Jarum jam merampat perlahan ke angka empat, pertanda waktu
shubuh semakin mendekat. Langit malam tampak kelabu. Teluk Lalong tampak sepi.
Dunia begitu hening. Bahkan suara tiupan angin dingin yang menembus sela-sela
teralis besi di lantai dua Masjid Agung An Nur Luwuk ini terdengar begitu
jelas. Dari arah mihrab, terdengar suara isak tangis dari jamaah shalat witir
yang sedang membaca qunut nazilah. Sudah lebih dari setengah jam sang imam
membacakan doa qunut itu. Seingat saya, mereka memulai shalat witir yang hanya
satu rakaat itu pada pukul tiga lewat lima belas menit dan sekarang waktu sudah
menunjukkan nyaris pukul empat.
Ramadhan tahun 1435 hijriyah adalah kali ke 8 saya berpuasa
di Luwuk, dan kali ke 7 saya mengikuti i’tikaf secara rutin bersama teman-teman
PKS di sini. Kali pertama saya beri’tikaf di Luwuk adalah tahun 2008 yang lalu.
Lokasinya di lantai 2 Masjid Agung. Meski sempat berpindah ke Masjid Al Ukhuwah
Tanjung di tahun 2011, acara yang selalu dihelat olet komunitas tarbiyah di
Luwuk ini tak pernah sepi dari peserta. Apalagi setelah pusat kegiatan kembali
diadakan di Masjid Agung, pesertanya dari hari ke hari semakin bertambah saja,
bil khusus di malam-malam ganjil dan utamanya di malam ke dua puluh tujuh.
Acara i’tikaf di Masjid Agung ini diadakan oleh DPD PKS
Kabupaten Banggai dan pesertanya berasal dari lintas usia, profesi, dan latar
belakang mulai dari tukang ojek, PNS, pedagang pasar, supir taksi,
wiraswastawan, anggota dewan, sampai anak-anak kecil. Selama mengikuti i’tikaf,
saya menyaksikan orang-orang yang berbeda setiap tahunnya meski ada beberapa
yang merupakan peserta tetap. Ada juga yang dulu masih anak-anak sekarang
tingginya sudah melebihi saya. Ada yang dulu tidak segemuk saya dan sekarang
justru sama gemuknya dengan saya (abaikan!!). Kaum pria tinggalnya di lantai 2
Masjid Agung, sedangkan kaum perempuan tinggalnya di ruangan menara.
I’tikaf dimulai sejak Ramadhan malam ke-21 dan berakhir pada
adzan Maghrib sebelum takbiran. Dari tahun ke tahun, agendanya selalu
berubah-ubah: pernah ada kajian tahsin, kajian hadits, kajian sirah, dan kajian
kitab klasik. Tapi ada satu agenda utama yang sudah menjadi tradisi sejak lima
tahun belakangan: qiyamulail 3 juz per malam. Adalah Ustadz Iswan, ketua DPD
PKS Kabupaten Banggai, yang pertama kali mengajak para peserta i’tikaf
melakukan aktivitas itu dimulai tahun 2010 yang lalu. Ustadz lulusan Al Azhar
Mesir yang juga anggota legislatif DPRD Kabupaten Banggai terpilih untuk
periode 2014-2019 itu yang selalu menyemangati kami, para peserta i’tikaf,
untuk mampu melakukannya.
Peserta Shalat Malam |
Waktu awal-awal dicoba rasanya memang berat. Bayangkan saja,
kita harus bangun jam 1 dini hari, lalu mengambil wudhu dalam udara yang cukup
dingin dan shalat qiyamulail 8 rakaat plus witir 1 atau 3 rakaat. Kalau ditotal,
shalat lail itu memakan waktu hingga 3 jam lamanya. Tak jarang, meski malam
cukup dingin, tapi keringat mengucur deras. Saya sendiri lebih sering bolong-bolong
mengikutinya. Kadang saya bangun jam 2, kadang bangun jam setengah 3, dan
pernah juga saya baru bangun menjelang sahur hahaha..
