Oleh: Wahid Nugroho
(Warga BTN Muspratama dan Pecinta Buku)
Bagaimana cara meraba minat baca
masyarakat di suatu daerah? Apa indikator yang tepat dan apa pula alat ukurnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin ada baiknya jika kita menguraikan
dulu apa yang dimaksud dengan minat baca sehingga kita bisa mendapatkan
gambaran yang utuh dengan objek pembahasan kita.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, minat berarti kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, perhatian,
dan kesukaan. Sedangkan dalam buku babon Tesaurus yang diterbitkan oleh Pusat
Bahasa Indonesia, minat memiliki relasi kedekatan maknda dengan animo, atensi,
hasrat, hobi, interes, kecenderungan, kegemaran, kehendak, keinginan,
kesenangan, ketertarikan, perhatian, dan selera. Jadi jika kita bicara soal
minat, maka akan memiliki korelasi pula dengan kata-kata di atas.
Dari segi definisi, minat dapat
diartikan sebagai kehendak, keinginan atau kesukaan (Kamisa, 1997). Minat
adalah sesuatu yang pribadi dan berhubungan erat dengan sikap. Minat dan sikap
merupakan dasar bagi prasangka, dan minat juga penting dalam mengambil
keputusan. Menurut Gunarso (1995) minat dapat menyebabkan seseorang giat
melakukan menuju ke sesuatu yang telah menarik minatnya. Sedangkan menurut
Hurlock (1995), minat merupakan sumber motivasi yang mendorong orang untuk
melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih.
Sedangkan menurut para ahli,
minat baca memiliki beberapa definisi yakni; salah satu aspek dari kesiapan
membaca (Spodek, 1978), faktor terpenting dari kesiapan membaca anak untuk
belajar membaca (Dallman, 1982), dan kecenderungan jiwa yang mendorong
seseorang berbuat sesuatu terhadap membaca (Darmono, 2007). Sehingga bisa
dikatakan bahwa minat baca ditunjukkan dengan keinginan yang kuat untuk
melakukan kegiatan membaca.
Karena minat erat hubungannya
dengan motivasi, bahkan bisa dikatakan ia adalah hulu dari motivasi itu
sendiri, maka tak elok rasanya jika kita tidak menyertakan Teori Hierarki
Kebutuhan Abraham Maslow dalam objek pembahasan kali ini. Mengapa? Karena
eksistensi minat tidak akan bisa diraba dengan jelas sebelum kita memposisikan
dirinya di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang kita pahami selama ini. Jika
kita dapat menempatkan minat pada posisinya yang tepat, maka pertanyaan yang
saya lemparkan di awal tulisan ini akan mendapatkan jawabannya.
Maslow mengatakan bahwa bahwa
kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup
terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi
menjadi hal yang memotivasi seseorang. Kebutuhan-kebutuhan itu dari yang
terendah sampai yang tertinggi adalah: Kebutuhan Fisiologi (seks, makan, minum,
rumah, pakaian, dan kebutuhan dasar lainnya), Kebutuhan Rasa Aman, Kebutuhan
Kasih Sayang, Kebutuhan Akan Penghargaan, dan Kebutuhan Aktualisasi Diri. Meski
belakangan teori ini mengalami perkembangan hingga tingkatan yang ada mengalami
penambahan, namun teori klasik ini masih tetap relevan untuk kita bahas. Lalu,
minat baca berada di posisi mana?
Minat baca berada pada kebutuhan
paling puncak dari hirarki tersebut, Kebutuhan Aktualisasi Diri, karena ia erat
hubungannya dengan pencarian makna dirinya sebagai entitas pribadi yang unik dan
peran kemasyarakatan yang selalu melekat dalam dirinya. Dua hal tersebut tidak
akan dapat dipenuhi dengan baik dan benar jika seseorang tidak memiliki bekal
pengetahuan yang cukup, dalam hal ini bersumber dari buku-buku yang telah
dibacanya.
Soal minat baca sebenarnya bisa
jadi sesuatu yang sangat personal. Namun jika kita bicara tentang “Minat Baca
Warga”, maka ada domain kolektif yang berperan di sana, dalam hal ini
pemerintah dan para pemerhati pendidikan. Sebelum kita membahas tentang
perhatian pemerintah terhadap minat baca warganya, maka kita harus lebih dulu
jujur menilai sejauh mana pemerintah dapat memfasilitasi warga-warganya dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Berapa banyak warga di daerah ini yang masih
hidup di bawah garis kemiskinan? Berapa banyak warga di daerah ini yang masih
hidup dalam ketakutan dan karenanya selalu merindukan rasa aman dan kepastian
hukum? Berapa banyak warga di daerah ini yang merasa telah mendapatkan curahan
kasih sayang pemerintah yang telah mereka berikan amanah untuk mengelola daerah
ini melalui pilihan mereka di bilik suara, seberapa jauh perhatian pemerintah
terhadap kondisi mereka? Berapa banyak warga di daerah ini yang mendapatkan
penghargaan dari pemerintahnya, penghargaan sebagai anak-anak bangsa yang juga
berhak pendapatkan pelayanan terbaik dan bukan birokrasi rumit, berbelit, dan
membuat kening mengernyit?
Berdasarkan uraian di atas,
pertanyaan tentang bagaimana meraba minat baca warga Luwuk akan menjadi
pertanyaan yang sulit untuk dijawab sebelum kebutuhan-kebutuhan mendasar yang
mendahului kebutuhan akan aktualisasi diri, dalam hal ini membaca buku, telah
terpenuhi lebih dulu: bagaimana kondisi perpustakaan yang ada? Bagaimana
koleksi buku-bukunya? Apakah ada toko buku yang memadai di sini? Dan yang tak
kalah pentingnya, bagaimana daya beli masyarakat?
Namun di sisi lain, kesulitan
untuk menjawab pertanyaan yang tak kalah penting itu dalam situasi yang tidak
ideal seperti saat ini tentunya tidak menjadikan kita tidak dapat melakukan
apa-apa untuk turut andil dalam menumbuhkan minat baca warga. Ini memang kerja
jangka panjang dan hasilnya tidak akan didapat dalam waktu singkat. Belum lagi
tantangan untuk meningkatkan dan mengelola minat baca warga agar dapat menjadi
salah satu sumber potensi untuk memajukan daerah ini. Semacam pekerjaan rumah
bersama yang tentunya akan jadi kajian lanjutan yang perlu disorot secara
kritis oleh orang-orang dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan kualitas
masyarakat di daerah ini di masa depan. Orang-orang itu bisa saya, Anda, dan bisa
siapa saja. Momposa’angu tanga, mompoosa’angu
patuju, mombulakon tano!
Tulisan ini dimuat di Luwuk Post
edisi Senin, 7 Juli 2014
0 celoteh:
Posting Komentar