Waktu kecil dulu, saya pernah berniat untuk menulis buku
harian. Nggak tau kenapa, kayaknya kok keren aja gitu kalo bisa punya buku
harian sendiri. Waktu masih kelas enam SD, saya pernah beli buku tulis kosong
yang harganya paling murah, saya sampul dengan kertas cokelat, lalu saya beri
nama dan tulisan basmalah dengan huruf arab yang jelek sekali di halaman
pertama. Saya sering menanti-nanti waktu malam supaya ada materi yang bisa saya
tuangkan ke dalam buku harian itu. Perjalanan saya dari rumah ke sekolah,
pulang ke rumah dengan ngompreng mobil bak terbuka, atau sepeda bmx merah antik
saya yang digantikan dengan sepeda federal baru berwarna ungu. Saya kadang
menulis tentang teman-teman yang pernah berkelahi dengan saya di sekolah,
jajanan dan mainan di sekolah, dan juga beberapa tulisan pendek tentang
kesan-kesan saya terhadap teman-teman sekelas. Mungkin karena saya cepat bosan,
aktivitas itu saya tinggalkan. Buku harian yang sempat jadi teman saya dalam
kurun waktu yang tak seberapa lama itu hilang entah kemana. Waktu SD pula saya
dipercaya untuk jadi juru tulis di kelas. Biasanya saat guru pergi saya akan
diberikan sebuah buku untuk disalin di papan tulis. Kebiasaan itu masih
berlangsung sampai saya SMP.
Saat masuk SMP, saya memulai lagi aktivitas mencatat di buku
harian. Sebuah buku tulis tipis lalu menjadi teman coret-coret saya waktu itu. Kehadiran
asmara di masa belia turut menyuntikkan energi menulis saya. Saya jadi akrab
dengan lagu-lagu romansa, puisi, dan juga cerita-cerita romantis. Saya suka
menulis lirik-lirik lagu yang saya suka. Saya juga menulis, katakanlah, surat
cinta. Dulu saya sempat menyimpan surat-surat balasan si dia dalam sebuah
tempat khusus, namun belakangan saya harus membuang surat-surat itu demi
kebaikan saya dan keluarga saya.
Surat-surat itu tak melulu berbentuk surat yang lazim kita
kenal, karena kadang hanya berbentuk sepotong kertas dengan tulisan merah
jingga di dalamnya, atau sekedar bertukar kabar. Saat-saat sebelum saya
memutuskan untuk membuang surat-surat itu, saya meluangkan waktu sejenak untuk
membacanya satu demi satu dan tersenyum-senyum saat mengingati masa-masa belia
itu.
Waktu SMA, saya juga masih suka nulis. Termasuk surat-surat
untuk si dia. Saya tak punya sahabat pena meski dulu sempat kepingin punya. Tapi
saya kurang punya nyali untuk menjalin sahabat pena. Meski begitu, saya suka
meringkas buku-buku yang pernah saya baca, atau menulis cerita-cerita sambil
lalu. Semua tulisan itu sudah hilang. Sayang
sekali, memang. Di antara semua mata pelajaran yang saya suka, Bahasa
Indonesia dan Sejarah adalah mata pelajaran yang saya suka. Namun demi mengejar
gengsi, persetan dengan gengsi, mau tak mau saya terpaksa mempertajam kemampuan
eksakta saya agar bisa bersaing dengan teman-teman di kelas. Waktu mau lulus kelas dua SMA dan masuk ke penjurusan, saya
sempat berkata kepada mamak bahwa saya mau masuk kelas bahasa ketika itu. Saya
tertarik belajar Bahasa Jerman karena di sekolah saya dulu ada seorang guru sosiologi
yang jago bahasa Jerman. Tapi ternyata peminat kelas bahasa di angkatan saya
sangat kurang, sehingga saya terpaksa memilih jurusan IPA. Meski begitu, saya
suka mampir ke perpustakaan sekolah, baca-baca buku cerita, koran, majalah,
atau sekedar buat nongkrong-nongkrong selain tidur-tiduran di mushala sekolah.