Setelah witir, kami akan sahur bersama. Dulu kami harus
membayar sejumlah iuran untuk ini, tapi semenjak ada seorang donatur yang baik
hati dan bersedia menanggung seluruh urusan per-i’tikaf-an, semua urusan teknis
terkait makan, minum, buah dan suplemen lainnya menjadi tanggungan beliau. Semoga
Allah membalas kebaikannya dengan sebaik-baik balasan.
Beberapa peserta I'tikaf |
Oh iya, khusus i’tikaf tahun ini saya sengaja mengambil cuti
3 hari sebelum lebaran demi mengejar beberapa target yang harus saya capai. Saat
i’tikaf di tahun ini pula, saya menyengaja membawa kertas HVS polos dari rumah.
Kertas itu rencananya untuk mencatat hal-hal yang menarik sepanjang pelaksanaan
i’tikaf sekaligus untuk kembali membiasakan menulis dengan tangan yang sudah
lama sekali tidak saya lakukan. Selain kertas dan pulpen, saya juga membawa dua
buah buku: New Life-nya Orhan Pamuk dan The History of Islamic Political
Thought atau Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi ke Masa Kini-nya Antony
Black. Tak lupa, saya membawa tiga buah mushaf: mushaf Al Burhan untuk dibawa
wara-wiri masjid dan kantor, mushaf khusus hafalan untuk mengimami qiyamulail,
dan mushaf hibah dari DPD PKS Banggai milik istri saya untuk dibaca dalam
durasi yang lama karena ukuran hurufnya yang lebih besar daripada dua mushaf
saya yang lainnya.
Selain barang-barang itu, saya juga membawa satu buah
bantal, kasur kecil – yang belakangan ditukar selimut tebal oleh istri saya
karena dia dan anak-anak juga ikutan i’tikaf –, varsity, sarung, gamis dan
barang-barang pribadi lainnya seperti odol, sikat gigi, parfum, obat flu dan
suplemen. I’tikaf tahun ini juga menjadi kali pertama saya mengajak keluarga. Bukan
kenapa, sebelumnya, anak-anak saya masih terlalu kecil untuk diajak i’tikaf dan
jarak rumah saya ke Masjid Agung yang cukup jauh menjadi kendala selanjutnya. Belum
lagi kendala kendaraan motor matic kami yang tak bisa memuat penumpang dan
segala barang-barangnya secara maksimal hehe..
Di sela-sela i’tikaf, ada beberapa teman yang ‘menyambinya’
dengan menjadi pengelola Ziswaf. Tahun ini kami kembali bekerja sama dengan
PKPU Palu. Meski tidak disiapkan dalam jangka waktu yang cukup panjang,
alhamdulillah respon masyarakat yang menyalurkan bantuannya kepada kami cukup
banyak. Seingat saya nyaris mencapai angka 30 juta totalnya. Saat berkunjung ke
rumah salah satu peserta i’tikaf di hari lebaran, beliau berkata bahwa segala
tetek-bengek ziswaf baru selesai jam 1 malam dan teman saya yang bertugas
sebagai pengelola, Iksan, langsung meluncur ke Toili (sekira 100 km dari Luwuk)
untuk menyusul keluarganya berlebaran di sana. Benar-benar kerja yang luar
biasa.
Meski pesertanya agak berkurang di 2 malam terakhir karena
sebagian sudah ada yang pulang kampung, jumlah jama’ah i’tikaf di malam 28 masih
di angka 20-an. Bahkan di malam 29 ada beberapa peserta yang baru datang. Saya
sendiri baru menyelesaikan i’tikaf pada shubuh hari ke 29 dan langsung mengajak
keluarga saya pulang. Kami pun mengemasi beberapa barang yang kami bawa ke
dalam mobil dan segera meluncur menembus gerimis menuju Kilongan. Jalan-jalan
tampak sepi. Beberapa warung non permanen yang ada di sisi jalan sudah banyak
yang dibongkar. Sampah-sampah di area pasar malam menumpuk di sana-sini. Saya melajukan
mobil seraya berdoa agar ramadhan yang tak optimal kemarin diterima di sisiNya
dan berharap agar disampaikanNya umur ini ke ramadhan yang akan datang. Aamiin
yaa mujiib as saailiin. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2014
Baru pulang dari Toili Barat
Baru pulang dari Toili Barat
0 celoteh:
Posting Komentar