Ada yang berbeda dari perjalanan
Ramadhan tahun ini. Selain hingar-bingar perhelatan Piala Dunia di Brazil yang
baru akan berakhir menjelang akhir bulan nanti, Ramadhan tahun ini juga
disinggahi oleh riuh-rendah ajang pemilihan presiden yang akan berlangsung
beberapa hari lagi. Di bulan yang mulia ini, kita tak hanya disuguhi oleh
pemandangan masjid-masjid yang ramai dengan jama’ah yang membludak hingga ke
emperan, kajian keilmuan yang banyak dilangsungkan, tangan-tangan yang makin
ringan berbagi rezeki, lisan dan perilaku yang lebih terjaga, tapi juga
rivalitas yang terjadi di lapangan sepakbola dan di antara dua kandidat calon
presiden Indonesia termasuk pendukung-pendukungnya.
Khusus tentang pemilihan
presiden, ada banyak kejadian yang mengiringi hajatan besar bangsa ini yang
bisa kita lihat di pelbagai media, baik media mainstream maupun media non
mainstream seperti blog dan laman media sosial. Aksi saling hujat, fitnah yang
bertebaran, bahkan terjadi serangan fisik seperti yang dialami oleh kantor
berita TV One dan kantor DPD PKS Karawang oleh pendukung salah satu calon presiden.
Ramadhan tahun ini memiliki ujian tersendiri yang perlu dicermati.
Pada titik ini, kita kerap
bertanya-tanya, apa sebenarnya efek yang paling signifikan bagi kita dari
kedatangan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini? Apakah efek signifikan itu
hanya berupa berkurangnya lingkar perut, pameran baju baru, rumah yang catnya
lebih kinclong, mobil baru yang mengkilap, atau sekedar menyibukkan diri dengan
agenda buka puasa bersama yang kerap berakhir antiklimaks dan sekedar jadi
ajang kumpul-kumpul tanpa makna?
Bagaimana dengan kualitas
spiritual kita; bacaan Qur’an kita yang tak kunjung membaik, hafalan surat yang
makin lama makin berkurang dan bukannya bertambah, kemurahan hati kita kepada
sesama, menjaga jiwa dan lisan dari hal-hal yang dapat mengotorinya, adakah itu
semua jadi agenda utama kita di Ramadhan tahun ini? Atau ia terlupa dengan
keramaian di ajang nonton bareng
Piala Dunia di kafe-kafe yang buka hingga fajar atau keributan di ajang
Pemilihan Presiden yang merembet di kehidupan nyata? Perlahan tapi pasti,
spirit Ramadhan yang harusnya terpelihara berangsur menghilang dan karenanya
asing dengan keseharian kita. Tak heran jika Ramadhan kali ini hanya sekedar
menahan lapar dan haus saja.
Memang, pandangan tentang
Ramadhan tak selalu sufistik, karena ada banyak peristiwa penting dalam sejarah
umat Islam yang terjadi di bulan yang mulia ini seperti; perang Badar Qubra,
Penaklukkan kota Makkah (Fathu Makkah), pernikahan Ali dan Fathimah, dan
peristiwa-peristiwa besar lainnya yang tercatat dalam kronik sejarah umat ini.
Itulah sebabnya, Ramadhan seharusnya tidak dekat dengan kelesuan dan kelemahan,
tapi justru dengan kerja keras.
Kita patut merasa bersyukur
dengan kondisi daerah ini yang sangat aman dan kondusif untuk memaksimalkan
ibadah detik-detik Ramadhan kita menjadi lebih bermakna. Karena di sudut bumi
yang lain, kita dapati berita memilukan tentang serangan pasukan Zionis Israel
ke pemukim Palestina di Gaza yang mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan.
Gaza, kota para pejuang itu, telah lama mengalami pemboikotan dari segala
penjuru mata angin: listrik diputus, air diputus, bahan makanan terbatas,
ditambah dengan ancaman misil dan peluru yang mengiringi langkah mereka. Belum
lagi dengan kisah pelarangan puasa oleh pemerintahan komunis Tiongkok oleh kaum
muslimin di Xinjiang. Kita yang masih berleha-leha dan tidak memaksimalkan
Ramadhan kali ini di tengah pemandangan kehidupan yang begitu terserak dalam
keseharian kita harusnya merasa malu.
Kini, di hadapan kita membentang
sebuah hajatan besar yang menentukan siapa sosok yang akan memimpin bangsa yang
besar dengan permasalahan yang besar pula ini. Anis Matta, Presiden PKS,
berkata bahwa, Indonesia yang besar ini butuh “otak besar” untuk memahaminya
secara utuh. Mari hilangkan caci maki dan prasangka kepada sesama anak bangsa.
Mari berdemokrasi secara sehat dan mengesampingkan kepentingan-kepentingan
sesaat. Siapapun yang akan terpilih, suka atau tidak, ia akan menjadi pemimpin
bangsa ini. Oleh karenanya, di antara doa dan munajat kita yang tak tersela,
mari selipkan doa agar negeri ini dianugerahi pemimpin yang dapat membawa
negara ini menjadi baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur.
Mari kembali merajut asa dan
cita, mari kembali mencari spirit Ramadhan yang sempat hilang, agar Ramadhan
kali ini tak lagi diisi dengan sumpah serapah, caci maki, dan aksi-aksi
vandalistik yang merugikan sesama anak bangsa, tapi dengan riuh rendah tilawah
Qur’an, kesantunan kata-kata, kajian-kajian keislaman, saling berbagi antar
sesama, dan prasangka baik kepada semua entitas bangsa.
Terakhir, sehubungan dengan
pemilihan presiden yang lewat di serambi Ramadhan kita, saya hendak mengutip
nasihat salah satu guru bangsa, KH. Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa
Aa Gym. Beliau berkata, “Dukung mendukung adalah wajar, beda pendapatpun wajar.
Tapi saling membenci dan saling menyakiti tak ada gunanya bahkan merugikan kita
semua. Kita harus tetap jernih, proporsional, tak boleh berlebihan menyikapi
episode pilpres ini, jangan sampai merusak akhlaq, memutuskan silaturahim dan
menurunkan iman. Ingat yang menjamin rizki, keselamatan, kebahagiaan dan
kemuliaan dunia akherat adalah Alloh semata bukan presiden atau siapapun.
Pilpres bisa jadi amal soleh, bila niat dan caranya benar menurut Allah, tapi
yang Maha menentukan hanya Alloh semata. Kita harus sangat siap dengan apapun
takdir Alloh. Bila disikapi dengan selalu mendekat kepada Alloh, kita tak akan
dirugikan sama sekali, Insya Allah.”
Semoga Allah mudahkan urusan
kita. Marhaban yaa syahru ramadhan. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Juli 2014
0 celoteh:
Posting Komentar