Lulus dari SMA, saya melanjutkan aktivitas halaqah
saya yang belang-bontang saat masih sekolah. Kali ini dengan seorang ustadz yang cerdas dan lulusan timur tengah. Beliau selalu
mendorong kami, para mutarabbinya ini, untuk menulis materi yang digilir setiap
pekannya. Waktu itu buku yang jadi bahasan materi kami adalah Hadits Arba’in
dan Afatun ‘Ala Thariq. Saya termasuk yang paling menunggu-nunggu giliran untuk
memberi materi karena di situ saya jadi bisa menulis artikel berdasarkan buku-buku
referensi yang ada. Saat kuliah ini pula saya berkenalan dengan blog. Waktu itu
masih di friendster. Tak lama, saya juga mendaftar di multiply. Tapi awalnya
saya rutin mengisi blog friendster saya. Nanti di tahun 2005 saya baru
mengaktifkan multiply saya.
Saya nggak suka mengkopas tulisan orang lain untuk saya
taruh di blog, kalopun ada paling hanya satu dua saja. Saya lebih suka menulis sendiri. Meski jelek dan ngalor-ngidul
tapi ada kepuasan tersendiri saat membaca tulisan hasil karya saya. Tulisan-tulisan di blog itu nggak selalu bertema serius seperti tulisan-tulisan tentang materi keislaman,
tapi juga kadang soal kondisi ruhiyah, kadang soal hubungan pertemanan, kadang
soal politik, dan, yang pasti, soal cinta. Saya punya teman yang cukup sering
berkorespondensi saat masih nongkrong di friendster dulu. Iya, dia perempuan. Sebut
saja namanya Mawar. Khusus di bagian gak usah dilanjut ya, hehe..
Waktu masih kuliah ini juga, saya diamanahi sekelompok anak
SMA untuk saya bina. Mentoring namanya. Menjadi mentor adalah salah satu wadah
yang sangat cocok untuk menyalurkan hobi menulis saya. Maka jadilah mentee-mentee
saya itu dulu saya kirimi tulisan-tulisan pendek, biasa berisi nasihat-nasihat.
Saya juga berkorespondensi dengan beberapa teman ikhwan baik di dalam dan di
luar negeri, termasuk juga berkorespondensi dengan beberapa akhwat yang saya
kenal melalui surat. Dan, ya, surat-surat dari para akhwat itu pun juga sudah
saya musnahkan awal tahun 2013 yang lalu saat saya pulang ke rumah. Saya tidak
memungkiri bahwa dulu saya pernah dekat dengan beberapa orang akhwat dan kami
kerap berkorespondensi melalui surat atau melalui pesan pribadi. Akhwat-akhwat
itu sudah berkeluarga semuanya, sehingga saya tak perlu menyebut nama-nama
mereka dengan alasan maslahat. Saya menganggap semua hal yang terjadi pada diri
saya itu sebagai bagian dari episode kehidupan yang sudah lewat. Episode-episode
yang turut mendewasakan saya dan membuat senyum tersungging saat mengingatinya.
Menyadari bahwa saya dulu pernah melakukan hal yang konyol, berisiko, dan juga
mungkin memengaruhi stabilitas hati saya. Tapi itu semua sudah lewat dan saya mencukupi diri untuk menuliskannya
pada titik ini saja.
Waktu kuliah ini saya membaca banyak buku lebih banyak karena koleksi buku-buku di perpustakaan kampus dan perpustakaan MBM yang melimpah. Saya juga rutin membaca majalah gratisan di Fatahillah MBM, jurnal,
artikel, dan berinteraksi dengan banyak orang. Bisa dibilang, “kepala” saya
terbuka saat di dunia kuliah karena saya berhadapan dengan dunia yang sama
sekali berbeda saat masih di bangku sekolah dulu. Saat saya diamanahi sebagai
ketua Badan Legislatif Mahasiswa dan karenanya mendapatkan jatah kunci
sekretariat yang ada komputernya, membuat saya jadi lebih sering mengetik
tulisan di word ketimbang menulisnya di buku tulis seperti yang sudah-sudah. Ada
banyak draft tulisan saya di komputer itu yang sayangnya tak sempat saya
selamatkan semua karena keterbatasan fasilitas. Kala itu flashdisk masih
menjadi barang mahal dan belum terjangkau bagi saya.
