan banjir kira-kira di tahun 2008. Sayang saya tidak menyimpan
dokumentasinya.
Sawah di belakang rumah di desa Bonebae |
Ngomong-ngomong soal desa Bonebae, ini adalah kunjungan kali
ke empat saya selama di Luwuk. Kali terakhir ke desa itu adalah pada bulan
September tahun 2013 yang lalu. Sebenarnya ada banyak lagi yang ingin saya
tulis, hanya saja, kue karas-karas ini telah menggoda saya untuk berhenti
mengetik dan menikmati rasanya yang gurih-gurih nyoi, eh, krispi. Insya Allah
akan disambung lagi di postingan selanjutnya, deh. Insya Allah. Taqabalallahu
minna wa minkum. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H dan Idul Syahid bagi
saudara-saudara kami di Gaza. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2014