Sampai detik ini, aktivitas menulis di blog boleh dibilang
menjadi salah satu aktivitas yang bisa saya pertahankan dengan sekuat tenaga
dalam kurun waktu yang panjang. Memang, belum ada buku yang lahir dari
aktivitas ini lebih karena sayanya aja yang kurang PD. Mungkin saya masih
terjebak di zona nyaman menulis blog tenimbang buku yang mengandung
pertanggungjawaban tersendiri. Meski begitu, sejak kuliah saya sudah berniat
menulis buku. Sebuah kerangka buku pernah saya tulis dengan sangat jelek sekali
tercatat dengan runut di buku catatan saya yang sudah hilang entah kemana. Saya
juga menuliskan beberapa referensi yang harus saya lahap sebelum buku itu mulai
ditulis. Namun lagi-lagi karena aktivitas kuliah dan organisasi yang cukup
padat membuat impian itu hanya tinggal impian. Saya sempat mencoba bangkit untuk
coba menulis buku kembali dengan tema yang berbeda tapi gagal. Belum lagi
motivasi kuliah saya yang sangat rendah membuat nilai indeks prestasi saya
kembang kempis setiap semesternya. Masa kuliah bisa dibilang masa suram dunia
akademik karena saya jujur aja emang gak terlalu semangat kuliah akuntansi dan
perpajakan, hehe.. Tapi alhamdulillah, Dia punya rencana lain untuk saya.
Itulah sebabnya, saya tidak pernah mengaku diri sebagai
lulusan STAN, tapi lolos, karena memang saya lulus dengan sangat susah payah
ketika itu. Tanpa bantuan teman-teman yang sabar membimbing mata kuliah
akuntansi dan juga belas kasihan dosen pembimbing, saya mungkin akan bernasib
lain. Tapi, ya itu tadi, Allah mungkin sedang menyiapkan rencana lain untuk
saya jadi ya dinikmati saja.
Nilai IP saya yang terendah kedua seangkatan spesialisasi
Pajak mengakibatkan saya terdampar di Luwuk, Sulawesi Tengah. Tapi di sini,
semangat menulis saya jadi meninggi. Saya jadi banyak menulis demi mengusir
suntuk dan bosan berada di tanah rantau. Saya sempat berencana membuat semacam
direktori rumah makan kaki lima di kota Luwuk di blog, tapi urung karena satu
dan banyak hal. Saya juga sempat punya ide untuk menulis hasil jalan-jalan saya
selama di Luwuk ke dalam blog, tapi tak maksimal.
Sampai detik ini, saya masih berusaha untuk menjaga stamina
menulis untuk tetap menyala, meski dengan susah payah. Saya memang masih payah
sekali. Seorang ustadz menantang saya untuk menulis buku dan tantangan itu
masih saya simpan sampai detik ini. Tantangan yang selalu terngiang dan sedang
berusaha saya realisasikan. Saya tak mau berjanji muluk tapi saya akan berusaha
memenuhi tantangan sang ustadz tersebut demi kebaikan saya sendiri. Membuat pengakuan
dalam tulisan ini sebenarnya tidak mudah buat saya karena ada banyak hal yang sebelumnya
saya simpan kini harus saya ungkapkan demi menghancurkan dinding besar yang
menghalangi tercapainya impian saya untuk memiliki buku sendiri. Saya pun sudah
bersiap andai istri saya membaca catatan ini lalu ia menghampiri saya dengan
segepok pertanyaan. Tidak masalah. Saya yakin ia akan mengerti bahwa suaminya
ini memang bukan lelaki bermasa lalu sempurna dan tanpa cela.
Gerimis yang sejak pagi mengguyur bumi Luwuk sudah sirna. Maghrib
masih lama, tapi waktu Ashar sudah mendekat. Tiba-tiba saja, saya rindu dengan
kampung halaman, rindu dengan bapak. Semacam cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Semoga Allah beri kekuatan kepada diri ini untuk menaklukkan
kelemahannya sendiri. Kelemahan yang telah menggurita di dalam hati dan
karenanya sulit diusir pergi. [wahidnugroho.com]
Tanjung, Juli 2014
0 celoteh:
Posting Komentar